nusabali

Kasus Ngepah Karang, Rumah Dipasang Patok

Terjadi di Desa Adat Tegallinggah, Bedulu, Gianyar

  • www.nusabali.com-kasus-ngepah-karang-rumah-dipasang-patok

MDA Provinsi Bali sebut prosesnya sudah final dimulai dari Sabha Kertha Desa Adat, Majelis Alit, Majelis Madya, dan diputuskan di MDA Provinsi Bali.

GIANYAR, NusaBali
Pekarangan rumah warga di Desa Adat Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar dipasang patok penyekat, Sabtu (26/2) pagi. Patok ditanam oleh Prajuru Adat Desa Adat Tegallinggah disaksikan Perbekel Bedulu I Putu Ariawan, Camat Blahbatuh I Wayan Eka Putra, TNI/Polri tanpa kehadiran Majelis Desa Adat (MDA) Kecamatan Blahbatuh dan MDA Kabupaten Gianyar. 

Rumah yang termasuk karang ayahan desa ini selama ini ditempati I Dewa Putu Alit (almarhum) beserta ketiga putranya, masing-masing I Dewa Putu Tilem, 71; I Dewa Nyoman Samba, 62; dan Dewa Putu Raka Adnyana, 57. Diduga karena ketidakharmonisan dalam keluarga, Dewa Putu Tilem dan Dewa Nyoman Samba memohon Ngepah Karang (membagi pekarangan) kepada Desa Adat Tegallinggah. Sementara Dewa Raka Adnyana selaku termohon menolak Ngepah Karang tersebut.

Dewa Putu Raka Adnyana mengatakan masalah ini bermula ketika dua kakaknya Dewa Putu Tilem dan Dewa Nyoman Samba mengajukan permohonan ke Desa Adat Tegallinggah agar ngepah karang ayahan desa yang ditempati ini. Berdasarkan permohonan itu, Dewa Raka Adnyana mendapatkan surat dari desa adat untuk membahas masalah ini. "Saya diberi surat agar datang ke balai banjar. Tapi saya pilih langsung ke rumah Jro Bendesa, pendekatan secara pribadi. Supaya hal ini tidak dibawa ke ranah banjar. Karena dalam rumah ini tidak pernah ada masalah, kewajiban saya sebagai warga sudah saya jalankan dengan benar," jelasnya. Namun ternyata muncul keputusan banjar memberikan pamidanda (Sanksi) kepadanya karena tidak hadir ke balai banjar. 

"Muncul dua keputusan nomor 85 dan 86, pertama adalah kesisipan karena ketidakhadiran saya ke banjar, padahal kita sudah mesadok ke rumah Bendesa. Saya diminta agar mrayascita di Pura Catur Bhuwana, ini saya bingung. Apa saya ada mengotori seluruh desa ini? Sehingga disuruh membersihkan bumi. Jadi saya tetap menolak Ngepah Karang dan pamidanda ini," tegasnya. Bahkan penolakan itu sudah dilayangkan melalui surat ke MDA Provinsi Bali pada 14 Februari 2022 lalu. 

"Saya keberatan karena tidak ada rasa keadilan. Tapi sampai hari ini tidak ada jawaban. Saya ingin lanjutkan masalah ini ke MDA Provinsi. Terutama mempertanyakan pemasangan patok karena dalam keputusan tidak ada disebutkan pematokan, hanya pengukuran. Saya menolak seluruh keputusan desa adat," terangnya. Atas kondisi ini Dewa Putu Raka Adnyana merasa terisolasi karena tidak leluasa beraktivitas di dalam rumah. Dewa Raka musti mekecos atau melewati benang patok terlebih dahulu jika mau ke Merajan dan keluar rumah.

Sementara Bendesa Adat Tegallinggah, I Ketut Riman, 63, mengatakan ngepah karang ini sudah biasa terjadi di wilayahnya. Namun baru kali ini sampai ada penolakan dari salah satu keluarga hingga menyebabkan masalah ini dibahas sampai tataran MDA Provinsi Bali. Kata Bendesa Ketut Riman, penanaman patok di rumah sikut satak ini pun sudah berdasarkan Keputusan Sabha Kerta MDA Provinsi Bali Nomor 059/MDA-Prov Bali/I/2022 tertanggal 28 Desember 2021 tentang Wicara Karang Ayahan Desa. 

Bendesa Ketut Riman mengatakan sudah berbulan-bulan memediasi masalah ini hingga akhirnya sampai ke MDA Provinsi Bali. "Berawal dari permintaan keluarga hingga adanya keputusan ini. Ada permohonan ngepah karang, karena tidak harmonis di rumah tangga. Sesuai awig-awig, Bendesa yang punya tugas menyelesaikan wicara adat," jelasnya didampingi Prajuru adat lainnya. 

