Asuransi Gagal Panen Krisis Peminat
Petani sawah di wilayah Buleleng, belum banyak yang tertarik dengan program perlindungan berupa asuransi usaha tanam padi (AUTP), sejak diluncurkan tahun 2015.
SINGARAJA, NusaBali
Alasan petani, syarat pengajuan klaim dinilai terlalu memberatkan. Dinas Pertanian Buleleng pun hanya menargetkan 400 hektare, dari luas tanam padi sekitar 21.317 hektare tahun 2019, untuk ikut masuk asuransi. AUTP diberikan agar petani tidak mengalami kerugian terlalu besar ketika gagal panen akibat hama atau bencana. Asuransi perlindungan bagi petani ini merupakan program Pemerintah Pusat. Dalam program itu, petani yang alami gagal panen akan mendapat tanggungan sebesar Rp 6 juta/hektare lahan tanam.
Untuk mendapat tanggungan tersebut, petani yang bersangkutan cukup membayar premi asuransi sekali dalam satu musim tanam sebesar Rp 36.000. Sejatinya premi asuransi tersebut Rp 188.000 dalam satu musim tanam. Namun, petani hanya dibebankan sebesar Rp 36.000, karena pemerintah pusat telah mensubsisi premi tersebut sebesar Rp 152.000.
Namun, sejak program diluncurkan pada tahun 2015 lalu, petani kurang tertarik ikut serta. Petani enggan ikut asuransi karena syarat pencairan klaim asuransi dinilai terlalu berat. Dimana klaim asuransi bisa dibayarkan ketika panen gagal minimal 70 persen dari luas lahan. “Jarang ada gagal panen sampai 70 persen dari luas lahan. Paling tinggi sampai 30 persen,” kata Ketut Sugiarta, warga Subak Layahan, di Desa Kerobokan, Kecamatan Sawan.
Selain itu, petani juga khawatir pengurusan administrasi pengajuan klaim terlalu ribet. “Ada anggapan pengurusannya nanti ribet, jadi petani tidak tertarik,” imbuhnya.
Plt Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng I Made Sumiarsa, dikonfirmasi Selasa (5/2), tidak menampik masih minimnya keinginan petani ikut program asuransi usaha tanam padi. Namun, pihaknya tetap berusaha menyakinkan petani melalui pertemuan-pertemuan maupun penyuluhan. “Memang itu (petani kurang minat dengan asuransi, Red) menjadi kendala kami di lapangan. Tapi kami masih punya waktu, dan terus kami upayakan sosialisasi lewat pertemuan maupun penyuluhan,” terangnya.
Menurutnya, dengan sistem yang ada sekarang diharapkan petani lebih tertarik ikut asuransi. Karena, petani tidak perlu datang ke Dinas, melainkan cukup mendaftar di balai penyuluh lapangan yang ada di masing-masing kecamatan. “Kami sudah tempatkan satu petugas khusus di setiap kecamatan, untuk melayani petani yang ikut asuransi. Kalau dulu mereka harus datang ke kantor, sekarang cukup di kecamatan saja,” ujar Sumiarsa. *k19
Alasan petani, syarat pengajuan klaim dinilai terlalu memberatkan. Dinas Pertanian Buleleng pun hanya menargetkan 400 hektare, dari luas tanam padi sekitar 21.317 hektare tahun 2019, untuk ikut masuk asuransi. AUTP diberikan agar petani tidak mengalami kerugian terlalu besar ketika gagal panen akibat hama atau bencana. Asuransi perlindungan bagi petani ini merupakan program Pemerintah Pusat. Dalam program itu, petani yang alami gagal panen akan mendapat tanggungan sebesar Rp 6 juta/hektare lahan tanam.
Untuk mendapat tanggungan tersebut, petani yang bersangkutan cukup membayar premi asuransi sekali dalam satu musim tanam sebesar Rp 36.000. Sejatinya premi asuransi tersebut Rp 188.000 dalam satu musim tanam. Namun, petani hanya dibebankan sebesar Rp 36.000, karena pemerintah pusat telah mensubsisi premi tersebut sebesar Rp 152.000.
Namun, sejak program diluncurkan pada tahun 2015 lalu, petani kurang tertarik ikut serta. Petani enggan ikut asuransi karena syarat pencairan klaim asuransi dinilai terlalu berat. Dimana klaim asuransi bisa dibayarkan ketika panen gagal minimal 70 persen dari luas lahan. “Jarang ada gagal panen sampai 70 persen dari luas lahan. Paling tinggi sampai 30 persen,” kata Ketut Sugiarta, warga Subak Layahan, di Desa Kerobokan, Kecamatan Sawan.
Selain itu, petani juga khawatir pengurusan administrasi pengajuan klaim terlalu ribet. “Ada anggapan pengurusannya nanti ribet, jadi petani tidak tertarik,” imbuhnya.
Plt Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng I Made Sumiarsa, dikonfirmasi Selasa (5/2), tidak menampik masih minimnya keinginan petani ikut program asuransi usaha tanam padi. Namun, pihaknya tetap berusaha menyakinkan petani melalui pertemuan-pertemuan maupun penyuluhan. “Memang itu (petani kurang minat dengan asuransi, Red) menjadi kendala kami di lapangan. Tapi kami masih punya waktu, dan terus kami upayakan sosialisasi lewat pertemuan maupun penyuluhan,” terangnya.
Menurutnya, dengan sistem yang ada sekarang diharapkan petani lebih tertarik ikut asuransi. Karena, petani tidak perlu datang ke Dinas, melainkan cukup mendaftar di balai penyuluh lapangan yang ada di masing-masing kecamatan. “Kami sudah tempatkan satu petugas khusus di setiap kecamatan, untuk melayani petani yang ikut asuransi. Kalau dulu mereka harus datang ke kantor, sekarang cukup di kecamatan saja,” ujar Sumiarsa. *k19
Komentar