Lima Permasalahan Hadang BPR di Bali
Pembenahan secara eksternal maupun internal harus segera dilakukan oleh BPR jika ingin tetap eksis.
DENPASAR, NusaBali
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Regional 8 Wilayah Bali dan Nusa Tenggara (Nusra) mengindentifikasi ada lima permasalahan utama Bank Perkreditan Rakytat (BPR), termasuk Bank Perkreditan rakyat Syariah (BPRS). Kelima permasalahan tersebut adalah permodalan (lack of capital). Terdapat beberapa BPR yang belum memenuhi ketentuan jumlah modal inti minimal.
“Keterbatasan modal ini akan berdampak pada beberapa hal antara lain keterbatasan dalam melakukan ekspansi bisnis, pengelolaan SDM dan penyediaan infrastruktur IT yang tidak optimal, sehingga berdampak pada melemahnya daya saing BPR dengan lembaga jasa keuangan lain,” ujar Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan OJK Regional 8 Rochman Pamungkas, mewakili Ketua OJK Regional 8 Bali-Nusra Elyanus Pongsada.
Dalam evaluasi kinerja BPR dan BPRS di Grand Inna Bali Beach Sanur, Rabu (27/11/2019), diungkapkan juga kurang optimalnya penerapan Tata Kelola BPR. Dikatakan Rochman Pamungkas masih ditemukan BPR yang mengalami kekurangan jumlah pengurus baik Direksi/Dewan Komisaris/Pejabat Eksekutif. Tegasnya, ketidakcukupan struktur dan kapasitas manajemen tentu mengurangi kualitas pelaksanaan fungsi perencanaan, pengarahan, pengawasan internal bank, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan kinerja bank
Selain itu peran aktif dewan komisaris dan direksi dalam memastikan penerapan manajemen risiko kepatuhan dan efektivitas kebijakan internal masih belum optimal. Ketidakcukupan infrastruktur dan kapasitas manajemen tentu akan akan mengurangi kualitas pelaksanaan fungsi perencanaan pengarahan, pengawasan internal bank hingga pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan kinerja bank. Permasalahan BPR lainnya adalah praktik perbankan yang tidak sehat sehingga terdapat BPR yang dicabut izin usahanya, sebagai akibat akibat praktik tidak sehat yang dilakukan pemilik pengurus,maupun karyawan BPR.
Beberapa pelanggaran ketentuan perbankan yang terjadi seperti intervensi pemilik bank dalam kegiatan operasional BPR. Efektivitas pelaksanaan tugas direksi yang kurang memadai pengelolaan aset. Penyaluran kredit yang melanggar prinsip kehati-hatian atau penggelapan dana BPR.
Permasalahan berikutnya adalah pada sisi risiko kredit. Berdasarkan hasil pengawasan OJK, peningkatan risiko kredit tercermin dari NPL per interval yang disebabkan belum optimalnya kualitas SDM di bagian perkreditan dalam penyaluran kredit. Terutama di sektor properti dan turunannya.
Kemudian penyelesaian kredit melalui penjualan agunan, yang memerlukan waktu yang lama. Dan lemahnya awarnes internal control, menyebabkan munculnya penyimpangan dalam penyaluran kredit. “Oleh karena peningkatan SDM menjadi masalah besar bagi BPR,” ujarnya.
Selanjutnya permasalahan keempat, kehandalan sistem teknologi informasi. Di antaranya sistem yang dimiliki masih memungkinkan diintervensi atau dimanipulasi . Manajemen risiko teknologi informasi, kata Rochman Pamungkas, sangat perlu diperhatikan.
Kelima produk layanan BPR yang terbatas. Pengembangan Produk layanan BPR saat ini perlu didukung strategi branding untuk mendorong image BPR yang lebih positif dan profesional, Sehingga lebih dikenal dan lebih kompetitif. Dalam mendorong variasi layanan BPR, kata Rochman Pamungkas OJK telah menerbitkan POJK Nomor 12 Tahun 2016, tentang Kegiatan Usaha BPR dan Wilayah Kerja BPR.
Tegas Rochman Pamungkas, permasalahan dan tantangan yang ada, harus mampu dikelola oleh Dewan Komisaris dan Direksi BPR dan BPRS dengan senantiasa melaksanakan peran dan fungsinya melayani kebutuhan jasa perbankan serta memberikan dukungan kepada upaya pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal. Hal tersebut mengingat saat ini persaingan di segmen kredit mikro, kecil dan menengah (UMKM) sangat ketat.
Sementara itu, kinerja keuangan BPR di Provinsi Bali masih menunjukkan pertumbuhan positif dan meningkat dari periode sebelumnya. Total aset BPR mencapai Rp16,87 triliun, tumbuh 12,47 persen (yoy), meningkat dari periode sebelumnya yang tumbuh 8,27 persen dan lebih tinggi dari BPR secara nasional yang tumbuh 10,24 persen (yoy).
