nusabali

Momentum 78 Tahun Indonesia Merdeka

  • www.nusabali.com-momentum-78-tahun-indonesia-merdeka

Menengok Dinamika Ketatanegaraan R.I; Bentuk Negara, Bentuk Pemerintahan dan Sistem Pemerintahan, Pancasila Dasar Negara RI, Yuridis Konstitusi Negara.

4. Kembali ke UUD 1945 (5 Juli 1959 — Sekarang)

Dari perspektif analisis terhadap dinamika ketata negaraan pada masa kembali ke UUD 1945 periode kedua, konsistensi dan atau penyimpangan terhadap konstitusi negara, periode ini dibagi atas tiga bagian:

4.1. Orde Lama (1959 — 1965)

Bentuk Negara, Bentuk Pemerintahan dan Sistem Pemerintahan sama dengan masa UUD 1945 sebelumnya, yakni bentuk negara Kesatuan sistem desentralisasi, bentuk pemerintahan Republik dan sistem pemerintahan Presidensil. Yang terjadi adalah sejumlah penyimpangan terhadap konstitusi. Demokrasi terpimpin lebih ditekankan kepada terpimpin di tangan Presiden daripada dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Berikut ini penyimpangan terhadap UUD 1945:

1) Menurut UUD 1945 Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Namun yang terjadi di masa itu DPR hasil pemilu 1955 oleh Presiden Soekarno dibubarkan, Presiden kemudian membentuk DPR Gotong Royong.

2) MPRS menetapkan Sukarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini menyimpang dari konsrtitusi yang mengatur bahwa Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan setelah itu dapat dipilih kembali.

3) UUD 1945 mengatur bahwa lembaga MPR bersidang di ibukota Negara yakni Jakarta, akan tetapi ketika itu MPRS bersidang di kota Bandung.

4) Haluan politik luar negeri Indonesia yang seharusnya Bebas Aktif, diselewengkan ke arah blok kiri yakni pores Jakarta — Pyongyang - Peking.

5) Puncak dari penyimpangan ini terjadi penghianatan Gerakan 30 September (G30 S/PKI).

Bila dibandingkan penyimpangan terhadap UUD 1945 antara masa 1945 hingga 1949 dengan masa Orde Lama, perbedaannya adalah penyimpangan dari sistem presidensil menjadi sistem pemerintahan parlementer pada periode 1945-1949 lebih kepada pertimbangan bahwa ketika itu bangsa Indonesia sedang memerlukan dukungan pengakuan negara lain atas kedaulatan RI. Masa itu bangsa kita ingin menunjukkan pada dunia luar bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Penyimpangan lebih bisa difahami untuk alasan diplomasi serta mempertahankan kemerdekaan. Berbeda halnya dengan sejumlah penyimpangan konstitusi di masa Orde Lama, dilakukan oleh pemerintahan Presiden Sukarno dengan mengatasnamakan demokrasi terpimpin Penghianatan PKI dengan G3OS nya menimbulkan reaksi keras dari publik, dipelopori mahasiswa dan pelajar. Terdapat Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAM1), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Kesatuan-kesatuan aksi ini menuntut Tri Tuntutan Rakyat atau Tritura, berisi: bubarkan PKI, bersihkan Kabinet dari unsur-unsur G30S/PKI, turunkan harga. Terbit kemudian Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) dengan pengembannya Letnan jendral Suharto. lahirlah Orde Baru dengan tekadnya yang terkenal ketika itu melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

4.2. Orde Baru (1966 — 1998)

Lahirnya Supersemar dijadikan tonggak Orde Baru. Bentuk Negara, Bentuk Pemerintahan dan Sistem Pemerintahan pada intinya sama dengan Orde Lama. Dengan komitmen Orba melaksanakan secara murni dan konsekuen Pancasila dan UUD 1945, maka bentuk negara adalah Negara Kesatuan dengan sistem desentralisasi, bentuk pemerintahan Republik, sistem pemerintahan Presidensil. Untuk menjalankan ketentuan konstitusi, dilaksanakan pemilihan umum secara teratur setiap lima tahun. Dimulai tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Dalam sidang-sidang MPR untuk memilih Presiden, dalam enam kali pemilu Suharto terpilih sebagai presiden oleh MPR. Di tengah perjalanan Orba, mulai muncul sikap kritis dan koreksi masyarakat atau publik terhadap pemerintahan Orba di bawah Presiden Suharto, di antara koreksi tersebut adalah:

1) Tidak lagi konsisten melaksanakan Pancasila dan konstitusi secara murni dan konsekuen. Mengatasnamakan demokrasi Pancasila, namun dalam prakteknya kebebasan berserikat dan berpendapat sesuai amanah pasal 28 UUD 1945 tidak dirasakan oleh Sebagian besar rakyat Indonesia. System desentralisasi dalam kewenangan mengatur pemerintahan dan keuangan daerah tidak terimplementasi secara benar. Azas pemilu Langsung, Umum, Bebas, Rahasia hanya tertulis. Dalam praktek sangat membatasi dan menggangu hak-hak politik pemilih dan warganegara. Terdapat pemaksaan melalui azas tunggal Pancasila terhadap organisasi sosial politik dan keormasan.

