nusabali

Lomba Pidarta Bahasa Bali Tanpa Penonton

  • www.nusabali.com-lomba-pidarta-bahasa-bali-tanpa-penonton

DENPASAR, NusaBali
Wimbakara (lomba) Pidarta Bahasa Bali yang dilaksanakan di Taman Budaya (Art Center), Sabtu, (13/2) digelar tanpa penonton.

Lomba ini diikuti oleh 17 peserta dari berbagai universitas dan  perguruan tinggi di Bali. Lomba  pidato ini mengangkat tema ‘Wana Bhuwana: Utsaha Nglestariang Wana ring Jagat Bali’.

Koodinator Lomba Ida Bagus Wiswabajra, SS MSi menjelaskan, untuk kreteria lomba pidato kali ini  para peserta lomba menyiapkan materi atau naskah pidato yang disusun oleh peserta dengan menggunakan Bahasa Bali Alus. Waktu penyajian pidato untuk masing-masing peserta adalah 10 – 12 menit. “Lomba pidarta yang dinilai, adalah penampilan, pengolahan tema, penguasaan materi, bahasa dan amanat,” terang Wiswabajra.

Dalam lomba kali ini, kemampuan para yowana atau generasi milenial tampil prima. Bekal dan kemampuan berbahasa Bali, yang cukup baik ini juga diamati oleh salah satu dewan juri. Hal ini menuai apresiasi dari salah satu juri, Dr Drs I Wayan Sugita MSi. Dirinya memberi pujian kepada para yowana (generasi muda) yang mau mempelajari bahasa Bali yang baik dan benar. Terutama dalam berbicara di depan umum yang mampu menggunakan bahasa sesuai tatanan sor singgih atau anggah ungguhing yang berlaku.

“Semoga setelah tamat nanti mereka semua mempunyai bekal dan kemampuan berbahasa Bali yang baik, dan itu akan menjadikan bekal untuk ngayah menyama braya, karena ketika mereka turun bermasyarakat, penguasaan bahasa Bali adalah wajib, apalagi mereka adalah calon pemimpin masa depan,” katanya.

Walau demikian, lanjut dosen UHN IGB Sugriwa ini, perlu dipahami ada perbedaan antara pidarta dan dharmawecana. Hal itu harus jelas dipahami, karena esensinya memang berbeda. Kalau pidarta yaitu bagaimana pembicara harus mampu mempengaruhi, mengajak dan bahkan memprovokasi audient dari mereka tidak tahu menjadi tahu. Sedangkan dharmawecana tujuannya jelas, yaitu materi agama agar bisa tersampaikan ke pendengar. “Saya selaku orang tua sangat bangga dan salut kepada generasi muda sudah mau memperdalam bahasa, aksara dan sastra Bali. Semoga nglimbak dimasyarakat,” harapnya.

Sementara itu  I Putu Eka Guna Yasa SS MHum, selaku kurator mengatakan,  Pidarta Bahasa Bali antar universitas dalam rangkaian bulan bahasa Bali memberi ruang bagi para mahasiswa untuk melihat realitas, mengkritisi, dan mencari solusi atas berbagai masalah hutan sesuai dengan tema Wana Kerthi Sabdaning Taru Mahottama.

“Dari pidato tadi juga muncul pemikiran-pemikiran segar para peserta tentang memanfaatkan potensi hutan. Salah satu peserta memformulasikan hutan sebagai Mahawana, Tapawana, dan Sri Wana,” ungkapnya.

Dalam konteks Mahawana, hutan adalah penyangga kehidupan, tempat sarwa prani hidup, dan saudara tertua manusia dalam tautannya dengan kosmologi Bali. Sementara itu, dalam konteks Tapawana, hutan sesungguhnya adalah tempat bertapa, sumber kerahayuan semesta. Di sisi lain, dalam konteks Sri Wana, hutan adalah tempat memperoleh sandang, pangan, dan papan termasuk juga bahan pengobatan, yang jika dimanfaatkan dengan tepat, ia bisa mendatangkan guna kaya  ‘penghasilan hidup’.

Lanjut Guna Yasa, bersandar pada konsep-konsep yang dihasilkan oleh mahasiswa dalam pidato tersebut, memberikan internalisasi atau pembobotan terhadap Bulan Bahasa Bali 2021 ini. "Sekali lagi, tema Wanakerthi dibumikan sepenuhnya dalam  Bulan Bahasa Bali tahun ini," tandasnya.

Sementara itu, lomba pidato yang diikuti 17 peserta itu, akhirnya menetapkan tiga pemenang lomba.  Tim juri yang terdiri dari Dr Drs I Wayan Sugita MSi, Dosen Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, I Wayan Jatiyasa SPd MPd, Dosen Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Agama Hindu Amlapura dan Dr Drs Anak Agung Gde Putera Semadi MSi selaku Dosen Universitas Dwijendra menetapkan tiga pemenang, yakni Gusti Ayu Ade Mahardini ( UHN I Gusti Bagus Sugriwa) sebagai Juara I, Juara II diraih  oleh I Gusti Ayu Agung Arya Utamiyani ( Fak. Ilmu Budaya  Unud) dan Juara III diraih Gusti Ayu Erma Yunita Dewi (ISI Denpasar). *

Komentar