nusabali

Kisah Roman Dewa Siwa di Balik Caru Panca Sata Madurga dan Laba Kama Durga Pura Dalem Kerobokan

Digelar Setiap Tilem Sasih Kapitu, Hari Paling Gelap dalam Satu Tahun Saka

  • www.nusabali.com-kisah-roman-dewa-siwa-di-balik-caru-panca-sata-madurga-dan-laba-kama-durga-pura-dalem-kerobokan
  • www.nusabali.com-kisah-roman-dewa-siwa-di-balik-caru-panca-sata-madurga-dan-laba-kama-durga-pura-dalem-kerobokan

MANGUPURA, NusaBali.com – Dua upacara yang digelar Pura Dalem Desa Adat Kerobokan pada Tilem Kapitu, Saniscara Pahing Langkir, Sabtu (21/1/2023) terkesan sangat magis karena digelar pada hari paling gelap dalam satu tahun Saka.

Tilem pada sasih kapitu dipercaya sebagai hari di mana bulan, bumi, dan matahari berada pada satu poros. Dikarenakan pada periode bulan baru ini, Tilem Kapitu juga disebut rahina peteng dedet atau gelap gulita.

Pada Tilem Kapitu inilah, sesuai tradisi turun temurun di Pura Dalem Kerobokan, diselenggarakan dua upacara besar yakni caru Panca Sata Madurga untuk para bhuta kala dan Laba Kama Durga untuk ancangan Ida Bhatara Siwa.

Di balik pelaksanaan pacaruan dan persembahan ini, tersimpan kisah roman Dewa Siwa yang melatarbelakangi pelaksanaan yadnya tersebut. Kedua yadnya itu dikatakan sebagai respons terhadap dampak dari roman antara Sang Hyang Kala Rudra sebagai perwujudan Siwa dengan Dewi Durga.

Manggala Utama Pura Dalem Kerobokan, I Gusti Putu Putra, 75, menjelaskan bahwa pada suatu masa Sakti Dewa Siwa yakni Dewi Uma diturunkan ke marcapada karena sebuah kesalahan atas uji kesetiaan.

“Dikisahkan bahwa Ida Bhatara Siwa sedang sungkan (sakit), diperintahkanlah Sakti Beliau untuk mencari obat berupa empehan (perahan) susu lembu. Namun, pada proses pencarian itu Ida Bhatari Uma mamitra (selingkuh) dengan si penggembala lembu,” tutur Gusti Putra.

Dalam purana, kisah ini adalah bentuk ujian kesetiaan Dewa Siwa terhadap Dewi Uma. Di mana, si penggembala tersebut disebutkan juga sebagai perwujudan Dewa Siwa. Perselingkuhan itu terjadi bukannya tanpa sebab. Karena cinta Dewi Uma kepada Dewa Siwa yang begitu besar, sang dewi rela melakukan apa pun demi mendapatkan obat untuk sang dewa.

Namun, atas ‘kesalahan’ tersebut, Dewi Uma diturunkan oleh Dewa Siwa ke dunia dan berakhir di Setra Gandamayu. Wujud Dewi Uma pun berubah menjadi raksasi yang dikenal sebagai Dewi Durga.

“Lambat laun, Ida Bhatara Siwa rindu dengan Sakti-Nya. Beliau pun turun ke marcapada menemui Ida Bhatari Durga. Tetapi tidak kunjung bertemu karena dewa tidak akan bisa bertemu dengan raksasi,” jelas Gusti Putra yang juga panglingsir Puri Kelodan Kerobokan.

Pria yang sudah ngayah sebagai manggala utama di Pura Dalem Kerobokan sejak 31 tahun silam ini membeberkan bahwa akhirnya Dewa Siwa mengambil wujud raksasa. Wujud tersebut dikenal sebagai Sang Hyang Kala Rudra. Dengan wujud sama-sama raksasa, keduanya akhirnya bisa bertemu.

