nusabali

Aci Tabuh Rah Pengangon Desa Adat Kapal Kembali Digelar

Tahun Ini Tari Rejang Tipat Baris Bantal Dibuat Seragam

  • www.nusabali.com-aci-tabuh-rah-pengangon-desa-adat-kapal-kembali-digelar
  • www.nusabali.com-aci-tabuh-rah-pengangon-desa-adat-kapal-kembali-digelar

MANGUPURA, NusaBali
Tradisi Upacara Aci Tabuh Rah Pengangon (sebelumnya populer disebut Siat Tipat Bantal) di Desa Adat Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung kembali digelar pada Purnamaning Sasih Kapat, Soma Wage Dukut, Senin (10/10).

Ribuan krama tumpah ruah mengikuti tradisi yang identik dengan melempar tipat (ketupat) dan bantal (penganan dari ketan) ke udara ini. Menariknya, pelaksanaan tahun ini diiringi dengan pementasan Tari Rejang Tipat Baris Bantal yang sudah dipolakan, dari yang sebelumnya tidak terpola.

Bendesa Adat Kapal, I Ketut Sudarsana mengungkapkan prosesi diawali dengan persembahyangan bersama pada pagi harinya. Kemudian, pada sore harinya sebelum puncak pelemparan tipat dan bantal, terlebih dahulu dipersembahkan tarian Rejang Tipat Baris Bantal. Menurut Sudarsana, tarian ini sebetulnya sudah ada sejak dulu. Namun ditarikan secara sederhana tanpa busana seragam. Gerak tariannya pun tak sama satu dengan yang lain. Sehingga tariannya menjadi tidak serempak.

"Sehingga kami berkeinginan untuk tarian ini dibuat seragam, baik pola tarinya maupun pakaiannya. Tarian ini akan ditarikan setahun sekali saat pelaksanaan Aci Tabuh Rah Pengangon," ungkapnya, usai pelaksanaan upacara.

Pelaksanaan Aci Tabuh Rah Pengangon kemarin juga disaksikan langsung Bupati Badung I Nyoman Giri Prasta didampingi anggota DPRD Badung I Made Suwardana dan Ni Komang Tri Ani. Usai memberikan sambutan, tepat pukul 15.30 Wita prosesi pelemparan tipat bantal kecil dilakukan oleh 33 orang perempuan dan 33 orang laki-laki di jaba Pura Desa Adat Kapal. Setelah itu, aksi melempar tipat dan bantal berlanjut di jalan raya depan Pura Desa Adat Kapal. Ribuan krama saling melempar tipat dan bantal ke udara. Perempuan ada di sisi kiri melempar tipat. Sedangkan laki-laki di sisi kanan melempar bantal.

Sudarsana menjelaskan, jika merunut dari sejarah, tradisi ini sudah ada sejak dulu dan dilaksanakan pertama kali tahun 1339 Masehi. Tujuan tradisi ini guna memohon ke hadapan Ida Bhatara yang berstana di Pura se-Desa Adat Kapal agar menganugerahkan keselamatan dan kesejahteraan bagi krama Desa Adat Kapal. Aci Tabuh Rah Pengangon dilaksanakan di Pura Dalem Gelgel. Nah, kebetulan Pura Dalem Gelgel ini tempatnya jadi satu dengan Pura Desa-Puseh, sehingga masyarakat lebih mengenal pelaksanaannya di Pura Desa-Puseh Desa Adat Kapal.

"Aci Tabuh Rah Pengangon ini dilaksanakan setahun sekali bertepatan dengan Purnama Sasih Kapat dan sampai saat ini sudah terlaksana 683 kali. Pelaksanaan tradisi ini bukan untuk permainan atau hiburan. Melainkan ini adalah sebuah persembahan yang sangat sakral," tegasnya.

Lebih lanjut dijelaskan, awal mula tradisi Tabuh Rah Pengangon terjadi pada masa kepemimpinan Raja Bali, Ida Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Di mana sang raja saat itu mengutus patihnya bernama Ki Kebo Taruna atau Kebo Iwa untuk datang memperbaiki Pura Purusada di Kapal. Pada saat kedatangannya tersebut, Kebo Iwa melihat sebagian besar rakyat Kapal bertani. Namun, saat datang warga Desa Kapal terserang musibah dan musim paceklik. Saat itulah, Kebo Iwa memohon kepada Ida Bhatara yang berstana di Pura Purusada. Ia mendapat petunjuk agar dilaksanakan upacara sebagai persembahan kepada Sang Hyang Siwa dengan melaksanakan Aci Tabuh Rah Pengangon.

"Persembahan tersebut diwujudkan dengan mempertemukan Purusa dan Predana disimbolkan Tipat dan Bantal. Sehingga lahirlah tradisi Aci Tabuh Rah Pengangon ini. Jadi pertemuan antara purusa dan pradana akan melahirkan kehidupan baru. Pelaksanaan tradisi ini sangat sakral," kata Sudarsana.

Menurut kepercayaan, masyarakat di Desa Adat Kapal tidak berani untuk meniadakan tradisi ini. Termasuk saat pandemi Covid-19, Aci Tabuh Rah Pengangon tetap diselenggarakan meski dengan sederhana dan tertutup. Desa Adat Kapal meyakini, jika meniadakan tradisi ini akan berakibat banyak warga mengalami musibah.

"Dulu pernah ditiadakan sekali, kalau tidak salah pada tahun 1944, karena zaman perang. Ditiadakan sekali, dan masyarakat Kapal mengalami musibah dan berbagai penyakit. Setelah meminta petunjuk, itu karena tidak menggelar Aci Tabuh Rah Pengangon. Karena itu, aci ini wajib dilaksanakan tiap tahun untuk kesejahteraan masyarakat," ucapnya.  Sudarsana menambahkan, pelaksanaan Aci Tabuh Rah Pengangon kemarin melibatkan ribuan krama dari lima banjar di Desa Adat Kapal, yakni Banjar Cepaka, Banjar Panglan Baleran, Banjar Panglan Delodan, Banjar Gegadon, dan Banjar Tambak Sari. Diungkapkan, Desa Adat Kapal terdiri dari 18 banjar. Namun karena keterbatasan tempat, sehingga setiap pelaksanaan aci, ditunjuk sebanyak lima banjar secara bergiliran. "Ada sekitar 15.000 tipat dan 15.000 bantal yang dilempar kemarin. Setiap KK itu wajib membuat satu kelan (6 biji) tipat dan bantal untuk dipersembahkan pada aci ini. Dikumpulkan sehari sebelum pelaksanaan aci," bebernya.

Di sisi lain Aci Tabuh Rah Pengangon selama ini lebih populer dengan sebutan Siat Tipat Bantal. Namun menurut Sudarsana, penyebutan itu salah. Pihaknya pun selama ini sudah melakukan sosialisasi untuk membenahi kekeliruan tersebut. "Sesungguhnya penyebutan Siat Tipat Bantal itu salah. Yang benar adalah Aci Tabuh Rah Pengangon. Kalau siat, itu identik dengan perang. Tapi ini kan bukan perang, melainkan penyatuan purusa pradana. Di Desa Kapal kami sudah turun ke banjar-banjar bahwa penyebutan Siat Tipat itu salah. Selain itu, saat pengajuan Warisan Budaya Takbenda, nama Aci Tabuh Rah Pengangon sudah kami katakan," pungkas Sudarsana. *ind

Komentar