nusabali

Orang Bali Menelepon

  • www.nusabali.com-orang-bali-menelepon

Mereka yang menelepon di tahun 1960-1970-an pasti mengenal telepon engkol, pesawat telepon portabel warna hitam. Jika hendak menelepon harus melalui sentral. “Halo, sentral, tolong sambung ke telepon seratus delapan belas,” begitu misalnya permintaan disampaikan ke petugas sentral telepon yang lazimnya terletak di pusat kota.

Jika orang Bali taat mengucapkan ‘Om swastiastu’ ketika menerima telepon, mereka tidak menutup perbincangan dengan ‘Om santih, santih, santih, Om’. Komang Olas, seorang kelian banjar, selalu berusaha berniat menutup pembicaraan di telepon dengan ‘Om santih, santih, santih, Om’, tetapi selalu gagal. Padahal kalau ia memimpin sangkep atau rapat banjar selalu membukanya dengan ‘Om swastiastu’ dan menutup dengan ‘Om santih, santih, santih, Om’. Namun, salam sakral itu selalu luput ia ucapkan di akhir pembicaraan telepon.

Suatu hari ia menelepon Nengah Landuh, pengurus banjar lain di satu desa. Komang Olas menyampaikan ada rapat desa dua hari lagi di Pura Puseh. Seperti biasa, Olas mengucapkan, ‘Om swastiastu’. Setelah lama berbincang dan kesepakatan dicapai, Olas berujar, “Oke, oke, Ngah, sampai besok ya.” Dan Nengah Landuh juga menjawab, “Oke, oke, sampai jumpa Bli Olas.” Tak ada kata penutup ‘Santih, santih’.

Di hari lain ia menelepon lagi Nengah Landuh untuk urusan menimbang balita dalam rangka pelaksanaan program Bali sehat bersama satu desa, dirangkai dengan minum susu dan bubur kacang ijo untuk perbaikan gizi bayi. Acara ini dianggap penting dan seru, karena akan dihadiri Bapak Bupati. 

“Begitulah, Ngah, kita harus sukseskan program masa depan anak cucu kita ini,” ujar Komang Olas.

“Oke Bli Olas, sampai jumpa, selamat, kita akan salaman dan foto selfi dengan Pak Bupati,” sambut Nengah Landuh. Lalu, klik, telepon ditutup, pembicaraan diputus tanpa sapaan ‘Santih’. Komang Olas menampar jidatnya, karena lupa lagi mengucapkan sapaan ‘Om santih, santih santih, Om’. Padahal, ketika mengawali pembicaraan dengan ‘Om swastiastu’, ia mengingatkan diri sendiri akan mengucapkan ‘Om santih, santih, santih, Om’ saat menutup. Olas bersumpah lain kali akan melakukannya. “Akan kuingat penutup sakral ini. Jika lupa, biar aku dikutuk Hyang Widhi,” tekad Olas.

Jika orang Bali bersua rekan di mal, di pura, atau di tempat acara menikah atau metatah, mereka bertegur sapa mengucapkan ‘Om swastiastu’. Tapi, setelah perbincangan usai, berpisah, seperti juga mengakhiri percakapan di telepon, mereka tak pernah menyampaikan ‘Om santih, santih, santih Om’. Kok bisa begitu ya?

Komentar