nusabali

Desa Wisata Taro Jawara BCA Awards 2021 Kategori Alam

Berkat Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber dan Sistem Pertanian Organik

  • www.nusabali.com-desa-wisata-taro-jawara-bca-awards-2021-kategori-alam

Melalui pondasi Tri Hita Karana, Desa Wisata Taro, Kecamatan Tegallalang mengusung tema Eco-Spiritual Destination

GIANYAR, NusaBali

Desa Wisata Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar berhasil memenangkan dua gelar dalam ajang BCA Desa Wisata Awards 2021. Pertama, sebagai Juara I Desa Wisata Kategori Alam. Kedua, sebagai Juara II lomba foto menggunakan Ponsel. Predikat jawara Desa Wisata Kategori Alam ini tak terlkepas berkat pengelolaan sampah berbasis sumber dan sistem pertanian organik yang diberlakukan di Desa Wisata Taro.

Ada empat kategori yang dilombakan dalam ajang BCA Desa Wisata Awards 2021, yang para pemenangnya sudah diumumkan, Jumat (3/9) lalu. Rinciannya, Desa Wisata Kategori Alam, Desa Wisata Kategori Budaya, Desa Wisata Kategori Kreatif, dan Desa Wisata Kategori Digital. Desa Wisata Taro berhasil sabet gelar Juara I Kategori Desa Wisata Alam.

Atas prestasinya tersebut, Desa Wisata Taro berhak sabet hadiah uang tunai Rp 75 juta dan sekaligus pendampingan. Dana tersebut bisa digunakan untuk pengembangan desa wisata lebih lanjut.

Ketua Tim Desa Wisata Taro, I Wayan Wardika, mengucap puji syukur atas prestasi yang diraih desanya tahun ini. "Semoga ini akan menjadi motivasi dan semangat berbenah ke depannya, untuk semakin membaik dan selalu menjadi terbaik," ujar Wayan Wardika saat dikonfirmasi NusaBali, Minggu (5/9).

Wayan wardika menyebutkan, Desa Wisata Taro tampil ke ajang BCA Desa Wisata Awards 2021 ini mewakili Provinsi Bali. Untuk Kategori Desa Wisata Alam, Desa Wisata Taro menjadi yang terbaik dengan mengungguli Desa Wisata Bilebante (Nusa Tenggara Barat/yang hartus puas di posisi kedua) dan Desa Wisata Nadulang (Jawa Tengah/di posisi ketiga).

Menurut Wardika, kemenangan Desa Wisata Taro ini diraih berkat kerja keras, tuntas, dan cerdas dari Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Taro, Pemerintah Desa Taro, dan pihak terkait. Dalam proposal yang diajukan sebagai persyaratan lomba, Wardika menyajikan kondisi Desa Taro sebelum dan sesudah ditata. Diawali dengan semangat menjaga alam, kemudian berbonus pariwisata.

Disebutkan, Desa Taro merupakan salah satu desa tua yang ada di Bali. Desa yang menjadi habitat Lembu Putih ini memiliki keindahan alam sangat mempesona dan warisan budaya adiluhung yang sangat mengagumkan. "Desa Taro yang dulunya dikenal dengan nama Bhumi Sarwaada, adalah cikal bakal lahirnya desa adat dan sistem pertanian irigasi air yang disebut subak. Desa Taro sangat erat kaitannya dengan legenda kedatangan sang Maha Rsi Markandeya ke Bali di abad ke-7," jelas
mantan pekerja kapal pesiar ini,

Saat ini, kata Wardika, Desa Wisata Taro dikelola oleh Pokdarwis Desa Wisata Taro melalui Unit Usaha Desa Wisata di Bawah BUMDes. "Pengelolaannya adalah 100 persen masyarakat Desa Taro, yang dikolaborasikan dengan semua pelaku usaha wisata yang ada, mulai dari homestay, restoran, destinasi, kafe, dan atraksi wisata lainnya," kata Wardika.

Melalui pondasi Tri Hita Karana, Desa Wisata Taro mengusung tema Eco-Spiritual Destination. Dalam konsep ini, senantiasa harus menjaga keseimbangan hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Sang Pencipta.

"Itu sebabnya prinsip untuk menjaga dan melestarikan seluruh aset serta sumber daya yang ada merupakan tugas utama kami. Termasuk aset berupa alam, budaya, dan SDM," tandas pemilik Tegal Dukuh Camp ini.

Versi Wardika, dulu sebelum ditata, kawasan Desa Taro dihadapkan pada persoalan sampah. Selain jorok dan mengganggu kesehatan, persoalan sampah juga sering menimbulkan permasalahan seperti banjir dan pencemaran lingkungan.

"Sebelum dibuatnya fasilitas pengelolaan sampah berbasis sumber, masalah sampah merupakan momok dalam pengembangan kepariwisataan di Desa Taro. Sebab, sungai-sungai dipenuhi oleh timbunan sampah plastik, di mana-mana ditemukan warga membakar sampah sembarangan, sementara aliran irigasi subak sering tersumbat oleh sampah plastik yang terbawa arus sungai di musim hujan," papar Wardika.

Hal itu, kata Wardika, ditambah lagi isu penggunaan bahan-bahan sintesis (pupuk kimia dan pestisida) yang berlebih dalam pertanian masyarakat akibat minimnya edukasi mengenai pola pertanian yang ramah lingkungan. Faktor ini juga sangat berpengaruh terhadap isu lingkungan di Desa Taro. Dampak yang paling mudah diamati adalah menurunnya bio diversitas yang ada di alam seperti capung, kupu-kupu, belut, dan kunang-kunang.

"Kami pikir, jika kondisi ini tidak segera ditangani dengan edukasi yang benar, maka Desa Taro yang indah, asri, dan memikat akan sulit sekali dijumpai di masa mendatang. Maka itu, berbagai upaya dilakukan."

Upaya yang dilakukan, antara lain, membangun fasilitas pengelolaan sampah berbasis sumber dengan pendekatan 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Selain itu, juga membuat sistem terintegrasi antara Perdes dan Perarem (hukum adat) untuk tata kelola sampah di Desa Taro, yang melibatkan 2.261 kepala keluarga (KK) di 14 desa adat wilayah  Desa Taro.

Kecuali itu, juga mengembangkan pertanian organik yang ramah lingkungan, melalui program ketahanan pangan yang diintegrasikan pengembangan desa wisata, serta pengelolaan desa wisata yang terintegrasi dan berbasis digital melalui platform ‘My Kampoong’

Dalam hal pengelolaan sampah, kini menjadi berkah bagi Desa Taro karena menjadi bahan baku utama pupuk organik yang ramah lingkungan. Fasilitas ini kini berpotensi menghasilkan kompos basah sebanyak 7 ton per hari atau setara untuk membuat pertanian organik 1,08 hektare per tahun. "Dapat dibayangkan dampaknya terhadap bumi, jika semua petani di Desa Taro menggunakan pendekatan organik," kata Wardika. *nvi

Komentar