nusabali

Batuan Dulu, Kini, dan Nanti

Widyatula Sahasra Warsa Batuan

  • www.nusabali.com-batuan-dulu-kini-dan-nanti

GIANYAR, NusaBali
Serangkaian perayaan 1.000 Tahun atau Sahasra Warsa Batuan, panitia menggelar widyatula atau seminar di wantilan sisi kauh areal Pura Desa lan Puseh Desa Adat Batuan Kecamatan Sukawati, Gianyar, Rabu (21/12).

Widyatula ini dengan tema ‘Seribu Tahun Prasasti Baturan: Batuan Dulu, Kini, dan Nanti’. Menghadirkan pembicara, Rektor ISI Denpasar Prof Dr I Wayan ‘Kun’ Adnyana SSn MSn, pendiri ARMA Museum Anak Agung Rai, dan peneliti Ahli Madya Organisasi Riset Arkeologi Bahasa dan Sastra, Badan Riset dan Inovasi Nasional Drs I Gusti Made Suarbhawa.

Para pembicara mengupas tentang Prasasti Baturan bertitimangsa 944 Caka (1022 M) yang kini genap berusia Sahasra atau 1.000 tahun. Prasasti ditorehkan di atas 7 lempeng tembaga. Hakikatnya menegaskan kebijakan raja perihal tata sosial budaya dan ekonomi masyarakat setempat, termasuk penghormatan kepada para seniman mumpuni bidang seni lukis, tari, topeng, dan pahat. Baturan yang kini lebih dikenal sebagai Desa Batuan sudah sejak zaman kerajaan dikenal sebagai salah satu pusat peradaban di Bali. Sumbangsih penciptaannya berkumandang lintas generasi hingga kini.

Anak Agung Rai mengungkapkan, sejak lama telah bergaul dengan masyarakat Batuan. Dengan tokoh seni, seniman penglingsir secara lintas generasi. Gung Rai mengapresiasi salah satu seni Tari Gambuh yang sangat tersohor sejak dulu hingga kini tetap dilestarikan. “Batuan banyak memiliki potensi. Orang Batuan punya DNA luar biasa. Flashback seribu tahun lalu, orang Batuan telah terbukti begitu setia mengawal sebuah warisan. Masih terjaga dengan sangat baik saat ini,” ungkap Anak Agung Rai.

Banyak kalangan mengagumi kekhasan Batuan, memberi dampak luar biasa bagi dunia seni rupa, membangun jaringan kolektor seni di Eropa, Singapura, dan Jepang. “Karya seni Batuan sudah go internasional, saya lihat beberapa ada di Jepang. Mereka mencintai kekhasan Batuan sampai sekarang, mereka mampu menilai estetika gaya Batuan,” ujarnya. Sementara Prof Kun Adnyana merasa beruntung bisa menjadi bagian dari perayaan milenium ini. “Saya juga ikut saat pembacaan prasasti. Ada 7 lempeng, saya kira Batuan beruntung memiliki pusaka untuk mengetahui tidak saja sejarah Batuan, tapi jauh sebelum prasasti ini ditatah pasti tatanan Desa Batuan begitu baik,” ujarnya.

Ketika refleksi seribu tahun, Prof Kun merasakan ada satu karma baik dengan masyarakat Desa Batuan, bisa bertemu untuk memaknai Sahasra Warsa Batuan. “Jadi ini momentum yang tidak datang dua kali,” ujarnya. Dijelaskannya, untuk memahami Baturan, harus dipilah Batuan sebagai lokus dengan karaman masyarakat Baturan itu sendiri. Sedemikian banyak profesi diurai dalam prasasti, menunjukkan bahwa sedemikian jamak keahlian dan cara hidup masyarakat pada jaman itu. “Artinya keberadaan prasasti ini bisa dikatakan bicara tentang Bali secara keseluruhan. Tentang pengaturan pembayaran iuran, pungutan, kurang lebih bahwa profesi berkesenian ini sudah jadi gaya hidup,” jelasnya.

Sedangkan Drs I Gusti Made Suarbhawa mengatakan, masyarakat saat ini patut menanamkan nilai-nilai adi luhung yang tercatat sejak seribu tahun lalu. Misalnya keberanian masyarakat Batuan memohon kepada raja untuk penghapusan pengenaan pajak maupun kerja rodi, kejujuran, dan nilai luhur lainnya. Penglingsir di Batuan berani karena yakin juga masyarakat Baturan adalah sangat hormat pada para sesepuh. Ketika menghadapi masalah, dipercayakan penyelesaiannya pada penglingsir. Kejujuran menyampaikan permasalahan, tanggung jawab dalam melaksanakan tugas yang dibebankan. “Jadi nilai-nilai ini yang perlu ditanamkan, yang telah ada seribu tahun lalu, kini tinggal melanjutkan,” ujar Gusti Suarbhawa. *nvi

Komentar