nusabali

Digelar Saat Nyepi Desa, Kelompok Luh-Muani Saling Kejar Ekor

  • www.nusabali.com-digelar-saat-nyepi-desa-kelompok-luh-muani-saling-kejar-ekor

Saat ritual Magoak-goakan, krama yang menempati posisi terdepan kejar dan tangkap ekor (orang urutan terakhir) dari kelompok goak lawan. Permainan berakhir jika ekor salah satu kelompok tertangkap lawan.

Krama Desa Pakraman Kintamani Kembali Laksanakan Tradisi Ritual Magoak-goakan


BANGLI, NusaBali
KRAMA Desa Pakraman Kintamani, Kecamatan Kintamani, Bangli kembali menggelar tradisi ritual Magoak-goakan pada Wraspati Paing Julungwangi, Kamis (23/3). Ritual ini digelar sebagai rangkaian upacara Nyepi Desa di Desa Pakraman Kintamani, yang bertujuan untuk mohon keselamatan seluruh krama.

Tradisi ritual Magoakan-goakan sebagai bagian upacara Nyepi Desa ini dilaksanakan Desa Pakraman Kintamani setahun sekali, serangkaian karya pujawali di Pura Dalem Pingit. Khusus untuk karya pujawali di Pura Dalem Pingit tahun ini sudah silaksanakan pada Buda Umanis Julungwangi, Rabu (22/3), atau sehari sebelum ritual Magoak-goakan.

Ritual Magoak-goakan itu sendiri semacam permainan berkelompok saling kejar-kejaran, yang terdiri dari dua kelompok. Pertama, kelompok Goak Luh (burung gagak betina yang pesertanya kaum perempuan). Kedua, kelompok Goak Muani (burung gagak jantan, yang pesertanya laki-laki).

Rtitual Magoak-goakan kemarin dilaksanakan di lapangan khusus, sejak pagi pukul 08.00 Wita hingga petang pukul 18.00 Wita. Pesertanya, krama lanang-istri (laki-perempuan), mulai dari anak-anak, remaja, hi-ngga dewasa. Dalam ritual ini, terjadi saling serang dan saling kejar dua kelompok goak diperankan kelompok Luh (perempuan) dan Muani (lelaki).

Krama yang menempati posisi terdepan (tenggek) dalam kelompoknya berusaha mengejar dan menangkap ekor (orang urutan terakhir) dari ke-lompok goak lawan. Posisi ekor biasanya ditempati peserta yang umurnya paling kecil dalam kelompok masing-masing. Permainan Magoak-goakan baru berakhir jika salah satu dari kelompok tersebut berhasil ditangkap ekornya.

Nah, permainan Magoak-goakan tersebut terus berulang-ulang dilakukan krama silih berganti, yang selalu melibatkan dua kelompok goak (Luh dan Muani). Seluruh rangkaian ritual Magoak-goakan berakhir petang hari kala nyit bintang (bintang di langit mulai kelihatan).

Ritual Magoak-goakan ini bertujuan untuk memohon keselamatan. Krama setempat amat percaya dengan ngayah Magoak-goakan, mereka dan anggota keluarganya akan mendapat waranugraha (anugerah) keselamatan dari Ida Batara di Pura Dalem Pingit, Desa Pakraman Kintamani. “Karena itu, ritual ini tetap dilaksanakan rutin setiap tahun,” ungkap Bendesa Pakraman Kintamani, I Nyoman Sukadia, kepada Nu-saBali, Kamis kemarin.

Ada sejumlah pantangan selama berlangsungnya ritual Magoak-goakan. Pantangan itu, antara lain, tidak boleh mengumpat atau berkata tak senonoh, dilarang marah semisal jika anak gadisnya dipegang lawan jenis saat bermain.

Sementara itu, ritual Magoakan-goakan biasanya didahului serentetan upacara, baik di Pura Bale Agung maupun Pura Dalem Pingit. Salah satunya, upacara Ngaturang Malang Cacan (sejenis sesaji) sebanyak 9 tanding, lengkap dengan olah-olahan wewalungan dan sesaji Bangun Ayu (wewalungan sapi dengan segenap kulit dan perlengkapan lainnya).

Rangkaian upacara ini dilaksanakan di Kalangan Teben, sebuah lokasi jurang di hutan sebelah barat Mapolsek Kintamani. Upacara Ngaturang Malang Cacan ini dilakukan tengah malam sekitar pukul 00.00 Wita, sebelum ritual Magoak-goakan. Upacara dipuput Jero Kubayan Mucuk Makalihan, dengan diikuti krama Paduluan Ulu Apad (krama pengarep sebanyak 67 orang) yang duduk sesuai urutan kedudukannya di paduluan.

Puncak ritual dilakukan dalam suasana gelap, tidak boleh ada penerangan, tidak boleh ada yang berbicara atau berisik. Setelah selesai persembahyangan lengkap, barulah disambut sorakan krama dan tabuh kulkul di Pura Bale Agung dan bunyi-bunyian lain.

Beberapa hari sebelumnya, krama Desa Pakraman Kintamani lebih dulu melaksanakan sejumlah kegiatan. Paling awal, digelar upacara Ngeker Bulan, yakni menetapkan waktu pelaksanaan Nyepi Desa.

Upacara Ngeker Bulan itu sendiri diawali dengan dua ritual. Pertama, ritual Maboros Kidang (berburu Kijang) di hutan Kintamani. Kidang hasil buruan inilah yang digunakan sebagai wewalungan (hewan kurban) dalam upacara Mejaga di Pura Bale Agung. Sehari kemudian, dimulailah masa Ngeker Bulan selama 7 hari hingga Buda Umanis Julungwangi, Rabu, 22 Maret 2017. Upacara Ngeker Bulan berakhir dengan ngayah membuat bebantenan untuk upacara di Pura Bale Agung dan Pura Dalem Pingit.

Selama rentang waktu Ngeker Bulan, krama Desa Pakraman Kintamani harus mengikuti dua pantangan pokok. Pertama, pantang menyembelih hewan apa pun, termasuk ayam. Kedua, pantang berpergian ke luar daerah dan dilarang keras menerima tamiu (tamu) untuk menginap.

Jika pantangan sampai dilanggar, ada sanksi niskala berupa wajib melaksanakan upacara Nawur Kasisipan (bermakna tebus kesalahan) di Pura Bale Agung saat Ngembak Nyepi Desa. Krama yang ngaturang upacara Nawur Kasisipan tidak semata karena melanggar pantangan saat Nyepi Desa di Desa Pakraman Kintamani. Ada pula krama yang ngaturang upacara Nawur Kasisipan karena merasa pernah berpikiran, berkata, dan bertindak salah, baik dilakukan secara sengaja maupun tanpa sadar. * k17

Komentar