Ketut Riman mengatakan sudah melalui beberapa tahapan sebelum mengeksekusi keputusan. "Kami tidak serta merta menghakimi. Tetap ada musyawarah untuk menyelesaikan masalah ini. Namun karena ada keberatan, maka kami konsultasi dengan MDA," jelasnya. Terkait Ngepah Karang sikut satak ini, kata Ketut Riman sudah sesuai awig-awig, pararem dan dresta setempat. "Bahwa di sini awig-awig kami memperbolehkan ngepah Karang. Sudah terjadi beberapa kali. Tapi memang sampai pemasangan patok ini baru pertama kali," jelas Riman. 

Bagi desa adat, patok hanyalah sarana untuk menandai batas-batas. "Sebagai pinget. Jaman modern biar tidak bergeser ke sana ke mari. Hanya untuk menjamin kepermanenan batas-batas itu," jelasnya. Ketut Riman menegaskan, Desa Adat hanya menjalankan tugas melakukan pengukuran batas. 

"Hanya pemasangan patok. Yang jelas desa adat tugasnya ngepah Karang saja. Kami tidak ada mengharuskan untuk ditembok. Itu terserah keluarga, kalau keluarga mau bangun silahkan," jelasnya. Ditambahkan Ketut Riman, meskipun karang sudah dibagi Dewa Putu Raka Adnyana tetap mendapatkan akses ke Merajan maupun Bale Dangin. Terkait penolakan Dewa Putu Raka, menurut Bendesa sah-sah saja. "Ada penolakan silahkan saja, tapi pelaksanaan SK tidak bisa ditunda. Keputusan MDA sudah final dan berkekuatan hukum tetap," tegasnya.

Kasus Ngepah Karang di rumah salah satu krama Desa Adat Tegallinggah, Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar sudah merupakan keputusan Sabha Kertha (Majelis Hakim) Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali. 

Petajuh Agung Bidang Agama, Seni, Budaya, Tradisi dan Kearifan Lokal MDA Provinsi Bali, I Gusti Made Ngurah dikonfirmasi NusaBali, Sabtu kemarin mengatakan bahwa persoalan di Desa Adat Tegallinggah sudah final prosesnya, dimulai dari tingkatan Sabha Kertha Desa Adat, Sabha Kertha Majelis Alit, Sabha Kertha Majelis Madya, dan baru diputuskan di Sabha Kertha Majelis Desa Adat Provinsi Bali. "Sudah selesai itu. Prosesnya sudah eksekusi tadi pagi (Sabtu kemarin). Karena memang itu keputusan Sabha Kertha Provinsi Bali," ujar Made Ngurah.

Mantan Kanwil Agama Provinsi Bali ini mengatakan Sabha Kertha Provinsi Bali  terdiri dari seluruh Bendesa Madya Kabupaten/Kota. Dalam kasus di Desa Bedulu Gianyar ini, Bendesa Madya Kabupaten Gianyar tidak dilibatkan. "Untuk kasus di Gianyar ini, Majelis Madya Gianyar tidak dilibatkan, karena persoalannya ada di ranah Majelis Madya Kabupaten Gianyar," ujar Made Ngurah.

"Sekali lagi untuk menjaga independensi untuk masalah di Kabupaten Gianyar, MDA Gianyar tidak masuk dalam Sabha Kertha yang memutus masalah di Gianyar. Sabha Kertha ini kan ibarat Majelis Hakim. Ya Majelis Hakim yang di wilayahnya ada masalah tidak diberikan mengadili supaya tidak ada kesan intervensi," ujar Made Ngurah.

Made Ngurah menambahkan, keputusan eksekusi sudah tidak ada persoalan juga. Termohon juga tidak bisa lagi mengajukan permohonan atau banding. "Kalau masalah adat sudah final prosesnya. Tinggal yang bersangkutan saja sekarang di Desa Adat, komunikasi dengan Bendesa, Prajuru Adat. Itu kan karang desa, desa adat punya awig-awig untuk mengatur desa adatnya," ujar Made Ngurah.

Made Ngurah menegaskan, proses pemeriksaan perkara di Desa Adat Tegallinggah prosesnya dari Desa Adat, Majelis Alit, Majelis Madya sampai Sabha Kertha MDA Provinsi Bali sangat transparan. "Ketika saat proses di Majelis Madya ada pihak yang tidak puas, ada lagi proses ke Majelis Desa Adat Provinsi Bali. Nah, Sabha Kertha Provinsi Bali dalam memutuskan masalah ini ada proses panureksa (pemeriksaan) perkara sampai 9 kali. Setelah 9 kali panureksa baru ada keputusan. Sangat jelas prosesnya," ujar Made Ngurah. 7 nvi, nat

Komentar