nusabali

Miris, Luas Sawah di Kuta Utara Menurun Akibat Alih Fungsi, Anak Mudanya Enggan Jadi Petani

  • www.nusabali.com-miris-luas-sawah-di-kuta-utara-menurun-akibat-alih-fungsi-anak-mudanya-enggan-jadi-petani

MANGUPURA, NusaBali.com - Luas lahan sawah di Kuta Utara terus menurun dari tahun ke tahun akibat laju perkembangan pariwisata yang mendorong alih fungsi lahan. Selain itu, regenerasi petani tidak berjalan dan terus mengimpit krama subak.

Beberapa subak di Kecamatan Kuta Utara, Badung telah dikelilingi hutan beton. Di masa lalu, hamparan sawah masih bisa dilihat dari pinggir jalan-jalan di Kuta Utara. Kini petak-petak sawah di pinggir jalan berubah jadi bangunan permanen.

I Wayan Wijana, Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Badung pun mengakui fenomena ini telah terjadi. Ia menjelaskan, luas sawah di Kuta Utara memang menurun.

"Iya, memang ada penurunan luas sawah di Kuta Utara tapi saya tidak bawa datanya sekarang, biar tidak salah," ujar Wijana ketika dijumpai di Subak Daksina, Desa Tibubeneng, Kuta Utara, Minggu (15/10/2023).

Sebagai gambaran, Subak Daksina ini merupakan salah satu saksi bisu dahsyatnya pengaruh pariwisata terhadap alih fungsi lahan di Kuta Utara.

Pada tahun 1988, Subak Daksina ini memiliki luas sekitar 80 hektare. Sejak tahun 2000, luasnya terus menurun hingga kini tersisa hampir 50 persen saja yakni 44 hektare.

Data ini diungkapkan oleh Pakaseh Subak Daksina, Ketut Asrawan, 77, yang sudah menjabat pakaseh selama lebih dari tiga dekade di subak yang menghubungkan Desa Dalung dan Tibubeneng.

Ketika berdiri di Pura Subak Daksina, kemudian melempar pandangan 360 derajat. Jelas dari pandangan mata, subak ini telah dikelilingi bangunan permanen mulai dari vila, perumahan, gereja, dan peruntukan lainnya.

"Kalau dia (krama subak) mengontrakkan tanah lebih banyak dia dapat (untung) daripada dia menggarap tanah. Separuhnya saja tidak ada," kata Asrawan.

Kata Asrawan, harga tanah di kawasan utara Desa Tibubeneng ini tidak semahal di kawasan Banjar Berawa tapi keuntungan yang ditawarkan tetap lebih tinggi dari pada jadi petani biasa.

Harga lahan di Subak Daksina ini dalam rentang Rp 7-10 juta per are. Jauh lebih murah dari kawasan yang mendekati pantai di Desa Tibubeneng yakni mulai Rp 30 juta per are.

Selain luas Subak Daksina yang terus menyempit, jumlah krama subak juga berkurang lebih dari setengahnya. Kini hanya tersisa 70 orang di pipil (pembukuan) Subak Daksina.

"Anggota subak sekarang paling muda itu usianya 50 tahun. Saya sudah dari 1988 jadi pakaseh dan belum ada yang mau menggantikan padahal kebugaran saya mulai menurun juga," tutur Asrawan.

Pakaseh asal Banjar Asem Kangin ini membeberkan, regenerasi di dalam subak tidak berjalan. Generasi muda dari krama subak sudah tidak mau bekerja di sawah.

Asrawan berharap, ke depan generasi muda mau menjadi petani. Dengan begitu, subak bisa lestari dan berkembang sesuai zamannya.

Kondisi Subak Daksina ini bisa menjadi gambaran umum kondisi subak tidak hanya di Kuta Utara tetapi wilayah lain dengan pariwisata berkembang di Badung dan Bali.

Wijana, Kepala Disperpa Badung mengungkapkan, laju alih fungsi lahan semacam ini memang perlu direm. Akan tetapi, pembangunan sarana pariwisata juga tidak dipungkiri sangat penting bagi ekonomi Bali.

Mantan Camat Kuta Selatan ini memilih berfokus pada subak-subak yang masih bertahan. Bagaimana agar subak itu tetap terjaga dengan program-program subsidi benih dan pupuk, bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), dan obat-obatan. *rat

Komentar