nusabali

'Masyarakat Jangan Salah Kaprah, Sembarangan Mengkonsumsi Arak'

Ketua Tim Peneliti Ramuan Uap Arak Bali untuk Pasien Covid-19, Prof Dr I Made Agus Gelgel Wirasuta MSi

  • www.nusabali.com-masyarakat-jangan-salah-kaprah-sembarangan-mengkonsumsi-arak

Dalam terapi uap arak Bali, pasien Covid-19 yang beragama Hindu (Bali) lebih dulu diajak berdoa kepada Ida Sang Hyang Widi wasa dan Bhatara Leluhur, baru kemudian memanggil nyama Kanda Pat, lalu melakukan Pranayama

DENPASAR, NusaBali
Treatment tambahan berupa pemberian terapi uap arak Bali yang sudah didestilasi ulang, kemudian diekstrak dengan jeruk purut (limau) dan minyak kayu putih, lalu dihirup menggunakan alat bernama nebulizer, terbukti ampuh mempercepat kesembuhan pasien Covid-19 kategori Orang Tanpa Gejala (OTG) di Bali. Namun, masyarakat diingatkan tidak salah kaprah, dengan mengkonsumsi arak Bali sembarangan.

Warning ini disampaikan Ketua Peneliti Riset Ramuan Uap Arak Bali, Prof apt Dr.rer.nat I Made Agus Gelgel Wirasuta MSi, di Denpasar, Senin (27/7). Prof Gelgel Wirasuta mengingatkan masyarakat jangan sampai salah kaprah memahami penggunaan arak Bali dalam terapi ini. Menurut dia, arak ini tidak diminum, melainkan dihirup.

“Keliru jika masyarakat berpandangan minum arak bisa menyembuhkan pasien atau terhindar dari Covid-19. Sebab, arak yang diminum secara langsung itu mengandung methanol,” tegas Prof Gelgel Wirasuta.

Disebutkan, arak yang akan diuap dalam alat nebulizer, juga tidak bisa sembarangan, karena kandungannya bervariasi. Karena itu, Prof Gelgel Wirasuta mengingatkan masyarakat untuk tidak salah kaprah soal ini. Menurut dia, terapi tersebut menggunakan arak Bali pilihan yang didapat dari petani arak, bukan dibeli dari pasaran yang sudah ada campuran methanol. Arak yang didapat dari petani ini kemudian didestilasi ulang atau dimurnikan lagi secara khusus, selanjutnya diesktrak dengan bahan lainnya.

“Hasil uji laboratorium mengatakan formula ini tidak mengandung methanol. Itu karena kami sudah proses redestilasi (destilasi ulang) arak tersebut dan kadarnya telah distandarkan. Saya tidak menggunakan uap panas, karena berbahaya,” terang Prof Gelgel Wirasuta.

“Ketika uap panas dipakai untuk menguapkan arak, itu akan terkonsentrasi alkohol, dan berpotensi mengakibatkan kebakaran. Saya kembangkan formula ini menggunakan alat nebulizer yang terjamin keamanannya, karena penguapan menggunakan gelombang ultrasonic,” ungkap akademisi bidang Toksikologi Forensik Unud ini saat ditemui NusaBali di Kantor Kelompok Ahli Bidang Pembangunan Pemprov Bali, Senin kemarin.

Penelitian terapi uap arak Bali ini, kata Prof Gelgel Wirasuta, berawal dari mencuatnya kasus positif Covid-19 di Banjar Serokadan, Desa Abuan, Kecamatan Susut, Bangli, 3 bulan lalu. Kala itu, seorang panglingsir dari Desa Adat Batur, Kecamatan Kintamani, Bangli yang tinggal di Depok, Jawa Barat, yakni Wayan Mesinario, memohon petunjuk agar masyarakat bisa menghadapi wabah ini. Wayan Mesinario terus berdoa dari Depok, kemudian terbayanglah Pura Tuluk Biyu di Batur untuk memohon obat.

“Suatu ketika, beliau (Wayan Mesinario) bermimpi, teringat zaman dahulu para tetua Bali menggunakan arak sebagai usada (obat). Maka, dicoba-lah kepada sameton di Banjar Serokadan. Namun, saat itu belum tahu apakah berfungsi atau tidak, karena tak dirilis lebih lanjut,” kenang Prof Gelgel Wirasuta.

Prof Gelgel Wirasuta menyebutkan, terapi menggunakan uap arak Bali adalah

terapi empiris tradisional Bali dengan bahan dasar arak. Secara tradisional, arak sejak dulu digunakan oleh leluhur Bali untuk mengobati pasien yang mengalami infeksi saluran pernapasan.

Beberapa bulan kemudian, Wayan Mesinario memiliki teman akrab yang putranya ketahuan positif Covid-19 saat uji swab sebagai persyaratan bisa naik pesawat. Dari situ, putra temannya itu bersama 5 orang anggota keluarganya yang suspect Covid-19, ternyata hasil swabnya negatif setelah diterapi uap arak.

