nusabali

Bangunan Sanggah Menyerupai Bali, Yadnya Dipuput Pamangku

  • www.nusabali.com-bangunan-sanggah-menyerupai-bali-yadnya-dipuput-pamangku

ka ada pamangku yang meninggal dunia, biasanya langsung digelar ritual makingsan ring gni, kemudian disertakan dalam upacara ngaben di Bali dengan biaya ditanggung krama Banjar Dharma Kerti, desa Mukti Jaya

Seluruh pura yang ada di Desa Muktijaya saat ini sudah terbuat dari bahan beton. Sedangkan bangunan suci Bale Piyasanterbuat dari kayu, lengkap dengan ketekan (hitungan) Asta Kosala Kosali sebagai uger-uger (petunjuk) pembangunannya.

Lalu, dari mana krama Bali di Desa Muktijaya mendatangkan bahan-bahan untuk membangun pura, sanggah, dan merajan? Bahan-bahan itu mereka dapatkan dari kabupaten seberang. Sebagian didatangkan dari Desa Makarti Jaya, Kecamatan Makarti Jaya, Kabupaten Banyuasin, ada pula yang didatangkan dari Kecamatan Tugumulyo, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatra Selatan. Pembuatnya juga krama Bali perantauan.

Menurut Ketua Pasraman Kumara Dharma Bakti, Desa Muktijaya, I Made Suradnya, 40, bahan-bahan untuk pembangunan pura, sanggah, dan merajan ini didatangkan dari kawasan seberang dengan naik perahu. “erjalanan ke Desa Makarti Jaya dan Tugumulyo memakan waktu 3 jam lebih, dengan naik ketek (perahu),” ungkap Made Suradnya saat NusaBali berkunjung ke Desa Muktijaya, Sabtu (8/10) lalu.

Made Suradnya mengatakan, peralihan dari sanggah turus lumbung ke sanggah beton sudah terjadi sejak 8 tahun silam. Palinggih (bangunan suci) yang dibangun di sanggah atau merajan sudah lengkap, meski ada yang belum menuntaskan sampai pembangunan tembok panyengker. “Pembangunannya dilakukan bertahap,” jelas transmigran kelahiran Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan pada 1976 yang diajak orangtuanya transmigrasi ke Desa Muktijaya sejak usia 3 tahun ini.

Dia mengisahkan, krama Bali perantauan yang transmigrasi di Provinsi Lampung pernah membawa cetakan sanggah beton ke Desa Muktijaya. Cetakan itu juga dimanfaatkan untuk membuat bahan panyengker. Salah satu panyengker bahkan dibangun di Kantor Kepala Desa Muktijaya.

Menurut Suradnya, pembangunan sanggah di Desa Muktijaya juga mengikuti konsep ulu teben, sebagaimana halnya di Bali. Khusus krama perantauan asal Tabanan, mereka membuat sanggah nganutin pamesuan (menyesuaikan pintu masuk rumah). Jika rumahnya di sebelah barat jalan, maka otomatis bangunan sanggah ada di pojok kaja kangin (timur laut). Jika rumahnya di sebelah timur jalan, mereka membangun sanggah di pojok kaja kauh (barat laut). Hitungannya tetap kaja (arah utara) sebagai simbol gunung atau kesucian.

“Sedangkan bagi krama dari luar Tabanan, di mana pun posisi rumahnya, mereka tetap membangun sanggah di bucu kaja kangin,” papar Suradnya, yang kesehariannya adalah guru PNS dan mengajar bidang studi MIPA di SMAN 1 Telang Jaya, Banyuasin.

Seingat Suradnya, upacara besar di pura-pura maupun di lingkungan keluarga krama Bali di Desa Muktijaya, belum pernah dipuput sulinggih (Ida Pedanda). Upacara selalu dipuput Pamangku Pura Tri Kahyangan. Krama Banjar Pakraman Dharma Kerti, Desa Muktijaya sangat memuliakan pamangku. “Jika ada pamangku yang meninggal dunia, maka langsung digelar upacara makingsan ring gni (dibakar). Upacara ini juga berlaku bagi kaum Brahmana,” katanya.