Ketua Perbarindo Bali I Ketut Wiratjana tidak menampik terhadap sejumlah persoalan yang dihadapi industri BPR di Bali. Terkait itu kata Wiratjana ada tiga yang menjadi perhatian Perbarindo. Pertama penguatan permodalan , kedua peningkatan SDM yang ada di BPR, untuk mengelola BPR-nya. Ketiga pemenuhan IT. “ Itu sudah mulai kami lakukan,” tegasnya. Jumlah BPR dan BPRS di Bali yang menjadi anggota Perbarindo saat ini mencapai 134. *k17
“Keterbatasan modal ini akan berdampak pada beberapa hal antara lain keterbatasan dalam melakukan ekspansi bisnis, pengelolaan SDM dan penyediaan infrastruktur IT yang tidak optimal, sehingga berdampak pada melemahnya daya saing BPR dengan lembaga jasa keuangan lain,” ujar Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan OJK Regional 8 Rochman Pamungkas, mewakili Ketua OJK Regional 8 Bali-Nusra Elyanus Pongsada.
Dalam evaluasi kinerja BPR dan BPRS di Grand Inna Bali Beach Sanur, Rabu (27/11/2019), diungkapkan juga kurang optimalnya penerapan Tata Kelola BPR. Dikatakan Rochman Pamungkas masih ditemukan BPR yang mengalami kekurangan jumlah pengurus baik Direksi/Dewan Komisaris/Pejabat Eksekutif. Tegasnya, ketidakcukupan struktur dan kapasitas manajemen tentu mengurangi kualitas pelaksanaan fungsi perencanaan, pengarahan, pengawasan internal bank, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan kinerja bank
Selain itu peran aktif dewan komisaris dan direksi dalam memastikan penerapan manajemen risiko kepatuhan dan efektivitas kebijakan internal masih belum optimal. Ketidakcukupan infrastruktur dan kapasitas manajemen tentu akan akan mengurangi kualitas pelaksanaan fungsi perencanaan pengarahan, pengawasan internal bank hingga pada akhirnya dapat menyebabkan penurunan kinerja bank. Permasalahan BPR lainnya adalah praktik perbankan yang tidak sehat sehingga terdapat BPR yang dicabut izin usahanya, sebagai akibat akibat praktik tidak sehat yang dilakukan pemilik pengurus,maupun karyawan BPR.
Beberapa pelanggaran ketentuan perbankan yang terjadi seperti intervensi pemilik bank dalam kegiatan operasional BPR. Efektivitas pelaksanaan tugas direksi yang kurang memadai pengelolaan aset. Penyaluran kredit yang melanggar prinsip kehati-hatian atau penggelapan dana BPR.
Permasalahan berikutnya adalah pada sisi risiko kredit. Berdasarkan hasil pengawasan OJK, peningkatan risiko kredit tercermin dari NPL per interval yang disebabkan belum optimalnya kualitas SDM di bagian perkreditan dalam penyaluran kredit. Terutama di sektor properti dan turunannya.
Kemudian penyelesaian kredit melalui penjualan agunan, yang memerlukan waktu yang lama. Dan lemahnya awarnes internal control, menyebabkan munculnya penyimpangan dalam penyaluran kredit. “Oleh karena peningkatan SDM menjadi masalah besar bagi BPR,” ujarnya.
Selanjutnya permasalahan keempat, kehandalan sistem teknologi informasi. Di antaranya sistem yang dimiliki masih memungkinkan diintervensi atau dimanipulasi . Manajemen risiko teknologi informasi, kata Rochman Pamungkas, sangat perlu diperhatikan.
Kelima produk layanan BPR yang terbatas. Pengembangan Produk layanan BPR saat ini perlu didukung strategi branding untuk mendorong image BPR yang lebih positif dan profesional, Sehingga lebih dikenal dan lebih kompetitif. Dalam mendorong variasi layanan BPR, kata Rochman Pamungkas OJK telah menerbitkan POJK Nomor 12 Tahun 2016, tentang Kegiatan Usaha BPR dan Wilayah Kerja BPR.
Tegas Rochman Pamungkas, permasalahan dan tantangan yang ada, harus mampu dikelola oleh Dewan Komisaris dan Direksi BPR dan BPRS dengan senantiasa melaksanakan peran dan fungsinya melayani kebutuhan jasa perbankan serta memberikan dukungan kepada upaya pemberdayaan kekuatan ekonomi lokal. Hal tersebut mengingat saat ini persaingan di segmen kredit mikro, kecil dan menengah (UMKM) sangat ketat.
Sementara itu, kinerja keuangan BPR di Provinsi Bali masih menunjukkan pertumbuhan positif dan meningkat dari periode sebelumnya. Total aset BPR mencapai Rp16,87 triliun, tumbuh 12,47 persen (yoy), meningkat dari periode sebelumnya yang tumbuh 8,27 persen dan lebih tinggi dari BPR secara nasional yang tumbuh 10,24 persen (yoy).
Ketua Perbarindo Bali I Ketut Wiratjana tidak menampik terhadap sejumlah persoalan yang dihadapi industri BPR di Bali. Terkait itu kata Wiratjana ada tiga yang menjadi perhatian Perbarindo. Pertama penguatan permodalan , kedua peningkatan SDM yang ada di BPR, untuk mengelola BPR-nya. Ketiga pemenuhan IT. “ Itu sudah mulai kami lakukan,” tegasnya. Jumlah BPR dan BPRS di Bali yang menjadi anggota Perbarindo saat ini mencapai 134. *k17
1
Komentar