“Melihat hasil tersebut, Wayan Mesinario melakukan komunikasi dengan Pak Gubernur (Wayan Koster, Red). Kebetulan, Pak Gubernur adalah adik kelasnya waktu kuliah di ITB Bandung, pernah tinggal satu kos. Pak Gubernur kemudian panggil tim, apakah ini (terapi uap arak) logis?” cerita Prof Gelgel Wirasuta.

“Saya kemudian ditugaskan oleh Pak Gubernur untuk melakukan riset, sehingga terapi uap arak Bali ini bisa diterapkan kepada pasien Covid-19. Ramuannya dikembangkan secara khusus, di mana secara sciencetific aman, dan sudah banyak yang melaporkan bermanfaat untuk saluran pernafasan yang diserang oleh Covid-19,” lanjut akademisi asal Desa Aan, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung ini.

Disebutkan, formula inilah yang membantu percepatan penyembuhan pasien Covid-19 kategori OTG yang dirawat di tempat karantina Pemprov Bali. Sampai saat ini, hampir 900 orang yang dinyatakan sembuh dengan hasil swab dua kali negatif. Sebanyak 70 persen pasien yang menggunakan treatment ini dalam waktu 2-3 hari, hasil swabnya negatif. Sisanya, sembuh dalam waktu rata-rata satu minggu dan paling lama sembuh minggu kedua. Namun tergantung juga kondisi infeksi dari pasien. Semakin berat infeksinya, semakin lama waktu yang dibutuhkan.

“Kesembuhan lebih cepat ini sudah sangat bagus jika dibandingkan dengan sistem immunologi, di mana membutuhkan waktu 14 hari untuk membentuk sistem imun. Saat ini, terapi baru untuk OTG saja. Untuk pasien klinik yang di rumah sakit, belum boleh, karena ada beberapa aturan khusus yang harus dipenuhi, sehingga kita belum masuk ke sana,” papat Prof Gelgel Wirasuta.

Pasien Covid-19 tidak hanya sekadar menghirup terapi berbahan uap arak yang sudah didestilasi ulang tersebut. Menurut Prof Gelgel Wirasuta, dilibatkan pula Usada Pranam Kanda Pat. Jadi, pasien lebih dulu diajak berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Bhatara Kawitan (Leluhur), baru kemudian memanggil Nyama Kanda Pat (empat saudara maya yang mengiringi setiap manusia sejak lahir ke dunia menurut kepercayaan Hindu di Bali).

Nah, nyama Kanda Pat menemani pasien agar membantu pengobatan. Setelah itu, pasien diminta hening sejenak dan melakukan Pranayama yakni mengatur napas. Pasien akan mengatur dan merasakan napasnya keluar masuk, sembari menghirup uap dari terapi yang telah dipanaskan menggunakan nebulizer.

“Saat menarik napas dibarengi dengan mengucapkan Om Ang Namah, ketika menahan napas mengucapkan Om Ung Namah, dan tatkala mengeluarkan napas mengucapkan Om Mang Namah. Nanti ada perawat yang akan memandu proses Pranayama ini. Pranayama dibarengi menghirup aromaterapi berbahan uap arak Bali ini dilakukan 3 kali masing-masing selama satu menit, yakni pagi, siang, dan sore hari,” jelas Prof Gelgel Wirasuta.

Sedangkan pasiedn Covid-19 non Hindu, diarahkan berdoa sesuai keyakinan masing-masing. Kemudian, saat mengatur keluar masuknya napas, mereka diharapkan untuk meresapi dan merasakan setiap napasnya sebagai anugerah dari Tuhan. Jadi, yang berbeda keyakinan tidak menyebut Om Ang Namah, Om Ung Namah, dan Om Mang Namah. “Pada saat menarik napas, diresapi dan dirasakan bahwa setiap napas adalah pemberian Tuhan atau Allah yang masuk untuk melebur semua penyakit yang ada dalam diri,” katanya.

Prof Gelgel Wirasuta sendiri belum mau membeberkan komposisi lengkap ramuan terapi uap arak Bali itu, mengingat saat ini masih dalam proses mencari hak paten. Saat ini, formula uap arak Bali ini sedang menuju proses paten, sehingga nantinya bisa disebarluaskan kepada masyarakat. Saat dipatenkan, terapi uap arak Bali tidak akan dimasukkan sebagai obat Covid-19, melainkan sebagai aromaterapi yang melegakan pernapasan.

“Jika nanti sudah paten produk, tempat produksi usada ini nantinya akan berada di Desa Tiga, Kecamatan Susut, Bangli. Mengapa harus di Bangli? Ya, karena menurut panglingsir tadi (Wayan Mesinario), ini tidak boleh lepas dari Bangli. Karena memohon petunjuk dari Bangli, maka penempatan produksinya juga harus di daerah Bali,” tegas Prof Gelgel Wirasuta. *ind

Komentar