Buang Mala, Krama Banjar Puri Satria Kawan Lakukan Lukat Gni
Krama Banjar Puri Satria Kawan, Desa Pakraman Sampalan, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung menggelar tradisi ritual Lukat Gni saat Pangrupukan Nyepi Tahun Baru Saka 1939 tepat Tilem Kasanga (bulan mati ke-9 sistem penanggalan Bali), Selasa (8/3) malam.
SEMARAPURA, NusaBali
Sesuai namanya, ritual Lukat Gni berupa perang api ini bermakna untuk menghilangkan mala (kotoran secara niskala) menggunakan sarana api.
Prosesi ritual Lukat Gni sebagai simbolik pembersihan Bhuana Agung (alam semesta) dan Bhuana Alit (tubuh manusia) ini berlangsung di Catus Pata (Perempatan Agung) Banjar Puri Satria Kawan, Selasa malam dari pukul 20.00 Wita hingga 21.00 Wita. Ritual ini melibatkan 40 orang yang dibagi dalam 20 pasangan, di mana mereka terlibat perang obor dengan api menyala. Dari 40 peserta itu, sebanyak 30 orang di antaranya kaum teruna (pemuda) dan 10 orang lagi kalangan orangtua.
Tradisi ritual Lukat Gni yang telah diwarissi krama Banjar Puri Satria secara turun-temurun ini, diawali dengan prosesi panglukatan di salah satu sumber Mata Air Seganing yang berada sekitar 500 meter arah utara. Prosesi dimulai sejak Selasa sore sekitar pukul 17.00 Wita.
Usai prosesi panglukatan di sumber Mata Air Seganing, dilanjut kemudian persembahyangn bersama di Pura Satria Kawan, tempat sthananya Ida Batara Gede Sakti berupa Barong. Habis persembahyangan, dilanjut dengan menyiapkan berbagai sarana ritual Lukat Gni.
Persiapan sarana itu, termasuk di antaranya 33 obor. Angka 33 sesuai jumlah obor ini bermakna sebagai jumlah pengurip dari ke lima penjuru mata angin. Rinciannya, di sisi timur (warna putih) urip 5, sisi selatan (warna merah) urip 9, sisi barat (warna kuning) urip 7, sisi utara (warna hitam) urip 4, dan di bagian tengah (panca warna) urip 8.
Sarana berikutnya yang disiapkan adalah 45 pelepah danyuh (daun kelapa kering), untuk digunakan sebagai obor. Oleh krama setempat, obor dari danyuh ini disebut prakpak. Satu ikat prakpak terdiri dari 36 danyuh. Bila dijumlah, 3 dan 6 menghasilkan angka 9, yang bermakna sebagai simbolik Dewata Nawa Sanga (penguasa 9 penjuru mata angin).
Setelah segalanya siap, maka seluruh krama pengempon Pura Satria Kawan yang berjumlah 115 kepala keluarga (KK) dan kalangngan teruna yang ikut ritual Lukat Gni, langsung menuju Catus Pata untuk memulai prosesi sakral yang digelar setahun sekali. Peserta Lukat Gni berperang menggunakan api menyala dari obor danyuh.
Begitu atraksi dimulai, 20 pasangan peserta Lukat Gni yang terdiri dari 30 orang kaum teruna dan 10 orang dewasa, silih berganti terlibat aksi saling pukul dengan obor menyala tersebut. Ajaibnya, meski dihantam obor menyala berkali-kali oleh lawannya, pesderta Lukat Gni tidak ada yang terluka bakar. Mereka juga sama sekali tidak merasakan sakit.
“Ritual Lukat Gni ini juga disebut perang prakpak (danyuh). Ritual ini dilaksanakan setiap tahun sekali untuk menyambut pergantian Tahun Baru Saka. Kami sudah meneruskan warisan ini secara turun-temurun,” ungkap Kelian Pesamuan Pura Satria Kawan, Banjar Puri Satria Kawan, AA Gde Agung Rimawan, kepada NusaBali, Kamis (10/3).
Menurut Agung Rimawan, ritual Lukat Gni ini sebagai simbolik untuk pembersihan atau melepaskan mala (kotoran secara niskala) dan menyeimbangkan alam semesta menggunakan sarana api. “Sebelum digunakan, semua sarana yang dippakai ritual Lukat Gni terlebih dulu harus dilukat,” katanya.
Sementara itu, salah satu peserta prosesi ritual Lukat Gni, AA Gde Agung Aris Pratama, mengatakan dirinya sudah biasa mengikuti perang prakpak warisan leluhur ini. Saat menjalani ritual Lukat Gni, dirinya tidak mengalami luka bakar, tidak pula merasakan sakit atau panas. “Justru saya merasakan energi spirit baru,” cerita Gung Aris Pratama. 7 w
Komentar