nusabali

Termasuk Tradisi Mecakcakan dan Tradisi Saba Malunin

Dinas Kebudayaan Buleleng Usulkan Empat Tradisi Ditetapkan sebagai WBTB

  • www.nusabali.com-termasuk-tradisi-mecakcakan-dan-tradisi-saba-malunin

Tradisi Mecakcakan di Desa Sambirenteng, Kecamatan Tejakula adalah ritual magibung yang khusus menggunakan sarana be cundang, yakni daging ayam bekas aduan, yang digelar setiap Tilem Kapitu.

SINGARAJA, NusaBali

Pemkab Buleleng melalui Dinas Kebudayan kembali mengusulkan empat (4) objek tradisi di Gumi Panji Sakti untuk ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Kementerian Pendidikan-Kebudayaan-Riset-Teknologi (Kemendikbud Ristek). Termasuk yang diusulkan jadi WBTB Nasional adalah Tradisi Mecakcakan di Desa Sambirenteng (Kecamatan Tejakula, Buleleng) dan Tradisi Saba Malunin di Desa Pedawa (Kecamatan Banjar, Buleleng).

Selain dua tradisi tersebut, objek yang juga diajukan Buleleng menjadi WBTB Nasional adalah Tradisi Permainan Gangsing di Kabuaten Buleleng dan Motif Ukiran Khas Buleleng. Usulan tersebut kini masih menunggu keputusan penetapan. Kepala Bidang Sejarah dan Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Buleleng, Gede Angga Prasaja, mengatakan dari 4 objek tradisi yang diusulkan menjadi WBTB Nasional tersebut, Motif Ukiran Khas Buleleng diputuskan untuk ditangguhkan, karena masih memerlukan kajian lebih dalam.

“Pengusulan WBTB ini sebenarnya sudah berproses dari tahun lalu. Kemarin sudah sempat dikaji dan dilakukan pemenuhan kekurangan syarat, sesuai dengan arahan pusat. Beberapa memang ada revisi dan sudah kami perbaiki dan setor kembali,” ungkap Gede Angga Prasaja di Singaraja, Jumat (18/6). “Hanya saja, untuk Motif Ukiran Khas Buleleng belum bisa ditetapkan tahun ini. Tim mengatakan masih perlu kajian lebih dalam,” imbuhnya.

Berdasarkan penilaian tim pengkaji dari pusat, kata Gede Angga, Motif Ukiran Khas Buleleng belum ditemukan perbedaan mendasar dengan ukiran di daerah lainnya di Bali. “Kami juga belum tahu detail yang dimaksud ‘tidak ada perbedaan dengan daerah lain’ itu. Tahun depan kami akan coba kaji lebih dalam lagi. Karena tahun ini ditangguhkan, kami fokus ke tiga usulan lain, mudah-mudahan bisa ditetapkan,” katanya.

Gede Angga menyebutkan, sebenarnya Motif Ukiran Khas Buleleng diajukan sebagai WBTB Nasional, karena merupakan warisan leluhur. Secara kasat mata, Motif Ukiran Khas Buleleng yang masih dipertahankan dan kembali dibangkitkan serta diaplikasikan pada pembangunan pura dan gedung pemerintahan, menjadi ciri khas Buleleng. Hanya saja, Motif Ukiran Khas Buleleng kalah tenar dengan motif ukiran Bali Selatan, sehingga beberapa dekade sempat ditinggalkan.

Menurut Gede Angga, secara mendasar perbedaannya terletak pada bahan yang digunakan. Motif Ukiran Khas Buleleng menggunakan serbuk paras, sedangkan ukiran Bali Selatan menggunakan pasir hitam (bias melela). Selain itu, dalam bentuk fisik ukiran juga terlihat jelas.

Motif Ukiran Khas Buleleng memiliki bentuk ukiran yang tidak simetris, terutama jika diaplikasikan pada paduraksa. Ukuran ukirannya pun lebih besar, biasanya meniru bentuk daun, bunga, dan hewan. Upaya pelestarian Motif Ukiran Khas Buleleng, kata Gede Angga, juga sudah diupayakan Dinas Kebudayaan dengan menggelar pelatihan yang melibatkan sejumlah seniman ukir di Buleleng tahun 2019 lalu.

Sementara itu, Tradisi Saba Malunin di Desa Pedawa, Kecamatan Banjar yang diusulkan menjadi WBTB Nasional, merupakan salah satu dari sejumlah tradisi unik dan magis yang dimiliki desa Bali Aga tersebut. Tradisi Saba Malunin digelar krama Desa Pedawa 5 tahun sekali di Pura Desa Pedawa pada Purnamaning Kapat. Pelaksanaan Tradisi Saba Malunin ini diyakini sebagai pertanda bahwa desa masih ajeg dan dalam keadaan mapan, baik spriritual, jasmani, maupun rohani.

Tradisi Saba Malunin ini menjadi unik dan tiada duanya di dunia, yakni sarana upakara berupa banten yang dipersembahkan. Seluruh krama yang sudah menikah wajib membawa banten balun atau banten lungguh suci. Banten ini berisikan berbagai macam makanan mulai dari nasi, sayur, gerang, lawar merah putih, daging babi, cabai, bawang, pisang satu tandan, hingga gantal dan sirih.

Kemudian, seluruh isi persembahan itu dialasi klatkat (anyaman bambu) yang selanjutnya dibungkus daun pisang dan diikat dengan daun aren muda. Tradisi ini akan berlangsung selama tiga hari tiga malam, dilengkapi dengan pementasan belasan tarian sakral di Desa Pedawa.

Sedangkan Tradisi Mecakcakan di Desa Sambirenteng, Kecamatan Tejakula adalah tradisi magibung (makan bersama). Namun, mecakcakan di Desa Sambirenteng khusus menggunakan sarana be cundang (daging ayam bekas aduan, Red). Tradisi yang sudah berjalan ratusan tahun ini selalu digelar setahun sekali pada Tilem Kapitu, yang diawali dengan upacara tawur. Awal tradisi ini dimulai saat krama desa banyak yang jatuh sakit, hingga terjadi keributan antar warga karena salah paham.

Setelah upacara pecaruan digelar krama desa, dilanjutkan dengan tradisi Mecakcakan yang disebut sebagai lambang keseimbangan Tri Hita Karana. Makanan yang disajikan saat upacara Mecakcakan dan dimakan bersama oleh seluruh krama Desa Sambirenteng adalah hasil tabuh rah warga setempat berjumlah 150 seet ayam jantan.

Sebaliknya, Permainan Gangsing di Buleleng yang diusulkan jadi WBTB Nasional berawal dari wilayah Catur Desa Dalem Tamblingan, yang meliputi Desa Munduk (Kecamatan Banjar), Desa Gobleg (Kecamatan Banjar), Desa Gesing (Kecamatan Banjar), dan Desa Umajero (Kecamatan Busungbiu). Magangsing yang diwariskan leluhur ini awalnya dilangsungkan untuk menyambut panen kopi di daerah atas Buleleng.

Seluruh bahan dan proses pembuatan gangsing dilakukan oleh warga setempat. Meski merupakan permainan tradisional, namun magangsing masih lestari hingga saat ini dan berkembang menjadi turnamen. Permainan ini kemudian berkembang ke daerah lain seperti di Desa Pedawa (Kecamatan Banjar) dan Desa Cempaga (Kecamatan Banjar). *k23

Komentar