nusabali

Upacara Piodalan Pura Desa Dulunya Dilaksanakan Full Selama 9 Bulan

  • www.nusabali.com-upacara-piodalan-pura-desa-dulunya-dilaksanakan-full-selama-9-bulan

Dalam lontar saduran Tahun Saka 1784 juga dijelaskan krama Desa Pakraman Beratan Samayaji, Kecamatan Buleleng tidak kenal ritual melasti ke segara seperti desa pakraman umumnya di Bali

Berkat Lontar Saduran Tahun Saka 1784, Desa Pakraman Beratan Samayaji Temukan Sima Desanya

SINGARAJA, NusaBali
Upaya untuk mengindentifikasi ratusan cakep lontar milik krama dari 4 dadia di Desa Pakraman Beratan Samayaji, Kelurahan Beratan, Kecamatan Buleleng, sejak Sabtu (28/1), membuahkan hasil. Dari identifikasi salah satu lontar, tim penyuluh Bahasa Bali berhasil menemukan sima (tata laku) Desa Pakraman Beratan Samayaji. Bukan hanya sima, dalam lontar tersebut juga dijelaskan seluruh rangkaian dan sarana upacara piodalan di Pura Desa Pakraman Samayaji. Dulunya, upacara piodalan di poura desa berlangsung selama 9 bulan tanpa terputus.

Ada belasan penyuluh Bahasa Bali yang bertugas di Kecamatan Buleleng ikut terlibat dalam proses identifikasi ratusan cakep lontar milik krama dari 4 dadia di Desa Pakraman Samayaji ini. Mereka bekerja secara spartan membaca isi lontar-lontar kuna milik Dadia Keluarga Nyoman Ngurah Suharta, Dadia Keluarga Putu Sima, Dadia Keluarga Nyoman Rupadi, dan Dadia Keluarga Made Ngurah Wedana

tersebut di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji.

Nah, masalah sima Desa Pakraman Beratan Samayaji ditemukan tim penyuluh Bahasa Bali di salah satu lontar milik keluarga Nyoman Suryasa, Kamis (2/2) lalu. Dalam lontar setebal 63 lembar (daun lontar) yang panjangnya masing-masing 35 cm dan lebar 4 cm tersebut, tertulis saduran berangka tahun 1.784 Saka atau tahun 1.862 Masehi. Waktu tepatnya adalah Wuku Ugu, Panglong Hari Kedelapan Sasih Kadasa, Rah Empat Tenggek Delapan Tahun Saka 1784.

Salah seorang penyuluh Bahasa Bali, Ida Bagus Ari Wijaya, mengatakan dalam lontar yang disadur tahun Saka 1784 tersebut, dijelaskan secra rinci tata laku (sima) krama setempat dan tata upacara yang berjalan di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji. Dalam lembar pertama ditemukan penjelasan bahwa lontar tersebut sebagai ‘Lontar Sima’ Desa Pakraman Beratan Samayaji, yang bertuliskan aksara Bali dan menggunakan Bahasa Kawi.

Menurut IB Ari Wijaya, kalimat pertama yang ada dalam lontar tersebut berbunyi ‘Awignam Astu Tat Astu, Sangka Niki Simanira Hyang Samayaji, Penyungsungan Nira Wonging Samayaji. “Arinya kurang lebih bahwa lontar tersebut memuat tata laku dan tata upacara yang ada di Pura Desa Pakraman Samayaji,” ungkap IB Ari Wijaya yang ditemui NusaBali ketika sedang membaca lontar di rumah salah seorang krama Desa Pakraman Beratan Samayaji, Senin (6/2) siang.

Setelah ditelisik lebih dalam, kata Ari Wijaya, lontar tersebut ternyata mengungkap banyak hal. Bukan hanya memuat sima dan sarana banten yang digunakan dalam upacara piodalan di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji, namun juga ditekankan bahwa dulunya pelaksanaan upacara di pura tersebut berlangsung selama 9 bulan penanggalan Bali. Maklum, di Pura Desa Beratan Samayaji terdapat 9 palinggih utama yang memiliki piodalan setiap sasihnya dan nyejer masing-masing selama selama 1 bulan.

Upacara selama total 9 bulan penanggalan Bali (sebulan ada 35 hari) itu pun berlangsung tiada henti tanpa terputus, hingga datang Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka, yakni sehari setelah Tilem Kasanga. Menurut Ari Wijaya, dalam lontar itu juga dijelaskan bahwa krama Desa Pakraman Beratan Samayaji tidak pernah ikut melasti ke segara seperti desa pakraman umumnya di Bali. Krama setempat biasanya hanya melasti di Pura Beji yang di sebelah selatan Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji.

