nusabali

Motif Tenun dan Ukiran Khas Buleleng Dibukukan

Ketua Dekranasda Buleleng Langsung Menjadi Pengarah Materi

  • www.nusabali.com-motif-tenun-dan-ukiran-khas-buleleng-dibukukan

SINGARAJA, NusaBali
Motif tenun dan ukiran khas Buleleng didokumentasikan melalui sebuah buku berjudul ‘Menjaga Kisah Seratus Motif Tenun dan Ukiran Buleleng’.

Adalah Ketua Dewan Kerajiann Nasional Daerah (Dekranasda) Buleleng, I Gusti Ayu Aries Sujati, yang turun tangan langsung sebagai inisiator dan pengarah materi dalam buku yang diterbitkan oleh Shira Media ini.

Buku ‘Menjaga Kisah Seratus Motif Tenun dan Ukiran Buleleng’ cetakan November 2020 yang ditulis oleh I Ketut Supir ini telah diluncurkan dan dibedah di Puri Seni Sasana Budaya Singaraja, Rabu (2/12) malam. Acara peluncuran buku malam itu menghadirkan dua narasumber pendamping, yakni Ni Putu Karnadhi (panglingsir Puri Kanginan Singaraja) dan I Ketut Supir (sang penulis buku).

Ketua Dekranasda Buleleng, IGA Aries Sujati, menjelaskan buku yang mendokumentasikan motif kain tenun dan ukiran khas Buleleng itu diluncurkan sebagai upaya pelestarian. Gagasan pendokumentasian motif kain tenun dan ukiran Buleleng melalui buku tersebut muncul karena rasa kepeduliannya terhadap karya-karya yang diciptakan oleh perajin dan seniman Buleleng.

Menurut Aries Sujati, banyak karya seniman Buleleng yang sudah hilang. Nah, buku ‘Menjaga Kisah Seratus Motif Tenun dan Ukiran Buleleng’ ini sebagai upaya untuk lebih membantu Pemkab Buleleng melestarikan warisan-warisan budaya, khususnya tenun dan ukiran.

“Banyak sekali karya seniman Buleleng, kita tidak ingin lagi kehilangan jejak. Dari sit lah timbul upaya bagaimana caranya untuk mendokumentasikan dengan buku yang bagus. Ini baru awal, rencananya kami juga akan mendokumnetasikan motif tenun jumutan yang belum masuk. Tenun kain Bebali yang ada di Desa Sembiran dan Desa Pacung (Kecamatan Tejakula) juga akan coba nanti didokumentasikan lebih lengkap,” jelas istri dari Bupati Buleleng I Putu Agus Suradnyana ini.

Aries Sujati berharap dari buku dokumentasi yang bagus, tentunya akan menarik orang untuk membacanya, terutama para generasi muda. Ketertarikan membaca buku dapat menambah wawasan dan pengetahuan mereka terkait warisan leluhur Buleleng. Tak menutup kemungkinan juga akan ada niat mereka untuk mempelajari bagaimana proses pembuatan kain tenun dan mau belajar langsung.

Menurut Aries Sujati, masyarakat Buleleng yang dikenal memiliki kebebasan tinggi dalam berkesenian, melahirkan karya yang luar biasa, seperti pada motif kain tenun khas Buleleng. Sebagian besar motif yang diangkat dan dituangkan dalam kain tenunan oleh perajin tenun Buleleng, sejak dulu berafiliasi pada alam di sekitarnya.

“Sejumlah motif kain tenun khas Buleleng pun banyak yang dinamai dari buah-buahan, bunga, dan binatang yang ada di Buleleng. Contohnya, motif daun anggur dan motif anggur, yang diadopsi dari tanaman anggur yang banyak dibudidayakan di Kecamatan Banjar, Buleleng,” tandas Srikandi PDIP yang kini duduk di DPRD Bali Dapil Buleleng ini.

Motif kain tenun dari tumbuh-tumbuhan, kata Aries Sujati, juga banyak diambil dari tanaman bunga, seperti bunga anggrek, kembang jepun, daun intaran, tanaman paku, kalpataru, bunga matahari, kopi, semangi gunung, hingga motif bun-bunan (tanaman merambat).

