nusabali

Petani Butuh Kepastian

Peringatan Hari Tani Nasional 2021

  • www.nusabali.com-petani-butuh-kepastian

Tujuan dari HTN ke-61 ini yaitu membangun kesadaran kritis dan kebersamaan antar petani dalam memperoleh hak kepemilikan atas tanah

SINGARAJA, NusaBali

Ratusan petani yang tergabung dalam kelompok Tani Suka Makmur, Desa Pemuteran, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, terus melakukan pendekatan kepada pemerintah agar lahan seluas 246 hektare yang mereka garap sejak puluhan tahun silam yang merupakan perkebunan yang dikelola oleh eks PT Margarana menjadi hak mereka. Hal itu terungkap saat Serikat Tani Suka Makmur menggelar Hari Tani Nasional (HTN) 2021, pada Sabtu (25/9).

Selain diisi dengan sejumlah diskusi, Peringatan Hari Tani Nasional yang digelar bersama Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) ini juga diisi dengan sejumlah kegiatan. Di antaranya peresmian sumur sumur pantau dan imbuhan bagian dari upaya Bali Water Protection (BWP) program dari yayasan IDEP, aksi menanam bersama di kebun kolektif dan pesisir pantai, dan pertemuan daring HTN bersama jaringan KPA di seluruh Indonesia sekaligus orasi dari perwakilan serikat petani.

Ketua KPA Bali, Ni Made Indrawati mengatakan, tujuan dari HTN ke-61 ini yaitu membangun kesadaran kritis dan kebersamaan antar petani dalam memperoleh hak kepemilikan atas tanah. Persoalan pertanahan, menurutnya, tidak saja soal administrasi pertanahan. Namun masih adanya monopoli dan korporasi atas sejumlah lahan baik hutan, pertambangan maupun perkebunan di banyak tempat. Kasus itu katanya, hanya bisa diselesaikan melalui reforma agraria sejati.

"Dalam UU Pokok Agraria 1960 ada prinsif pokok dalam hukum agraria sejati, di antaranya ketimpangan yang tajam seharusnya orientasi reforma agraria dilakukan untuk menata ulang kepemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber agraria," jelas Made Indrawati. Menurutnya, penataan ulang agraria dan proses redistribusi tanah atau land reform harus disertai program penunjang, yakni menyiapkan sarana prasarana pertanian, infrastruktur, dan perkreditan.

Mestinya, lanjut Made Indrawati, subjek utama reforma agraria seharusnya ditujukan untuk petani, buruh tani, nelayan, masyarakat adat, golongan ekonomi lemah, termasuk perempuan sebagai subjek hukum dari reforma agraria. "Secara langsung wilayah konflik agraria semestinya menjadi prioritas pelaksanaan reforma agraria karena disitulah ada ketimpangan struktur agraria dan pemiskinan masyarakat terjadi puluhan tahun," imbuhnya.

Di sisi lain, selama 30 tahun kelompok petani di Banjar Dinas Sendang Pasir belum menemui titik terang terhadap status tanah yang telah mereka kelola secara turun temurun. Meski Hak Guna Usaha (HGU) dari PT Margarana telah berakhir pada 31 Desember 2005 silam. Kemudian putusan Mahkamah Agung nomor; 591 PK/Pdt/2018 pada 10 Agustus 2010 keluar, yang belum memberikan angin segar bagi petani.

Perbekel Desa Pemuteran, Nyoman Arnawa menyampaikan, atas kondisi tersebut, ratusan warga mereka masih berjuang agar lahan garapan turun temurun dikuasai itu menjadi hak mereka. Menurutnya, lahan tersebut sudah digarap warganya sejak puluhan tahun silam. "Saat ini memang warga kami yang menggarap lahan yang sebelumnya dikelola oleh PT Margarana," kata Arnawa. *mz

Komentar