2) Bermain strategi di dalam pemanfaatan Pasal 7, Pasal 6 Ayat (2), Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 19 UUD 1945. Pasal 7 menyatakan Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali. Longgarnya masa jabatan presiden menurut pasal 7 ini memberi peluang sebesar-besarnya kepada presiden "incumbent" Suharto untuk kembali mencalonkan dan dicalonkan hingga sampai enam kali pemilu. Adapun pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 mengatur Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR dengan suara terbanyak. Pasal ini terkait dengan keanggotaan MPR yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) bahwa MPR terdiri atas anggota-anggota DPR, ditambah dengan utusan-utusan daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Berkaitan pula dengan Pasal 19 UUD 1945 tentang keanggotaan DPR yang mengatur bahwa susunan DPR ditetapkan dengan undang-undang. 

Penciptaan kondisi politik pemerintahan di masa Orba oleh presiden yang dipilih oleh MPR sebanyak enam kali yakni Letjen Suharto, dengan bermain strategi disaat proses pembuatan dan penetapan undang-undang tentang DPR dan MPR. Pengajuan suatu Rancangan Undang-undang hampir selalu dari Presiden atau Pernerintah, bukan dari insiatif DPR. DPR ketika itu sangat tidak berdaya, situasi yang ada sangat "executive heavy". Dengan demikian produk Undang-undang yang lahir adalah Undang-undang yang berorientasi kepada kepentingan serta kelanggengan posisi pemegang kekuasaan pemerintahan yakni Suharto. Unsur keanggotaan DPR terdiri anggota yang dipilih oleh rakyat dengan tidak "luber", serta anggota yang diangkat dari TNI/Polri. Sementara presiden adalah Panglima tertinggi ABRI, dapat dipastikan anggota yang diangkat mereka yang mendapat restu presiden. Begitu pula Undang-undang keanggotaan MPR. Ditentukan unsur keanggotaan MPR terdiri anggota DPR ditambah utusan daerah dan golongan. Strategi kekuasaan bermain di area anggota DPR yang diangkat, Utusan Daerah dan Utusan Golongan. Dengan demikian secara logika politik mengatakan anggota DPR dan MPR yang diangkat dan diberikan oleh presiden, maka disaat proses pemilihan presiden oleh MPR sudah barang tentu akan memilih dan menetapkan presiden "incumbent" kembali menjadi presiden sebagai politik balas jasa. lnilah yang berlangsung selama paling tidak lima kali pemilu.

3) Praktek korupsi, kolusi, nepotism (KKN) di lingkaran keluarga cendana, kerabat, orang dekat serta elit penguasa orba menimbulkan ketidak adilan masyarakat, perasaan cemburu publik hingga antipati rakyat terhadap pemerintah.
Sikap kritis publik sudah manual sejak awal 1980-an terhadap rezim Orba; praktek KKN merebak, kebebasan berdemokrasi dan bersuara sangat dibatasi, kehidupan sosial politik sangat tidak equal dan berkeadilan, pemilu sekedar formalitas rutinitas lima tahunan yang sangat jauh dari prinsip Luber, pelanggaran HAM di banyak tempat, akhirnya sampai pada kehendak publik merefomasi konstitusi negara UUD 1945. Diantara pasal-pasal yang di amandemen adalah tentang pemilihan presiden langsung oleh rakyat.

4.3. Masa Reformasi (1998 — sekarang)

Reformasi ketatanegaraan RI adalah reformasi terhadap konstitusi negara. Adapun Bentuk Negara, Bentuk Pemerintahan dan Sistem pemerintahan tetap tidak berubah. Bentuk Negara Kesatuan sistem desentralisasi, Bentuk Pemerintahan Republik dan Sistem Pemerintahan Presidensil. Yang banyak berubah adalah amandemen sejumlah pasal UUD 1945, dipandang Iebih mencerminkan prinsip-prinsip demokrasi serta adanya Balance of power antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Berikut ini beberapa amandemen pasal-pasal tersebut:

1) Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945: DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Berbeda sebelumnya kekuasaan membentuk undang-undang di tangan Presiden. Pasa 20: Dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut (DPR dan Presiden) apabila tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Pasal 5 Ayat (I): Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Pasal-pasal tersebut menunjukkan bahwa legislasi yang sesungguhnya berada di tangan lembaga legislatif yakni DPR, bukan di tangan Presiden.

2) Seluruh anggota MPR, DPR dan DPRD dipilih melalui pemilu, tidak ada lagi anggota legislatif yang melalui mekanisme pengangkatan.

3) Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu paket pasangan secara langsung oleh rakyat. Dalam pasal lainnya (Pasal 7) Presiden dan wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Pertama, Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan dipilih langsung oleh rakyat. Kedua, masa jabatan Presiden di Indonesia paling lama dua kali masa jabatan atau dua kali lima tahun. Ke depan tidak lagi bangsa kita mengenal presiden terpilih sekian kali hingga memerintah 32 tahun atau tidak lagi mengenal presiden seumur hidup.

4) Dibentuk lembaga baru legislatif, yudikatif dan dewan pertimbangan presiden. Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dipilih dari setiap provinsi melalui pemilu, Komisi Yudisial yang bersifat mandiri berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Lembaga Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran parpol dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Kemudian dalam Pasal 16: Presiden membentuk suatu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, yang selanjutnya diatur dalam undang-undang. Sebelum amandemen UUD dikenal lembaga Dewan Pertimbangan Agung (DPA) berkedudukan sebagai lembaga tinggi negara yang sejajar dengan Presiden serta lembaga-lembaga tinggi negara yang lain. Sementara Dewan Pertimbangan Presiden yang memiliki tugas memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden, merupakan bagian dari lembaga kepresidenan.

Komentar