nusabali

Sukla dan Surudan

  • www.nusabali.com-sukla-dan-surudan

Salah satu yang dinilai maha penting oleh orang Bali adalah pemahaman tentang sukla. Karena sukla membawa pengertian suci, kata ini pasti bertautan ketat dengan banten (sesaji).

Aryantha Soethama

Pengarang



Orang Bali kemudian mengenal banten sukla: sesaji yang belum dipersembahkan. Tentu tak ada beda rangkaian sesaji yang belum dengan yang sudah dipersembahkan kepada Hyang Widhi. Buah, penganan, kacang, atau telur dalam sesaji ya sama saja lezatnya. Ayam panggang yang menyertai juga tak bakalan berubah, tidak tambah gurih setelah banten itu dihaturkan. Mata tak bisa membedakan mana sukla mana pula tidak. Buah dan daging surudan (dari banten yang sudah dipersembahkan) rasanya pasti sama. Manggis, mangga, kedondong banten sukla pasti tak beda manis atau kecutnya dengan surudan.

Jika memang sama, mengapa orang Bali senang sekali membedakan sukla dengan surudan? Mengapa sukla menjadi sangat penting dan harus dijaga dengan kesungguhan hati? Karena sukla belum pernah dipakai, adakah pertanda orang Bali sangat menjunjung yang belum tersentuh, nomor satu dan utama? Dan yang utama itu harus dipersembahkan terlebih dulu, baru kemudian mereka menikmatinya.

Yang sukla itu harus untuk Yang Utama. Sehari-hari banyak orang Bali lebih mengutamakan mempersembahkan makanan kepada Hyang Widhi, baru setelah itu menyantapnya. Banyak justru yang lebih mementingkan surudan untuk dinikmati. Mereka bahkan mengaku, merasa lebih mantap menyantap makanan (daging dan buah) surudan. Maka jika orang Bali membuat yang terbaik untuk sesaji sukla, mereka juga dengan sendirinya akan menikmati surudan terbaik.

Jika orang Bali matirtayatra, sembahyang ke tempat jauh bersama keluarga, mereka membuat banten sukla dengan daging dan buah yang enak-enak. Jika yang ikut serta banyak, banten itu pun menjadi lebih besar dari biasanya. Usai dihaturkan, daging dan buah itu menjadi surudan yang disantap bersama. Beberapa orang berujar, “Enak sekali makan tipat dan betutu surudan, makan sedikit perut cepat kenyang.” Mungkin karena ramai-ramai mereka pun makan enak dan puas.

Sukla berarti belum pernah dipakai. Kamben sukla berarti kain yang belum dikenakan. Piring sukla artinya piring yang hanya digunakan dalam kegiatan suci. Tikar sukla hanya untuk di merajan atau tempat pemujaan. Yang sukla tak boleh dicampur aduk dengan yang anggoan (tidak sukla). Yang sukla tempatnya selalu lebih di atas atau teratas.

Sesungguhnya dalam keseharian pun orang Bali terlibat dalam urusan sukla dan surudan ini. Orang yang berbeda soroh (clan) tak boleh sembarangan menyantap surudan soroh lain. Mereka yang berkasta tinggi atau bangsawan tak sudi memakan surudan orang berkasta sudra. Sukla yang berarti suci menjadi kesempatan untuk menandai perbedaan kasta.

Pemahaman sukla ini sudah ditanamkan sejak kanak-kanak. Banyak sekali kisah tentang hubungan pertemanan di kalangan anak-anak yang membingungkan mereka karena pengertian sukla dan surudan ini. Seorang anak brahmana sekolah dasar berkunjung ke rumah temannya yang sudrawan untuk belajar bersama. Ketika itu si sudrawan sedang otonan memperingati hari kelahirannya dengan sesaji banyak buah dan betutu lezat. Si kawan tak sudi menyantap surudan temannya. “Ibu bilang tak boleh, ayah juga melarang,” ujar si teman tak tahu kenapa. Tuan rumah akhirnya memberinya kue yang tidak dihaturkan dalam sesaji. “Ini sukla, boleh dimakan,” ajak tuan rumah.

Zaman sekarang, kalau ada pernikahan, kebanyakan menggunakan tenda, pengganti taring yang terbuat dari kelangsah. Tenda sangat praktis, sehingga juga dimanfaatkan jika ada odalan di pura. Tapi, banyak yang diam-diam mengungkapkan, jauh lebih bagus pakai taring, lebih alami. Namun, karena praktis, orang tetap memilih tenda yang knock down, bisa dibongkar pasang berulang.

Banyak yang bertanya-tanya, mengapa taring menjadi lebih nyaman dan lebih berwibawa? Ada yang berkomentar, karena bahan-bahan yang digunakan itu sukla. Bambu, janur, kelangsah yang digunakan baru sekali itu dipakai. Bahan-bahan itu pun suci, sekali pakai, buang. Itu mungkin sebabnya banyak orang lebih senang menggunakan daun pisang ketika beli nasi atau bubur di warung-warung. Daun-daun itu sukla, suci, hanya sekali dipakai. Kalau piring sudah berulang-kali digunakan. Apalagi sendok-garpu itu, wah, sudah menyuapi banyak mulut, entah sudah dijilat oleh lidah siapa, dari banyak orang berbagai jenis.

Istilah sukla juga masuk dalam kehidupan cinta laki-perempuan. Dunia mengenal sukla brahma cari, yakni sikap hidup seseorang yang tidak menikah seumur hidup. Tapi nyatanya tak sedikit laki-laki tidak menikah, tak hendak berumahtangga, namun bercinta dengan banyak perempuan, dan ia tetap saja mengaku diri sukla brahma cari. Namun orang-orang lebih suka menyebutnya sebagai brahma cari basa-basi. 7

Komentar