nusabali

Romantika Status Sosial

  • www.nusabali.com-romantika-status-sosial

Status sosial sering dipertukarkan sebagai kedudukan, posisi atau tempat seseorang dalam suatu guyub. Dalam patrum krama Bali, status sosial kadang disisipi makna ‘prestise’, ‘hak dan kewajiban’, bahkan ‘kekuasaan’ yang menghegemoni.

Teramat kentara, seorang perempuan memeroleh panggilan (term of address) ‘Jro Menuh’ setelah dia diperistri oleh ‘Anak Agung’. Sebaliknya, ‘Dewa Ayu’ tidak lagi dipanggil seperti semula tetapi dipanggil nama tanpa identitas awal. Talcott Parsons, proponen kunci Teori Fungsional Struktural dan sosiolog terkenal kelahiran Colorado Amerika Serikat, berpendapat bahwa perempuan demikian tidak memenuhi kebutuhan tradisionalnya, sehingga terjadi peningkatan atau penurunan status sosial lewat panggilan pembeda.

Randal Collins, sosiolog berkebangsaan Amerika, pemrakarsa Teori Konflik mumpuni, berpandangan stratifikasi mengandung potensi relasi sosial konfliktual. Kenapa bisa memicu dan menebar konflik? Alasannya, dalam relasi sosial konfliktual kurang atau bahkan tidak selalu menghormati dan menghargai kepentingan. Setiap orang memiliki pandangan subyektif terhadap status sosial normatifnya. Karena alasan mencintai, dia menanggalkan atribut sosialnya. Karena kekayaan, dia meraih posisi sosial. Karena pendidikan, dia meraup pekerjaan yang baik. Karena ambisi, dia menuai atau kadang memerkosa penghormatan lingkungan.

Status sosial amat berkait dengan kemistri hubungan dan interaksi, cetus Kurt Koffka, Max Wertheimer, dan Wolfgang Kohler. Menurut mereka, status sosial sering dipersepsi dan dikognisi lebih penting daripada pikiran, perkataan, atau tindakan - tri kaya parisudha. Raihan status sosial tidak serta merta dibarengi pemikiran baik dan benar, perkataan santun dan motivatif, atau tindakan cerdas dan solutif. Psikologi hubungan yang terbangun terfokus pada isu-isu lingkungan fisik material, bukan lingkup spiritual-transedental yang menyerahkan (enlightened), memurnikan nurani dan memperbesar ‘pikenoh kosmik’.!

Makna kosmik dapat diartikan bebas sebagai tatanan yang menyatu-padukan status sosial pada setiap gejala material dan spiritual. Dalam hal demikian, status sosial yang menempati posisi sebagai ‘kekuasaan’ (power) tidak harus menghegemoni, tidak konfliktual atau memberangus kemerdekaan nurani dan keyakinan. Pendekatan demikian cenderung menciptakan suasana kaotik, bukan demokratis dan kompromistis. Suatu kebenaran sering memiliki dimensi makna eksplisit dan implisit yang relatif, benar menurut si A belum pasti dibenarkan oleh si B; keliru menurut keyakinan C belum tentu dipercaya oleh  keyakinan D; menyimpang menurut kebiasaan E tetapi dilakoni dengan damai oleh F, dan seterusnya.

Albert Einstein, tokoh sentral Teori Relativitas, mengajarkan tentang kecepatan dan percepatan yang diukur melalui kerangka acuan berbeda. Tidaklah benar atau etis kalau memaksakan pemikiran, perkataan, atau tindakan tanpa mengindahkan kognisi, afeksi, atau konasi orang lain dalam dimensi waktu, ruang, dan partum berbeda. Misalnya, memaksakan kehendak pada anak dengan dalih kebaikan akan berakibat buruk pada kesehatan mental dan perkembangan karakternya. Pemaksaan dapat menyebabkan kehamilan dini pada remaja. Pemaksaan dapat juga memicu tindakan kriminal pada orang dewasa.

Pemaksaan dapat memantik kerusuhan dan perusakan terhadap keyakinan. Dan, pemaksaan dapat menimbulkan destruksi dan pengingkaran terhadap budaya mapan. Romantika status sosial sebaiknya meniru tanaman padi, menjadi lanskap  keindahan alam, berkarakter lugu sebagai petani, interaktif dengan serumpun dan lintas rumpun, merunduk pertanda berisi, rangkiang sebagai tolok ukur, bertradisi bersih dan damai, efektif berbudaya, berbingkai nurani non-pretentif, penuh kasih sayang kepada sesama, dan inspiratif walau hanya dengan sebulir padi. Semoga romantika status sosial bukan hanya menjadi khayalan apalagi mitos, atau terbayang tidak terwujud demi ketenteraman dan kedamaian Bali yang berbudaya adiluhung. Semoga. *

Prof Dewa Komang Tantra MSc, PhD

Komentar