Yang menarik, dalam upacara piodalan di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji yang berlangsung selama 9 bulan tanpa terputus itu, saat piodalan di salah satu palinggih, krama setempat wajib memasang ayunan jantra. Ini mirip seperti ayunan yang ada di Desa ‘Baliaga’ Pakraman Tenganan Pagringsingan, Kecamatan Manggis, Karangasem, serta ayunan gantung yang melambangkan proses kehidupan. Saat upacara piodalan, ayunan tersebut hanya boleh diduduki dan dinaiki oleh gadis belia yang sudah mengalami akil balik dan masih suci.

“Sedangkan krama yang mendapat tugas utama membawa sarana melasti disebut sebagai Krama Suci. Puluhan Krama Suci itu diperkirakan diambil berdasarkan garis keturunan sebelumnya,” jelas Ari Wijaya.

Selain itu, keunikan tradisi yang dulu pernah dilakoni krama Desa Pakraman Beratan Samayaji sesuai tertuang dalam lontar trersebut, yakni saat Tawur Kasanga (Pacaruan) Nyepi, krama setempat membuat perahu-perahuan dari kayu. Perahu itu dimaksud dalam lontar tersebut merupakan konsep mapag (menjemput, Red) Dewa tanah sebrang.

Bahkan, dalam prosesi tersebut, semua yang ikut mengarak perahu-perahuan yang berisi sarana pacaruan dengan menggunakan tenggek kebo (kepala kerbau), sebagian menggunakan pakaian orang China. Sejumlah pakaian orang China yang dulu dipakai saat upacara pun hingga kini masih ada tersimpan di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji.

Hanya saja, bukti-bukti sejarah dan kekentalan tradisi tersebut saat ini sudah tidak ada di Desa Pakraman Beratan Samayaji. Contohnya, ayunna jantra yang dulu pernah dilihat ada, telah dimusnahkan karena tidak dipakai lagi. “Memang dulu kami sempat menyaksikan ayunan jantra dan roda perahu yang dipakai saat Nyepi itu, tapi semuanya sudah dibakar dalam prosesi upacara penerangan kala itu,” ujar Kepala Ligkungan (Kaling) Pandya Pura, Kelurahan Beratan, I Nyoman Ngurah Suharta, kepada NusaBali secara terpisah.

Menurut Ngurah Suharta, prosesi piodalan di Pura Desa Pakraman Beratan Samayaji yang nyejer selama 9 bulan pun sudah tidak berlaku lagi. Piodalan dengan nyejer selama 9 bulan terakhir kali dilaksanakan krama setempat tahun 1928 silam. Konon, prosesi nyjejer selama 9 bulan ini ditinggalkan, karena menghabiskan biaya yang cukup besar, dan menyita tenaga, perhatian, dan waktu. Selain itu, budaya menenun dna sebagai pande emas yang dulu dilakoni krama setempat, juga sudah tidak ada lagi. Semuanya terkikis zaman.

“Sebenarnya, tradisi ini maunya kami aktifkan dan hidupkan kembali. Hanya saja, kami harus mencari lebih banyak sumber yang jelas mengenai kehidupan nenek moyang kami yang mewariskan budaya yang adiluhung, namun kini telah punah,” lanjut Ngurah Suharta.

Identifikasi ratusan cakep lontar milik dadia-dadia itu sendiri dilakukan sejak 28 Januari 2017 lalu, didasari atas spirit untuk mencari jatidiri dan sejarah Desa Pakraman Beratan Samayaji, yang sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Bahkan, krama setempat masih meragukan kalau Desa Pakraman Beratan Samayaji sempat disebut salah satu Desa Bali Aga di zaman dulu, karena data yang menguatkan hal itu belum ditemukan sampai sekarang.

Menurut Ngurah Suharta, pihaknya sempat menggali sejarah Desa Pakraman Beratan Samayaji dari sejumlah Lontar yang ada di Gedung Kirtya Singaraja. Namun, hasilnya masih nihil. Bahkan, beberapa tokoh desa setempat juga sempat melakukan studi banding ke Desa Tenganan Pagringsingan, sebuah Desa Baliaga di Karangasem yang memiliki adat dan budaya hampir sama dengan Desa Pakraman Beratan.

Sejauh ini, bari 114 cakep lontar milik 4 dadia Desa Pakraman Beratan Samayaji yang telah diidentifikasi (dibaca) tim penyuluh Bahasa Bali. Maih banyak cakep lontar milik keluarga 2 dadia lainnya yang antre menunggu giliran diidentifikasi tim penyluh Bahasa Bali. * k23

Komentar