Akibat pertemuan dua sejoli yang saling merindukan tersebut, cairan kama dari roman Sang Hyang Kala Rudra dan Dewi Durga ini berjatuhan di Setra Gandamayu. Cairan kama itu berubah menjadi bermacam wujud. Ada sebagai bhuta kala ada pula yang menjadi pangiring dan ancangan Dewa Siwa dan Dewi Durga.

Kata Gusti Putra, untuk menetralisir dan melebur sifat bhuta kala sehingga menyisakan sifat kedewataan dilakukanlah caru Panca Sata Madurga. Caru ini menggunakan lima ekor ayam berwarna putih di timur, ayam biing atau merah di selatan, ayam putih siungan di barat, ayam hitam di utara, dan ayam berumbun di tengah.

“Caru Panca Sata ini biasanya ditemani binatang lain selain ayam. Di sini kami memakai bebek di sisi kaja kangin (timur laut) dan asu (anjing) di sisi kelod kauh (barat daya),” imbuh Gusti Putra.

Pacaruan Panca Sata Madurga ini dilakukan pada pagi hari di lebuh Pura Dalem Kerobokan. Sore harinya sekitar pukul 15.00 Wita, diselenggarakan upacara kedua yakni Laba Kama Durga.

Gusti Putra menegaskan bahwa Laba Kama Durga ini berbeda dengan pacaruan yang dilakukan pada pagi hari. Upacara kedua ini diperuntukkan kepada ancangan Dewa Siwa dan Dewi Durga bukan kepada bhuta kala lagi.

Oleh karena itu, sedikitnya 14 palawatan Ida Bhatara berupa rangda, barong, dan ratu landung mapupul (berkumpul) di lebuh Pura Dalem Kerobokan pada sore hari. Palawatan Ida Bhatara ini mapupul untuk dipersembahkan upacara Laba Kama Durga.

Kata Bendesa Adat Kerobokan AA Putu Sutarja, pada upacara Laba Kama Durga ini seluruh palawatan Ida Bhatara dari 20 banjar adat pangempon Pura Dalem Kerobokan mapupul. Pada upacara ini pulalah terdapat tradisi ngurek atau nguying, suatu representasi rasa kepercayaan yang kuat terhadap perlindungan Ida Bhatara.

“Dalam Laba Kama Durga ini terdapat prosesi pasamuan hidangan, nyaung atau ngurek, dan penyembelihan beberapa Binatang,” ungkap Gung Sutarja ketika dijumpai di sela-sela pacaruan.

Prosesi yang paling magis dan membuat jiwa panjak bergetar adalah pasca penyembelihan babi butuhan. Sebab, palawatan Ida Bhatara khususnya yang berwujud rangda bakal memanjat dua umbul-umbul yang mengapit. Panjak dari 20 banjar adat akan memegang kaki para pamundut rangda.

Palawatan Ida Bhatara berupa rangda yang berada di atas sembari memegang umbul-umbul ini lantas melantunkan ucap-ucapan untuk menetralisir energi negatif sembari mengibaskan kekereb. Pada saat ini pulalah, beberapa panjak bakal mengalami karauhan (trance).

Sembari diiringi gamelan bernada cepat, prosesi ini berlangsung beberapa menit hingga palawatan Ida Bhatara kembali diturunkan.

“Pada upacara Laba Kama Durga ini, persembahan kami berikan kepada ancangan Ida Bhatara yakni Prajapati, Banaspati, dan Banaspati Raja,” beber Gusti Putra.

Sebagai manggala utama yang sudah mengabdi lebih dari tiga dekade, Gusti Putra berharap yadnya yang dilakukan pada hari paling gelap ini bisa memberikan pencerahan. Sebuah usaha untuk membentuk lentera bagi panjak Pura Dalem Kerobokan agar diberkahi anugerah dan kesejahteraan oleh Dewa Siwa dan segala manifestasi-Nya. *rat

Komentar