nusabali

Cok Sawitri Bawakan Monolog 'Indonesia'

  • www.nusabali.com-cok-sawitri-bawakan-monolog-indonesia

“Seseorang bertanya, apakah kamu bangga dengan Bangsa Indonesia? Ku jawab; Tidak! Lalu setelah itu, ada wartawan yang mencegatku dan bertanya, apa benar kamu tidak bangga lagi menjadi orang Indonesia? Ku jawab dengan jantan ; Tidak!” .

DENPASAR, NusaBali

Begitulah sastrawan Cok Sawitri mengawali pentas Arja Siki sesuai isi naskah monolog berjudul ‘Indonesia’ karya Putu Wijaya. Karya ini dipentaskan di Rumah Kebangsaan Padepokan Sandhi Murti Jalan Tukad Citarum P Nomor 2 Panjer, Denpasar Selatan, Sabtu (20/5) malam, serangkaian Festival Monolog 100 Putu Wijaya, sekaligus memperingati Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap 20 Mei.

Pemilihan naskah monolog berjudul ‘Indonesia’ tersebut sarat akan problema kehidupan bangsa saat ini yang rentan dengan radikalisme dan pemikiran mayoritas-minoritas yang masih saja berkembang. “Saya telah melakukan bedah naskah dengan serius. Saya memilihnya empat bulan lalu, dan membaca naskah Putu Wijaya itu sejak tiga bulan lalu. Ternyata naskah ‘Indonesia’ ini sangat sesuai dengan keadaan sekarang,” katanya.

Cok Sawitri pun seolah membayangkan kisah dalam naskah tersebut seperti tokoh Pan Balang Tamak. Dalam cerita asal Bali itu, tokoh Pan Balang Tamak selalu menjadi pembanding dari kebijakan kepemimpinan yang sah. Rakyat selalu punya persepsi yang berbeda dalam cara mengatasi masalahnya. “Tiba-tiba ada orang mengatakan tidak bangga dengan Indonesia, dia punya argumentasi kenapa dia tidak bangga, persis seperti Pan Balang Tamak,” ujarnya.

Monolog yang disutradarainya sendiri, menurut Cok Sawitri sangat bagus. Otokritik dalam naskah itu diletakkan di belakang. “Seorang yang tidak bangga menjadi Indonesia itu awalnya diteror. Di akhir cerita, barulah sang tokoh mengungkapkan kenapa dia tidak bangga menjadi Indonesia, padahal dia cinta Nusantara. Itu karena sembilan bencana, seperti korupsi, manipulasi, dan kebatilan-kebatilan lainnya yang dibiarkan merajalela,” katanya.

Pementasan monolog ini dibalut dengan kesenian Arja Siki yang didekonstruksinya. Menurut Cok Sawitri, Arja Siki memiliki karakter lebih mencairkan suasana. “Arja siki itu bisa mencairkan sesuai dengan perasaan orang. Untuk nyanyi lama-lama itu bisa saja. Justru arja siki punya ruang improvisasi dengan pola pementasannya yang lebih lentur daripada syarat monolog dalam teater modern,” ungkapnya.

Terkait persoalan bangsa saat ini, secara pribadi sebagai seorang seniman, Cok Sawitri menyebut masyarakat Indonesia belum terbebas dari pemikiran orde baru. Istilah NKRI, kata dia, diucapkan pada masa orde baru. “Sedangkan psikologisnya sekarang istilah mayoritas keagamaan itu sebagai kekuasaan, harus disadarkan kembali,” ucapnya.

Menurutnya, sudah saatnya kembali kepada pemikiran-pemikiran untuk menyelamatkan kemanusiaan ketimbang sibuk mengurus soal mayoritas dan minoritas. “Ayo kita berpikir what’s next? Stop saling menyalahkan,” serunya.

Sebelum monolog itu ditampilkan, diawali dengan orasi beberapa tokoh. Pinisepuh Padepokan Sandhi Murti, Gusti Ngurah Harta menyampaikan, mulai dari Bali, isu SARA, radikalisme, pengkafiran, bahkan istilah dauh-dangin tukad sebagai bentuk radikalisme yang sederhana sepatutnya dihindari. “Sesanti yang ada dalam Bhineka Tunggal Ika adalah milik leluhurnya orang Bali. Itu harus dijaga. Mulai dari Bali kita bangkit kembali dan tidak terombang ambing oleh isu rasis,” katanya.

Orator lainnya, Gusti Putu Artha yang mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) menambahkan, menurut Lembaga Survey Indonesia (LSI) yang melakukan survey tiga hari lalu, sekitar 8,7 persen sepakat negara khilafah. Artinya, jika jumlah penduduk Indonesia ada 250 juta, maka ada 20 juta di Indonesia yang setuju Pancasila dibubarkan dengan diganti dasar negara khilafah. Fenomena-fenomena dalam satu tahun terakhir mendompleng seluruh proses hajatan politik di Indonesia.

“Pak Jokowi sudah benar dengan menetapkan 1 Juni sebagai hari kelahiran Pancasila. Kami dengan teman-teman di Jakarta memaksa Jokowi untuk segera menghidupkan lembaga semacam BP7, agar ada lembaga yang mengorganisasikan penanaman sosialisasi nilai-nilai Pancasila. Hampir 17 tahun kita tidak ada lagi mata pelajara PMP. Sehingga sekarang saat ditanya Pancasila malah ndak hafal. Justru doktrin-doktrin garis keras yang diberikan pada anak kecil, sampai ada bilang temannya kafir,” katanya.

Festival monolog 100 Naskah Putu Wijaya sekaligus peringatan Harkitnas ini juga dihadiri oleh Pengasuh Pondok Pesantren Soko Tunggal Abdurrahman Wahid Pusat DR KH Nuril Arifin Husein atau Gus Nuril yang turut pula berorasi. Begitu juga pangelingsir Puri Jembrana.

Perayaan ditutup dengan dengan pembacaan puisi oleh penyair-penyair kebanggaan Indonesia antara lain, Umbu Landu Paranggi, I Gusti Agung Ngurah Harta, Tan Lioe Ie, Satria Mahardika, Aryo Pati Kadilangu, dan yang lain. Acara ini juga akan dimeriahkan oleh Joyok Kecet Kecet N Band dengan menyanyikan lagu-lagu nasional. *in

Komentar