nusabali

'Nggak Apa-Apa Kalau Sedih Nangis Aja', Buku Karya Psikolog untuk Berdamai dengan Inner Child Dibedah di Bali

  • www.nusabali.com-nggak-apa-apa-kalau-sedih-nangis-aja-buku-karya-psikolog-untuk-berdamai-dengan-inner-child-dibedah-di-bali
  • www.nusabali.com-nggak-apa-apa-kalau-sedih-nangis-aja-buku-karya-psikolog-untuk-berdamai-dengan-inner-child-dibedah-di-bali

DENPASAR, NusaBali.com - Trauma masa kecil sering kali terbawa hingga dewasa. Luka dari masa belia ini mempengaruhi cara orang dewasa menyikapi emosinya ketika terpantik trauma masa lalu, inilah inner child.

Psikolog Klinis sekaligus sang penulis buku Anastasia Satriyo mengajak pembaca untuk mengerti dan mengenal diri sendiri lebih dulu. Penting bagi seseorang untuk mengerti diri sendiri sebelum meminta dimengerti orang lain.

"Penting banget kenal diri, karena kalau sudah kenal diri hidup bisa dijalani lebih baik," buka piskolog lulusan Universitas Katolik Indonesia saat peluncuran buku  'Nggak Apa-Apa Kalau Sedih Nangis Aja' di Gramedia Teuku Umar Denpasar, Sabtu (16/7/2023) sore.

Lanjut perempuan yang akrab disapa Anas, manusia sejak dini sudah memiliki kebutuhan emosi yang kalau dirinci berjumlah puluhan. Beberapa di antaranya adalah ingin merasa diterima, merasa dihargai, merasa didukung, merasa didengarkan, dan lainnya.

Kebutuhan emosi ini dinilai sama pentingnya dengan kebutuhan fisik seperti oksigen untuk bernapas. Kebutuhan dasar emosi ini bersifat subjektif dan berbeda-beda tergantung pengalaman masa kecil setiap individu.

Kebutuhan emosi dasar ini bisa dikilas balik apakah sudah dipenuhi saat masih belia terutama oleh orang terdekat seperti orangtua. Apabila ada kebutuhan emosi dasar yang ternyata tidak terpenuhi di masa belia, bisa menjadi luka menganga yang dibawa hingga dewasa.

"Waktu kecil kita selalu ingin didengarkan walaupun bagi orang dewasa mungkin apa yang kita ceritakan itu tidak penting. Begitu dewasa, kita ingin selalu didengarkan oleh pasangan, teman kerja. Kalau tidak, bawaanya ingin marah," beber Anas.

Psikolog yang aktif di akun Instagramnya yang sudah tercentang biru ini pun mengajak pembaca mengilas balik. Mengingat kembali apa yang membuat seseorang terpantik. Bisa jadi itu merupakan luka menganga yang dibawa sejak kecil.

Luka menganga ini tidak melulu masalah psikologis berat tetapi bisa sesederhana misalnya sejak kecil anak perempuan dilarang marah-marah agar tetap anggun. Anak laki-laki dilarang menangis agar tidak terlihat lemah. Emosi yang tertahan sejak dini ini seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja.

"Dari kecil saya sudah dibilangin cengeng, begitu aja nangis. Apalagi saya anak pertama dan dituntut mandiri. Saya dituntut bisa membuka jalan untuk adik-adik saya," ungkap Listya Pranata, seorang pembaca yang memberikan testimoni.

Ketika dewasa, begitu ada yang tidak sesuai ekspektasinya, dia cepat marah dan merasa tidak puas dengan diri sendiri. Listyanti mencari cara jalan keluar agar bisa berdamai dengan inner child-nya dan itu ditemukannya pada buku ini yang dia beli pada peluncuran awal pada bulan Mei lalu di Jakarta.

Sementara itu, Anas yang juga jebolan magister psikolog profesi Universitas Indonesia menekankan, emosi itu sama seperti hukum kekekalan energi dalam ilmh fisika. Energi itu tidak bisa dimusnahkan tetapi wujudnya bisa berubah-ubah. Emosi yang dibawa dari masa kecil juga seperti itu.

Jawaban untuk memproses emosi inner child yang berubah bentuk penyampaiannya ketika dewasa adalah dengan 'mengasuh' kembali diri sendiri selayaknya menjadi orangtua bagi diri sendiri. Cara ini disebut re-parenting melalui pemenuhan atau merevisi pemenuhan kebutuhan dasar emosi.

Rahasia-rahasia re-parenting ini tersimpan di dalam buku setebal 168 halaman terbitan Yrama Widya. Buku ketiga Anas bersama Penerbit Yrama Widya setelah 'Kamu Tak Harus Sempurna' dan 'Tak Ada Sekolah tuk Jadi Orang Tua' ini bisa ditemukan di cabang-cabang Gramedia maupun di marketplace kesayangan. *rat

Komentar