nusabali

Tekstil Impor Banjiri Pasar Dalam Negeri

  • www.nusabali.com-tekstil-impor-banjiri-pasar-dalam-negeri

JAKARTA, NusaBali
Produk tekstil impor dan turunannya terus membanjiri pasar dalam negeri. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor kain terbesar selama 2021 berasal dari China, nilainya hampir setengah dari total impor di dalam negeri yakni mencapai 48,87%.

Posisi kedua ada Korea Selatan 12,99 persen, Vietnam 9,98 persen, Hong Kong 9,45 persen, Taiwan 7,03 persen, serta Malaysia 5,58 persen. Kalangan pengusaha mengungkapkan bahwa kondisi itu tidak lepas dari adanya intervensi importir.

"Importir-importir ini maksa, kaya nggak punya rasa kebangsaan. Saya tahu persis importir garmen, importir kain, dia maksa minta izin impor, dia bilang demand ada. Ya demand garmen, kain akan selalu ada, tapi mau isi dari mana? Lokal apa impor?" kata Ketua Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI) Redma Gita Wirawasta seperti dilansir CNBC Indonesia, Kamis (28/7).

Dalam regulasi baru dari Kementerian Perdagangan, Angka Pengenal Importir Umum (API-U) diberikan untuk memenuhi bahan baku industri kecil menengah (IKM). Redma menilai aturan ini menjadi kendala.

"Di kuartal II sudah ada kenaikan impor karena API-U. Tapi ketemu pak Zulkifli sudah bersedia menutup API-U, PR secara regulasi selesai, tumpuan utama di pelabuhan, saya lihat masih bocor," katanya.

Banjir impor tekstil dari negara lain bisa semakin besar karena Indonesia kini tengah menjalani persetujuan dagang preferensial Indonesia-Bangladesh (Indonesia-Bangladesh preferential trade agreement/IB-PTA).

Redma mengungkapkan ada indikasi salah satu poin dalam perjanjian dagang tersebut bisa mengorbankan industri tekstil. Ia sudah menjalani komunikasi dengan Direktur Jenderal Perunding Perdagangan Internasional. Namun, pembicaraannya masih alot karena industri tekstil enggan menjadi korban.

"Kalau banjir impor gini-gini. Tapi itu bukan wewenang Dirjen itu, tapi wewenang Dirjen Kementerian lain. Sama dengan China (beberapa tahun lalu) tahu-tahu, kita mau safeguard susah banget. Jadi nggak sinkron kementerian satu dan lain. Satu ngasih janji, satu lagi nggak mau," sebut Redma.

"Kalau ada kepentingan nasional yg kita mesti tanda tangan Indonesia-Bangladesh PTA kita dukung, tapi kita nggak mau tekstil jadi korban," lanjutnya. *

Komentar