nusabali

Pandemi, Pemesanan Kain Tenun Khas Jinengdalem Lesu

  • www.nusabali.com-pandemi-pemesanan-kain-tenun-khas-jinengdalem-lesu

Bukan hanya macetnya kedatangan wisatawan, namun hilangnya berbagai event promosi membuat penjualan terjun bebas.

SINGARAJA, NusaBali
Pandemi Covid-19 yang sudah berjalan tiga bulan terakhir berdampak terhadap aktivitas ekonomi masyarakat. Hal ini juga dirasakan oleh perajin tenun songket Jinengdalem, Buleleng. Ketut Sriponi, Ketua Kelompok Tenun Songket Jinengdalem mengungkapkan pandemi Covid-19 membuat pesanan yang biasanya diterima perajin melesu. "Pemesanan menurun sekali," singkatnya, Minggu (28/6).

Jika sebelum pandemi Covid-19, perajin di Kelompok Tenun Songket Jinengdalem bisa mendapatkan pesanan sebanyak 20 hingga 25 lembar kain tenun songket selama sebulan dengan nilai transaksi mencapai Rp 50-60 juta. Namun semenjak Covid-19, pesanan kain tenun khas Buleleng ini selama sebulan merosot hingga separuhnya, yakni 10-15 lembar kain dengan nilai penjualan Rp 10-30 juta.

Hal ini dikarenakan kegiatan kesenian dan kebudayaan yang digelar pemerintah yang biasanya dipakai ajang promosi dan mencari pesanan oleh perajin hampir nihil semasa pandemi. "Biasanya dalam sebulan ada saja event entah di kabupaten, provinsi, ataupun tingkat nasional. Misalnya di PKB (Pekan Kesenian Bali) biasanya kami banyak terima pesanan di sana," katanya.

Faktor melemahnya perekonomian juga membuat masyarakat berpikir dua kali sebelum membeli kain tenun berbahan sutra ini. "Untuk saat ini tidak menyetok di butik karena pasarnya sedang anjlok. Bulan-bulan ini juga mestinya cukup banyak pasangan yang memesan kain tenun songket couple-an untuk upacara pernikahan," tambah perempuan asal Banjar Sanih, Desa Penglatan, Kecamatan Buleleng ini.

Meski pemesanan mengalami penurunan, 30 perajin yang ada di Kelompok Tenun Songket Jinengdalem tetap melakukan produksi namun dibatasi. "Jumlah kain yang diproduksi otomatis diturunkan juga karena berdasarkan pesanan. Sebelum pandemi bahkan sampai menyetok kain dari perajin luar dengan kerja sama. Sekarang difokuskan ke perajin sini dulu," imbuhnya.

Perempuan kelahiran 22 Mei 1974 ini mengatakan, selama pandemi proses produksi yang dilakukan perajin tidak mengalami kesulitan dalam soal ketersediaan bahan yakni benang sutra yang didatangkan dari China. "Untuk bahan tenun songket yang kami pakai, benang sutra, selama ini masih mudah didapat di Denpasar. Harganya juga tidak ada kenaikan," tuturnya.

Dikatakannya, sebagian besar perajin tenun songket melakukan produksi dari rumah. Mereka memiliki peralatan untuk menenun sendiri. "Masing-masing produksi di rumah alias home industry. Jadi untuk peralatan masing-masing punya di rumahnya," katanya. Kain tenun yang diproduksi perajin dibanderol dengan harga Rp 3,5 juta hingga Rp 7 juta tergantung ukuran dan tingkat kerumitan motifnya.

"Harganya memang tidak murah. Namun sepadan dengan kualitasnya. Kain tenun songket Jinengdalem memiliki ciri khas tersendiri dibandingkan dengan songket dari daerah lain, khususnya di bagian motif. Selain hanya menggunakan bahan sutra, kain yang dibuat lebih lentur, sehingga nyaman ketika dipakai," beber pebisnis kain tenun songket Jinengdalem sejak tahun 2012 ini.*cr75

Komentar