Sedangkan motif yang menginisiasi binatang, lebih banyak mengangkat bangsa unggas, seperi motif kakaktua, motif merak, motif jalak, motif ayam terbang, motif burung dara, motif kuda lestari, motif luwak, motif lumba-lumba, motif singa, hingga hingga Singa Ambara Raja yang merupakan maskot Kota Singaraja.

Selain itu, juga ada motif tenun yang dinamai berdasarkan bentuk dan teknik tenunnya, seperti motif wajik, wayang, naga penjor, belah ketipat, sari lancip, wajik medeldel emas, dobol, poleng, ceplok, emas-emasan, skordi, kesitan don, keceg-kecegan, apit udang hingga sliwaran.

“Banyak sekali motifnya, bahkan sebagian ada yang dibeli oleh wisatawan mancanegara. Hanya saja, sebagaian memang sudah tidak di produksi lagi oleh perajin saat ini. Nah, ini yang kita dokumentasikan sebagai warisan budaya, minimal ada jejak digitalnya,” papar Aries Sujati.

Sedangkan ukiran khas Buleleng yang memang berbeda dari ukiran umumnya, juga dibukukan oleh penulis I Ketut Supir, yang kini Ketua Jurusan Seni Rupa Undiksha Singaraja. Ukiran Buleleng yang memiliki bentuk sangat dinamis dan bebas, membuatnya sangat unik.

Sejumlah ukiran itu pun masih ditemukan di relief atau pada ukiran pura di Buleleng, seperti motif ukiran orang naik sepeda, relief ibu dan dua anak, relief lelaki berpakaian kebesaran, mahkota, bersenggama, patung rangda, bedawang nala dan naga, pata olanda di Pura Maduwe Karang, karang boma bersayap, dwarapala berwajah rangda, hingga motif Men Brayut di Pura Segara Madu.

Sementara itu, Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, yang juga hadir dalam acara bedah buku malam itu, mengatakan sangat mengapresiasi pendokumentasian karya seni dalam bentuk kain tenun dan ukiran khas Buleleng tersebut. Menurut Agus Suradnyana, ini merupakan momentum awal upaya dalam pendokumentasian kekayaan khasanah kesenian Buleleng, khususnya di bidang tenun dan ukiran Buleleng.

Agus Suradnyana menegaskan, Buleleng merupakan daerah yang penuh ekspresi dalam berkesenian dan budaya. “Kalau kita ingin melakukan upaya untuk membentuk generasi yang bisa melanjutkan tradisi, kita harus menciptakan pasarnya terlebih dulu, agar eksistensi tenun dan ukiran Buleleng terus terjaga,” tandas Agus Suradnyana.

Versi Agus Suradnyana, ke depan endek Buleleng diproyeksikan menjadi cinderamata agar Buleleng lebih memiliki ciri khas di masyarakat luas. “Selain itu, sektor kerajinan cinderamata ini juga bisa menjadi salah satu mata pencaharian masyarakat Buleleng,” terang Bupati asal Desa Banyuatis, Kecamatan Banjuar yang juga Ketua DPC PDIP Buleleng ini.

Menurut Agus Suradnyana, selama ini Pemkab Buleleng telah menaruh perhatian serius atas keberadaan kerajinan tenun dan ukiran Buleleng, utamanya upaya pelestarian. Salah satunya, dengan kebijakan pemakaian kain tenun endek motif Singa dua kali sepekan, yakni hari Selasa dan Kamis.

Selain itu, juga digelar ‘Buleleng Endek Carnaval (BEC)’, pelibatan para perajin pada pameran yang diselenggarakan pemerintah, seminar, workshop, hingga pelatihan bagi sejumlah pengukir muda agar mereka ingat dan melestarikan ukiran khas Buleleng. “Sejauh ini, juga mulai diterapkan kebijakan penggunaan ukiran khas Buleleng di setiap pembangunan gedung kantor baru,” katanya.  *k23

Komentar