nusabali

‘Sere Panggang Sere Tunu’

  • www.nusabali.com-sere-panggang-sere-tunu

MASA–MASA kampanye sudah berlalu, masa-masa kampanye lagi bakal segera tiba. Yang berlalu kampanye pilpres dan pileg, menyusul bakal datang kampanye pilkada, memilih kepala daerah. Kembali rame orang mengumbar janji, berteriak, “Pilihlah saya yang bakal mensejahterakan rakyat”. Poster dan baliho dipasang, sanjungan menggebu-gebu, orang berkerumun, dan sembako gratis dibagikan.

Banyak orang bergembira menyambut pemimpin baru, sekian calon dielu-elukan, berharap tokoh-tokoh ini berjuang demi kesejahteraan bersama. Tapi, bersamaan dengan harapan yang begitu besar segera muncul keraguan: benarkah yang kelak terpilih demi semua golongan? Di antara kerumunan itu selalu ada yang berujar, “Ah, mereka sama saja, menjadi pemimpin untuk kepentingan golongan dan lingkungan mereka sendiri. Mereka itu memang sama, sere panggang sere tunu.”

Sere atau bahasa Bali berarti terasi atau belacan, bumbu masak dibuat dari udang, difermentasikan menjadi pasta, lalu dipadatkan, berwarna gelap. Agar lebih merangsang gairah, ditambah warna merah, sehingga tampak kian segar. Berbagai masakan tradisional menggunakan terasi buat daya gugah selera. Adonan lawar sangat tergantung pada kualitas terasi. Ada terasi khusus yang bagi mandor lawar harus ada. “Ini terasi lokal, asli, bagus buat lawar,” komentar mereka. “Pas dengan lidah kita. Kalau terasi luar, gak mantap.”

Acap muncul gurauan, tapi serius, seperti sayur tanpa garam, untuk menyatakan masakan yang hambar. Begitu juga dengan terasi. Bagi banyak penikmat kuliner, mereka yakin tak ada olahan sedap kalau tanpa terasi. Buat mereka garam dan terasi harus ada dalam setiap masakan.

Beda dengan garam yang bisa langsung diaduk dalam masakan, kalau terasi tidak. Sere harus mengalami tiga proses: dipanggang, ditunu, atau disangrai. Para penekun lawar sangat paham, tiga olahan terasi ini harus ada dalam olahan lawar biar lawar bisa enak banget. Maka sering muncul pertanyaan kepada para mandor lawar, “Memangnya apa bedanya sere dipanggang dan ditunu?” Si mandor lawar menjawab enteng, “Ya patuh gen, sama aja.” Tapi, kalau adonan lawar mau top rasa, harus ada sere panggang, sere tunu, dan nyanyah (sangrai)

Maka lazim muncul omongan di Bali, “sere panggang, sere tunu, patuh gen” (Terasi dipanggang dan terasi dibakar sama saja)”. Ini untuk menunjukkan orang-orang yang berbeda namun tabiat dan wataknya sama. Seperti tokoh-tokoh politik calon pemimpin itu tadi. Mereka berbeda, datang dari kalangan miskin atau kaya, datang dari orang-orang pintar atau bodoh. Mereka ada yang baik, mengaku jujur, pejuang kemanusiaan, pembela rakyat, namun ketika mereka tampil ke panggung politik, orang-orang banyak yang menggerutu, “Ah, mereka semua itu sere panggang sere tunu. Tak beda, sama saja.” Lazimnya istilah ini digunakan buat perangai-perangai yang buruk.

Terasi kalau ditunu atau dipanggang, disangrai (digoreng tanpa minyak) baunya tajam, menyengat. Jika menggorengnya dengan minyak, dicampur garam, apalagi dengan cabai, semakin dahsyat menyengat. Yang mencium bau olahan ini pasti bersin-bersin, bisa melanda orang yang belasan meter dari pusat penggorengan. Bolehlah olahan ini dijadikan buat melonggarkan hidung mampet karena flu.

Banyak orang yang menyukai masakan tradisional pasti doyan sere. Bahkan memburunya karena ketagihan, terutama kaum wanita, gadis, dan ibu-ibu. Mereka pemburu sere dalam olahan beraneka macam rujak. Di Desa Serangan, Denpasar Selatan, bisa dijumpai olahan rujak kuah pindang yang mengandalkan sere panggang dan sere tunu ini. Ini rujak rumput laut, seger, dan ibu-ibu pasti menyukai karena pedas dan rasa terasi yang menyengat. Entahlah, kenapa rujak rumput laut ini pas dengan terasi, cabai banyak, dan siraman kuah pindang (ikan tongkol). 

Di Denpasar, di beberapa pasar dan warung, bisa kita dapatkan rujak kuah pindang khas sere ini, namun tidak selezat, rasanya tidak segalak, yang di Desa Serangan. Apakah beda sere yang dipakai kalau dipanggang atau dibakar? Para penjual rujak kuah pindang itu bilang, “Kadang sere saya tunu, kadang dipanggang. Sama saja sih.”

Ya sama-sama saja. Tidak beda dengan ocehan para politisi itu. Mereka berteriak dengan omongan idealisme yang menyengat, namun akhirnya sama saja satu dengan yang lain, sama-sama mengutamakan kerabat dan golongan mereka sendiri. Dan kita, para penikmat rujak kuah pindang ini, tak peduli lagi terasi itu dipanggang atau ditunu. Repotnya, kita harus memilih, karena kita doyan masakan berbumbu terasi, suka menyantap rujak kuah pindang rumput laut, lawar, dan lain-lain. 7

Komentar