nusabali

Petani Garam Krisis Regenerasi, Berharap Bantuan Mesin Sedot Air

  • www.nusabali.com-petani-garam-krisis-regenerasi-berharap-bantuan-mesin-sedot-air

Petani garam di Desa Kelating, Kecamatan Kerambitan, Tabanan, krisis generasi penerus.

TABANAN, NusaBali
Padahal tahun 1980-an hampir 100 persen warga khususnya di dua banjar, Banjar Dukuh dan Banjar Dangin Pangkung, bermatapencaharian sebagai petani garam. Kini tinggal 20 orang petani garam yang usianya sudah 75 tahun ke atas.

Menurut petani, ada beberapa faktor penyebab krisis regenerasi petani garam, di antaranya kaum muda lebih memilih bekerja di sektor pariwisata. Lalu lahan membuat garam makin sempit karena diterjang abrasi.

Dan yang paling penting pembuatan garam di Desa Kelating prosesnya masih tradisional, sehingga pengerjaannya sedikit rumit. Maka dari itu petani berharap mendapat bantuan dari pemerintah berupa alat modern pembuatan garam khususnya mesin penyedot air.

Petani garam Gusti Nyoman Budiarta, 43, mengungkapkan saat ini di Desa Kelating ada satu kelompok terdiri dari tiga grup yang masih bertahan membuat garam tradisional. Meski dikatakan garam tradisional sangat laris di kalangan masyarakat, namun karena pembuatannya masih tradisional sehingga petani kewalahan memenuhi permintaan pembeli.

“Biasanya dua hari baru dapat garam kisaran 15-20 kilogram, tergantung juga cuaca,” ujarnya, Rabu (12/9).

Kata Budiarta dirinya adalah petani garam termuda, meneruskan usaha dari sang ayah Gusti Made Ridem, 75. Petani yang lainnya usianya di atas 75 tahun. Meski demikian dia tetap akan berupaya mempertahankan pekerjaan membuat garam. “Meski caranya masih tradisional, saya tetap akan bertahan sekaligus menjadikan ini sebagai pekerjaan sambilan sembari menjadi petani di sawah,” imbuhnya.

Namun sayang di tengah upayanya mempertahankan usaha itu, kini tidak ada lagi generasi penerus atau petani muda yang ingin belajar membuat garam. Salah satu faktor adalah kaum muda memilih bekerja di sektor pariwisata. Di samping itu proses membuat garam masih gunakan cara tradisional sehingga menyebabkan pekerjaan lumayan sulit.

Jika membuat garam dilakukan dengan alat modern, kemungkinan kaum muda akan tertarik. “Jadi prosesnya memang cukup rumit, belum lagi mencari air ke laut dan membawa ke daratan untuk disiramkan ke pasir. Cukup menguras tenaga,” bebernya.

Maka dari itu petani garam di Desa Kelating sangat berharap mendapat bantuan mesin penyedot air. Guna mempermudah proses pengerjaan dan bisa meringankan beban, khususnya petani yang sudah lansia.

“Kami sangat berharap dapat bantuan mesin penyedot air dari pemerintah. Karena setahu saya dulu dari pemerintah provinsi hanya dapat bantuan jambangan (panci besar) dan pembuatan gubuk pembuatan garam,” aku Budiarta.

Menurutnya proses pembuatan garam harus melewati beberapa tahap. Mulai dari memilih pasir yang hitam pekat dan halus. Memilih pasir ini juga sulit, karena tergantung musim. Biasanya kalau sasih kapat baru banyak pasir yang kandungan garamnya tinggi.

Lalu setelah menemukan pasir dimaksud, disiram gunakan air laut sebanyak 2 ember. Kemudian pasir digemburkan menggunakan alat tradisional dan kembali lagi disiram air laut. Setelah pasir kering, biasanya memerlukan waktu satu hari, pasir itu dikumpulkan dan ditaruh di tempat sosor dan disiram gunakan air tawar.

“Nanti sari garam yang berupa air dengan warna kekuningan diambil dan direbus selama sekitar lima jam. Setelah itu sudah langsung jadi garam karena sari garam itu berubah jadi beku,” tegasnya. Harga garam tradisional ini dipatok sebesar Rp 5.000 untuk 500 gram atau setengah kilogram.

Sementara itu, Kelian Dinas Banjar Dangin Pangkung Gusti Made Widiarta membenarkan bahwa petani garam krisis generasi penerus. Padahal garam di Desa Kelating sudah terkenal tidak pahit dan mengandung yodium secara alami. Dia berharap pemerintah memperhatikan petani garam. *de

Komentar