nusabali

Tradisi Siat Sampian Simbol Perlawanan Dharma Atas Adharma

Padudusan Agung di Pura Samuantiga Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar

  • www.nusabali.com-tradisi-siat-sampian-simbol-perlawanan-dharma-atas-adharma
  • www.nusabali.com-tradisi-siat-sampian-simbol-perlawanan-dharma-atas-adharma

GIANYAR, NusaBali - Serangkaian Karya Padudusan Agung Bhatara Turun Kabeh di Kahyangan Jagat Pura Samuantiga di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar digelar Tradisi Siat Sampian pada Saniscara Wage Tambir, Sabtu (27/4).

Tradisi yang diwarisi secara turun temurun dan tercatat dalam Purana ini merupakan simbol perlawanan dharma atas adharma untuk memohon kesejahteraan lahir dan batin kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. 

Wakil Bendesa Pura Samuantiga I Wayan Sunantara, 58, menjelaskan tradisi perang atau siat sampian digelar di areal Jaba Tengah Pura. Siat sampian menggunakan jejahitan sampian yang sebelumnya sebagai perlengkapan banten upakara. ”Sampian ini dijadikan senjata perang,” kata Sunantara. 

Pengayah yang menjalankan tradisi Siat Sampian tidak sembarangan. Mereka adalah orang-orang pilihan yang telah mengikuti sejumlah rangkaian upacara penyucian secara niskala. “Pengayah perempuan disebut Permas. Pengayah laki-laki disebut Parekan,” imbuh Sunantara.

Pengayah Parekan yang terlibat bisa mencapai 400-an orang. Sedangkan Pengayah Premas lebih sedikit, sekitar 68 orang. 

Pengayah Parekan saling berpegangan tangan saat prosesi Ombak-ombakan memaknai gelombang laut sebelum Siat Sampian serangkaian Karya Padudusan Agung Bhatara Turun Kabeh di Kahyangan Jagat Pura Samuantiga di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar. –WINDU SANTIKA

Tradisi Siat Sampian ini terdiri dari beberapa tahap. Pertama dimulai oleh pengayah Permas yang memiliki waktu dari matahari terbit hingga tengah hari pukul 12.00 Wita. Pengayah Permas melakukan gerakan Nampiog, yaitu menari keliling pura sebanyak 11 kali searah jarum jam. Setelah itu, dilanjutkan oleh pengayah Parekan dengan prosesi Ngombak, yang menirukan gerakan ombak. Dalam kegiatan Ngombak, para pengayah berbaris dengan berpegangan tangan lalu mengikuti gerakan maju mundur di depan palinggih berulang-ulang kali, jika ada komando berhenti baru bisa selesai.

Tradisi ini diiringi tabuh gong dan angklung, yang membuat para pengayah bertambah semangat dan antusias. Setelah Nampiog dan Ngombak, pengayah dapat mengambil sampian satu orang satu bahkan boleh mengambil dua. Saat semua pengayah perempuan memegang sampian, barulah dimulai perangnya. Setiap peserta memandang teman mainnya juga sebagai musuh untuk dikalahkan. Untuk menentukan pemenang dalam pertunjukan ini, dapat dilihat dari pemain yang dapat memukul teman atau lawan mainnya sebanyak 3 kali dengan senjata sampian. Setelah menentukan pemenangnya, pertunjukan untuk tahap pengayah Permas pun diakhiri dan para pengayah menaruh sampiannya kembali ke tempat semula.

Setelah pertandingan pengayah Permas selesai, dilanjutkan dengan tahap kedua yaitu pertandingan pengayah Parekan. Jumlahnya mencapai ratusan orang. Mereka saling kejar, saling pukul, dan menghindar, ditambah lagi iringan tabuh membuat mereka semakin menggebu-gebu dan menikmati perang tersebut.

Makna yang terdapat dalam Tradisi Siat Sampian ini, selain sebagai penghormatan bersatunya sekte-sekte yang ada di Bali, juga sampian tersebut sebagai simbol senjata cakra Dewa Wisnu, yang diartikan juga sebagai simbol perlawanan dharma (kebajikan) atas adharma (kejahatan). Dan yang terakhir dengan digelarnya Tradisi Siat Sampian ini diharapkan penduduk Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar agar selalu dilimpahi ketenteraman dan kerukunan sesama penduduk. 

Setelah berlangsung Tradisi Siat Sampian, Ida Bhatara sami yang lunga ke Pura Samuantiga tedun mapurwa daksina kemudian kembali ke payogan masing-masing. 7 nvi

Komentar