nusabali

Oka Sudarmawan Kembangkan Pertanian Terintegrasi di Subak Mambal: Nol Pupuk Kimia, Lestarikan Tradisi Beternak di Sawah

  • www.nusabali.com-oka-sudarmawan-kembangkan-pertanian-terintegrasi-di-subak-mambal-nol-pupuk-kimia-lestarikan-tradisi-beternak-di-sawah

MANGUPURA, NusaBali.com - Dulu, petani di Bali adalah peternak juga. Mereka mendirikan gubuk di tengah sawah untuk tempat beristirahat sekaligus jadi kandang hewan ternak seperti sapi. Kotoran sapi ini kemudian menjadi pupuk organik untuk penyubur lahan sawah.

Namun, tradisi beternak di sawah ini sudah sangat jarang ditemui di sawah-sawah Pulau Dewata. Selain minim generasi penerus yang tertarik 'bekerja di tanah,' lahan sawah di Bali kini bermunculan 'gubuk beton' alih-alih kandang hewan ternak dari kayu beratap jerami atau seng.

Made Oka Sudarmawan, 43, adalah seorang petani dari Banjar Agung, Desa Mambal, Kecamatan Abiansemal, Badung. Ia mencoba mengembalikan memori petani dan sawah Bali di masa lampau melalui pola pertanian terintegrasi yang sejatinya pernah menjadi tradisi.

"Sejak tiga tahun lalu, saya merintis yang namanya pertanian terintegrasi. Selain menggarap lahan sawah, di areal yang sama juga ada ternak sapi, kambing, dan bebek, serta tanaman hortikultura di samping pangan pokok," tutur Oka ketika ditemui di Munduk Bedugul, Subak Mambal, Jumat (14/6/2024).

Pengalaman bertani dan beternak bukan hal baru bagi Oka. Sejak duduk di bangku SD, ia sudah biasa membantu ayahnya mengurus ternak dan lahan sawah. Namun, baru tiga tahun terakhir ia penuh waktu menjadi petani setelah tidak lagi bekerja di dunia pariwisata.

Alih-alih hanya menjadi petani tulen, ia berpikir lebih jauh. Kata Oka, bertani sambil beternak memberikan keuntungan besar baginya. Selama tiga tahun ini, ia tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk membeli pupuk. Lahan sawah keluarga yang ia kelola, pupuknya murni dari kotoran ternak yang dipiara di sawah.

Oka memiliki 45 ekor kambing dan seekor sapi yang ia ternakkan di sawah. Kotoran ternak kambing 'dipanen' setiap pekan dan ditabur ke lahan sawah yang ditanami padi dan kacang tanah. Sedangkan, kotoran sapi ditampung dulu kemudian cairannya disalurkan ke tanaman cabai.

Ayah satu anak ini mengaku, sama sekali tidak memakai pupuk berbahan kimia buatan selama tiga tahun terakhir. Selama tiga tahun itu pula, Oka menghemat pengeluarkan biaya pupuk dan obat-obatan pertanian.

"Pupuk bersubsidi yang menjadi jatah saya pun tidak saya ambil karena sudah tertutupi dengan pupuk organik dari kotoran ternak ini. Selain itu, pupuk alami seperti ini membantu memulihkan kualitas tanah yang rusak karena penggunaan pupuk kimia," jelas Oka.

Mikroorganisme yang terkandung di dalam kotoran ternak, ucap Oka, membantu mendekomposisi bagian tumbuhan yang tersisa dan tertanam di dalam tanan. Tanah yang sudah rusak akan tetap menyisakan sisa-sisa tumbuhan ini dan terlihat kembali ketika dibajak pada awal periode tanam.

"Petani sekarang itu banyak menjerit, mengatakan susah menjadi petani ya karena pupuk itu mahal. Padahal, kalau pertanian dan peternakan itu diintegrasikan, tidak perlu lagi beli pupuk, beli pestisida juga tidak perlu," ungkap Oka yang juga eks housekeeper ini.

Selain pertanian yang dijaga organik, ternak yang menghasilkan pupuk alami ini juga dijaga dengan pakan murni organik. Kambing dan sapi milik Oka hanya mengonsumsi pakan berupa ramban/dedaunan, rerumputan, dan kacang-kacangan, tanpa pelet, polar, dan pakan buatan sejenisnya.

Oka berharap, potensi pertanian terintegrasi ini bisa dilihat oleh petani lain untuk menghemat biaya pupuk sekaligus dalam rangka pelestarian tradisi beternak di sawah yang kian memudar. Ia menilai, memudarnya tradisi ini lantaran petani dibebani harga pupuk sehingga malas menambah beban lain seperti ternak.

"Selain menghemat biaya pupuk, pertanian seperti ini membuat tanah, produk dari tanah itu, dan kita yang mengonsumsinya jadi lebih sehat karena tidak terkontaminasi zat-zat kimia buatan," tutup Oka. *rat

Komentar