nusabali

Orang Bali Bukan Pemberontak

  • www.nusabali.com-orang-bali-bukan-pemberontak

Mungkin karena sebagian besar orang Bali petani, mereka dikenal sebagai orang-orang yang mudah berserah diri.

Mereka, zaman dulu, tak pernah melawan. Perlawanan dianggap sebagai usaha menciptakan bencana. Pada alam mereka berserah, pada penguasa mereka pasrah. Dengan mudah raja-raja memerintah dan merendahkan martabat mereka. Bukankah orang Bali akrab dengan istilah panjak, yang artinya hamba sahaya, kawula?

Jawa mengenal pemberontakan kaum tani di zaman Maja¬pahit dan zaman Mataram. Sejarawan Sartono Kartodirdjo (1921-2007) meneliti pemberontakan petani Banten terhadap pemerintah kolonial Belanda tahun 1888. Dalam perlawanan ini kaum tani dipimpin oleh para ulama dan bangsawan. Sartono berpendapat, pemberontakan petani itu tidak berdiri sendiri, tapi memiliki kesinambungan dengan gerakan-gerakan sipil lain.

Tentu Sartono menggunakan metodologi sejarah. Namun, penelitiannya menjadi menarik karena ia juga menggunakan metodologi ilmu-ilmu sosial lain seperti politik, sosiologi dan antropologi, sehingga pengamatannya menjadi menyeluruh.

Sejarawan ini melaporkan dengan detail, berdasarkan arsip Belanda dalam sidang-sidang pengadilan terhadap kaum pemberontak. Tentu, betapa banyak  kisah heroik bisa dijumpai dalam pemberontakan yang menyatukan kelas rakyat dengan bangsawan serta ulama itu.

Jika ada penelitian terhadap pemberontakan petani Banten, adakah riset pemberontakan petani Bali? Sejauh ini memang tidak ada. Bukan karena tidak ada yang meneliti, tapi memang karena tidak pernah ditemukan pemberontakan kaum tani Bali. Petani Bali dilahirkan tidak untuk memberontak, tapi untuk nrimo, menerima apa adanya.

Agar panen berlimpah, mereka menghaturkan sesaji. Yang dihaturkan itu pun beraneka macam, disesuaikan dengan hari baik dalam satu musim panen. Kalau panen gagal karena diserbu hama dan dikoyak-koyak cuaca buruk, mereka tetap pasrah. Kalaupun mengeluh mereka cuma bilang, “Kudiang men? (Mau apa lagi?)”

Sikap berserah diri kemudian menjadi watak orang Bali, tampil dalam perilaku sehari-hari. Ketika mereka berusaha, dengan gigih, dan kemudian gagal, mereka akan berujar, ”Kudiang men?” Artinya mereka sudah mencoba apa yang mereka bisa, tapi mau apa lagi jika belum memberi hasil sesuai yang diharapkan?

Berserah diri lazim dilakukan oleh mereka yang putus asa. Tapi, alam ini unik, kadang ada yang pasrah, eh, sembuh dari sakit. Ada yang tak punya duit buat biaya sekolah anak ke perguruan tinggi, eh ada kawan datang kasi proyek, memberi uang muka mengkapling tanah. Pasrah sering dilakoni oleh mereka yang sakit tak kunjung sembuh.

Seorang penderita berkali menjalani pengobatan medis, ke dukun juga sudah, namun tak kunjung sembuh. Lebih dua tahun si penderita terbaring lemas. Beberapa rekan berkomentar, dia menderita penyakit lupus, namun dokter tidak berani memastikan itu penyakit apa. Cuma dukun bilang, ini penyakit hasil rekayasa orang iri. Biasalah, dukun, tahunya memang sebegitu.

Si penderita akhirnya meninggal. Keluarga tentu sangat berduka, namun mereka menghibur diri dengan mengatakan, “Kudiang men?” Mereka mengaku telah menempuh segala usaha dan cara. Jika akhirnya si penderita meninggal, mau apa lagi? Keluarga tak hendak mempersoalkan, karena jika mempermasalahkan keadaan menjadi semakin ruwet. Mereka menganggap keruwetan merupakan biang keladi bencana.

Filosofi watak “kudiang men” ini menyebabkan sebagian besar orang Bali dikenal sebagai sosok-sosok yang teduh. Mereka mudah berserah diri, gampang diajak kompromi, malas melawan, ogah memberontak. Tapi, belakangan orang Bali tak selalu sudi berserah diri. Mereka juga bergerak, melawan, dan mempersoalkan. Demo menolak reklamasi Teluk Benoa menjadi contoh, orang Bali kini mulai bersikap menilik diri sendiri untuk berani menentang, menolak “kudiang men”. Ini mengingatkan perlawanan Untung Surapati, orang Bali yang dijual sebagai budak ke Batavia, terhadap kolonialisme Belanda.

Sikap berserah diri atau “kudiang men” menyebabkan orang Bali terjebak dalam pemahaman perilaku mula keto (memang begitu). Sesuatu tak usah dipersoalkan, ya memang sudah sepantasnya begitu. Jika ada yang tidak dipahami, biarkan saja berlalu. Berserah diri, pasrah saja. Banyak orang Bali berpendapat, pandangan mula keto membuat diri menjadi tenang, bahagia, tidak direcoki oleh berbagai hal yang tak usah terlampau dipusingkan benar.

Maka jangan heran, jika sulit berjumpa orang Bali, kaum tani, yang pernah memberontak.  Mereka sangat percaya pada kaum penyuluh pertanian lapangan di zaman orde baru. Perlu pupuk bersubsidi mereka berkisah pada wartawan untuk menyiarkannya. Kalau kemudian pupuk tetap mahal, panen tak sepadan dengan biaya produksi, mereka akan bilang, “Kudiang men?”

Mereka juga akhirnya patuh berdiam diri di rumah, ketika pemerintah melarang mereka ke luar agar tidak memperburuk penyebaran wabah Covid-19. Tidak seorang pun memberontak kendati banyak yang menggerutu tidak punya uang karena tidak bekerja, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kepada pemerintah mereka tidak menuntut pangan dan uang buat hidup. Semua berserah pada keberuntungan dan kebaikan kerabat. Banyak yang berkomentar, orang Bali itu duweg ngurus iba (cerdas mengurus diri sendiri). *

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar