nusabali

Membaca Teks Memahami Makna

  • www.nusabali.com-membaca-teks-memahami-makna

BETAPA rumitnya memahami isi teks secara benar. Kegiatan pemahaman ini melibatkan proses intelektual yang mencakup penguasaan makna kata dan kemampuan berpikir tentang konsep verbal.

Walau dengan keduanya belum tentu kebenaran tentang isi dapat diperoleh. Menurut Derrida,  seorang filsuf Prancis yang dianggap sebagai pengusung tema dekonstruksi di dalam filsafat postmodernisme, meyakini bahwa tidak pernah ada kebenaran final, karena kebenaran selalu beroperasi melalui bahasa. Bahasa hanya akan memiliki makna ketika dilihat dalam rentang makna-makna lain yang berbeda. Oleh sebab itu kebenaran akan terus mengalami penundaan karena aspek pembeda tidak pernah ada batasan.

Misalnya, memahami teks ‘tradisi Bali’. Apakah makna ‘tradisi Bali’ yang sebenarnya? Apakah itu berkaitan dengan kebiasaan yang diteruskan atau perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama? Atau, segala sesuatu yang diwariskan dari masa lalu ke masa kini atau masa depan? Atau, warisan-warisan sosial yang tetap bertahan hidup, yang masih kuat ikatannya dengan kehidupan masa kini dan akan datang? Setiap makna yang dipahami akan berimplikasi pada ‘bayu, sabda, idep’. Peter Barry, seorang spesialis puisi kontemporer dan ahli teori literer, mengemukakan bahwa dekonstruksi adalah ‘cara membaca teks di luar kebiasaan’ atau ‘membaca teks dengan melawan teks itu sendiri’ karena teks tidak dapat memahami dirinya sendiri. Membaca kritis merupakan kemampuan menangkap makna dengan cara yang berbeda bagi orang yang membacanya dan sekaligus mampu menunjukkan asumsi-asumsi yang ada di belakang sebuah teks tersebut. Intinya, sikap berhati-hati perlu dihayati dan diluluhkan dalam berpikir, berkata, dan berbuat agar jauh dari konflik.

Pemikiran kritis menyadarkan kita agar tidak gegabah menyebut sebuah makna tertentu sebagai kebenaran. Derrida mengkritik pandangan ini karena dalam setiap teks terdapat makna-makna yang tersembunyi di belakangnya.  Sejalan dengan pandangan itu, teks ‘tradisi Bali’ tidak lagi sebagai tatanan yang utuh melainkan arena pergulatan yang terbuka. Kepastian tunggal yang diagung-agungkan sering merupakan suatu keniscayaan. Satu-satunya yang dapat dikatakan pasti hanyalah ketidakpastian. Oleh sebab itu kepastian menurut Derida adalah ketidakpastian. Teori ini tidak pernah puas kebenaran pada satu titik tempo, ruang, dan patrum yang sudah ada akan berlaku statis selamanya.

Kalau tradisi Bali menghargai binaritas, keberagaman yang sejajar tidak mesti diseragamkan. Mengapa demikian? Sejak lini masa silam, krama Bali menganut konsep harmoni kehidupan, misalnya Tat Twam Asi. Konsep ini mengandung arti bahwa ‘itu adalah engkau, engkau adalah dia’. Kata ‘itu’ bermakna sebagai Brahman segala kehidupan. Sedangkan kata ‘engkau’ adalah merupakan Atman atau jiwa yang menghidupi semua makhluk. Apa yang terjadi kalau konsep ini dikhianati? Orang akan menjadi tidak peduli pada orang lain yang membutuhkan pertolongan dan orang yang sedang kesusahan atau kesulitan akan tidak ada yang memperhatikan.

Konsep lainnya, yaitu Tri Hita Karana. Tri Hita Karana merupakan konsep yang menitikberatkan bagaimana antara sesama bisa hidup berdampingan, saling bertegur sapa satu dengan yang lain, tidak ada riak-riak kebencian, penuh toleransi dan penuh rasa damai. Tri Hita Karana bisa diartikan secara leksikal sebagai tiga penyebab kesejahteraan. Ketiga hal tersebut adalah Parahyangan, Pawongan, dan Palemahan. Sisi positif yang bisa kita petik saat pandemi, masyarakat dapat menjaga alam ini dengan baik atau dengan kata lain dapat mulat sarira atau introspeksi dalam menjaga keseimbangan alam.

Ketika kebenaran mengagungkan prinsip absolut, tidak menghargai binaritas yang sejajar, maka benturan kepentingan akan terjadi dan biasanya memproduksi berbagai ekspresi kekerasan  maupun benturan dan ketidaksesuaian tujuan, permusuhan, atau perilaku konflik. Menurut Bartos dan Wehr konflik sosial baik akan terjadi pada tingkat mikro maupun makro. Pada tingkat mikro konflik dapat dilihat antara individu versus individu; sedangkan, pada tingkat makro dapat dilihat pada tindakan kolektif antara kelompok versus kelompok. Semoga elite maupun krama Bali lainnya dapat menjaga tanah Bali menjadi satuan ruang, tempo, dan patrum yang damai dan sejahtera. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD

Komentar