nusabali

Teater Mahima Bangun Keintiman Perempuan

  • www.nusabali.com-teater-mahima-bangun-keintiman-perempuan

Untuk konsep pementasan ini adalah eksprimen dengan menggunakan bahasa tubuh, diiringi animasi sekaligus live musik.

DENPASAR, NusaBali

Komunitas Teater Mahima dari Buleleng, mementaskan lakon ‘Perempuan Tanpa Nama’ dengan cukup apik mengisi ajang Bali Mandara Mahalango IV di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Bali, Minggu (23/7) malam. Pentas ini mencoba untuk menyentuh sisi keperempuanan.

Menurut sang sutradara, Kadek Sonia Piscayanti, sesungguhnya pementasan ini dibuat lebih simpel, karena dia ingin mengejar kedalaman maknanya. Lakon ini mengangkat perjalanan hidup dan kegelisahan seorang lesbian. "Cukup panjang riset yang saya lakukan untuk pementasan ini. Jadi yang benar-benar disentuh itu sisi-sisi keperempuanannya," ungkap Sonia.

Sonia menambahkan, untuk konsep pementasan ini adalah eksprimen dengan menggunakan bahasa tubuh, diiringi animasi sekaligus live musik. Karena naskah ini berbeda dari segi alur dan pendekatan. "Ini sebenarnya interior monolog yang dipanggungkan. Kesulitan saya adalah bagaimana agar suara perempuan ini nggak hilang termakan oleh yang bising-bising di luar. Jadi pendekatan saya memang puisi, gerak tubuh dan musik. Ketiga kekuatan itu digabungkan sehingga dan intimare dan personal," jelasnya.

Pengamat teater, Dewa Jayendra dan Mas Ruscita Dewi yang hadir dan menonton sepakat menilai pementasan ini kuat dari sisi cerita dan artistik. Secara prinsip, pementasan teater Mahima dengan lakon ‘Perempuan Tanpa Nama’, menurut Jayendra, dinilai cukup bagus. "Walaupun dalam beberapa hal mereka menari dengan bahasa tubuh, tetapi artistiknya cukup kuat,” ujar Jayendra.

Namun, lakon ‘Perempuan Tanpa Nama’ melalui teater gerak bahasa tubuh, menurut Mas Ruscita, perlu lebih dimatangkan lagi. Sebab pilihan itu sudah banyak yang menggunakan dan saingannya.

"Sonia memang kuat di cerita, tetapi bagaimana menyampaikan cerita itu yang harus dimatangkan bagaimana menyampaikan pesan itu. Selain itu Sonia masih bermain di ide dan intelektualitas," bebernya.

Sementara seniman Muda Wijaya melihat pementasan ini lebih banyak narasi dan cerita pendeknya Sonia. Sementara tubuh masih verbal menjelaskan apa yang dinarasikan. Itu tantangan Sonia, karena banyak kritikus teater mengatakan tidak mudah memainkan bahasa tubuh sebagai permainan bentuk. "Selain itu saya melihat Sonia masih ada ikatan dengan ingatan dengan garapannya yang terdahulu. Seandainya saja Sonia berani membongkar habis isi naskahnya tentu naskah ini akan menjadi berbeda," sarannya.

Menanggapi saran Muda Wijaya, Sonia mengatakan sebenarnya dia punya visi setiap pementasan harus berbeda. Kalaupun ada beberapa hal yang sama dalam beberapa pementasan terakhir karena pada dasarnya ia menggarap pementasan teater itu ibarat melakukan yoga. Jadi penggarapan lebih ke dalam diri manusia itu sendiri. *in

Komentar