nusabali

Perang Ketupat Meriahkan Puncak Usaba di Apityeh

  • www.nusabali.com-perang-ketupat-meriahkan-puncak-usaba-di-apityeh

AMLAPURA, NusaBali - Tradisi perang ketupat atau Masantalan merupakan rangkaian puncak Pacaruan Usaba Desa atau upacara Usaba Mangkalan di pertigaan jalan Banjar Apityeh Kelod, Desa Adat Apityeh, Desa/Kecamatan Manggis, Karangasem, Wraspati Kliwon Menail, Kamis (23/5), pukul 14.30 Wita. Upacara ini dilaksanakan setiap setahun sekali.

Usaba desa merupakan tradisi sebagai bentuk rasa syukur, mendapatkan berkah usai panen di sawah, dalam bentuk hasil panen berlimpah. Seperti biasa, perang itu berlangsung di pertigaan Desa Apityeh, diikuti dua kelompok pemuda, saling serang bersenjatakan ketupat, hingga seluruh ketupat hancur, maka perang berakhir. Perang tersebut dilaksanakan bertepatan dengan Kajeng Kliwon yang kedua, Sasih Sadha, saat umur padi 4 minggu. Saat itu pula petani sedang melaksanakan upacara biu kukung di sawah atau usai panen padi.

Prosesi upacara ulai pagi yakni Mapurwadaksina dengan keliling wawidangan Desa Adat Apityeh yang mewilayahi 4 banjar adat, yakni Banjar Kaler, Banjar Kelod, Banjar Kawan dan  Banjar Kangin, dengan mengelilingkan seekor kurban godel (anak sapi). Berlanjut menyembelih godel di Bale Banjar Apityeh Kelod, sebagian dagingnya untuk upacara pacaruan dan sebagian dagingnya terbagikan untuk krama yang berasal dari 4 banjar itu.

Warga usai memasak daging godel kembali datang, dengan membawa kemasan banten yang berisi satu kelan (berisi enam butir) ketupat. Krama desa berlanjut menggelar upacara pacaruan di Pura Puseh dipuput Jro Mangku Nyoman Sudiarta, pacaruan di Pura Taman Beji dipuput Jro Mangku Nengah Sarjana, di Pura Bale Agung dipuput Jro Mangku Rani dan terakhir upacara pacaruan di Pura Dalem dipuput Jro Mangku Diarti.

Selanjutnya, kaum pemuda masing-masing membawa satu kelan (6 biji ketupat) ketupat sebagai senjata, ketupat itu merupakan surudan (upakara yang sebelumnya telah dipersembahkan) di Pura Puseh, Pura Dalem Pura Taman Beji dan Pura Bale Agung.

Bendesa Adat Apityeh I Nengah Kuta kemudian membagi jadi dua kelompok pemuda aggotanya sama rata, menjadi kelompok utara dan kelompok selatan dibatasi tali dengan jarak kedua kelompok pemuda 10 meter. Kemudian perang dimulai setelah I Nengah Kuta memberikan aba-aba dengan bunyi peluit.

Kedua kelompok pemuda saling lempar gunakan ketupat, hingga seluruh ketupat hancur. Selanjutnya Bendesa Adat Apityeh I Nengah Kuta kembali membunyikan peluit, pertanda perang berakhir. "Ini tradisi sebagai rasa syukur atas kemakmuran diberkati Ida Bhatari Sri, makanya rutin kami laksanakan, agar berkah terus berlanjut," kata I Nengah Kuta.7k16

Komentar