Selanjutnya, jika di tanah leluhur Bali ada upacara pengabenan, maka pamangku yang meninggal dan telah diupacarai makingsan ring gni tersebut diikutsertakan ngaben di Bali, dengan biaya ditanggung krama banjar. “Ya, jika ada pamangku yang meninggal, biaya pengabenan ditanggung krama banjar (Banjar Dharma Kerti, Desa Muktijaya, Red),” jelas ayah tiga anak ini.

Diceritakan, jika ada krama Banjar Dharma Kerti yang menggelar upacara Manusia Yadnya, utamanya Mapandes (potong gigi), biasanya kaum Brahmana dimintai bantuan sebagai sangging. Salah satu sangging yang sering dimintai bantuan krama adalah IB Nyoman Dirga Manuaba, jebolan SMKN 1 Tabanan yang merantau ke Desa Muktijaya sejak 1990. IB Dirga Manuaba bukan hanya nyangging di Desa Muktijaya. Tapi, pria asal Banjar Lodalang, Desa Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan itu uga sering dimintai bantuan untuk natah (motong gigi) di luar Desa Muktijaya.

Suradnya mengatakan, krama Bali di Desa Muktijaya selalu menggelar persembahyangan bersama di Pura Desa pada rahina Purnama (bulan penuh) dan Tilem (bulan mati). Selain itu, mereka juga tangkil sembahyang saat pujawali di masing-masing pura.

Sementara, untuk mempertebal keimanan dan keyakinan terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sepekan sekali setiap hari Minggu, pelajar SD, SMP, dan SMA di Desa Muktijaya mengikuti pasraman. Lokasinya meminjam tempat di SDN 5 Muara Telang.

Selain mendapatkan pendidikan agama Hindu, mereka juga mendapat pelajaran dharma gita, majejahitan, pembuatan sarana upakara. Pasraman setingkat SD dan SMP diajarkan oleh I Gede Lembang dan Ketut Agus Prajana. Sedangkan pasraman untuk pelajar SMA ditangani langsung Ketua Pasraman Kumara Dharma Bhakti, Made Suradnya. “Saat ini, kami mempersiapkan lima orang untuk lomba Utsawa Dharma Gita tingkat Provinsi Sumatra Selatan,” papar Suradnya.

Di sisi lain, Sekretaris Desa (Sekdes) Muktijaya, I Made Mudita, menyatakan kerukunan hidup beragama di kampung ini sangat kuat. Dari 701 KK, sebanyak 110 KK di antaranya yang menganut agama Hindu, sementara sisanya beragama Islam, Katolik, dan Kristen Protestan. Keempat agama yang berkembag di Desa Muktijaya sudah semuanya dilengkapi dengan tempat peribadatan.

Khusus di kampung Bali yakni Banjar Dharma Kerti, Desa Muktijaya, jumlah pura cukup banyak sesuai fungsinya. “Kami hidup rukun, astungkara Ida Sang Hyang Widhi Wasa kerukunan ini bisa berlangsung lama. Saat Nyepi, umat lain sangat menghormati peribadatan kami terbukti tak ada yang lalu lalang masuk kampung,” jelas Made Mudita.

Sementara itu, ketika awal-awalnya 90 KK transmigran asal Bali datang bersamaan ke Desa Muktijaya, 17 Juli 1979, di kawasan ini baru ada satu sekolah dasar (SD). Lokasinya di ujung selatan Jalur X atau sekitar 2 kilometer arah selatan dari Bale Banjar Dharma Kerti, Desa Muktijaya. Lokasi SD ini berada di sebelah timur Kantor Desa Muktijaya.

Sedangkan untuk sekolah SMP dan SMA, baik negeri maupun swasta, hanya ada di Jalur 8 yang berjarak sekitar 8 kilometer dari Kantor Desa Muktijaya. Para pelajar dari Desa Muktijaya berangkat ke sekolah menggunakan sepeda kayuh. Barulah sejak 5 tahun terakhir, sebagian dari mereka berangkat sekolah naik sepeda motor.

Kini, anak-anak di Desa Muktijaya yang terdiri dari 4 RK (Rukun Keluarga): Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, bisa sekolah lebih dekat. Soalnya,  pemerintah telah membangun SMPN 2 Muara Telang yang lokasinya berdampingan dengan SDN 5 Muara Telang pada 2008 silam. Sejak setahun lalu, ada sekolah PAUD/TK yang dibangun dan dikelola krama Bali perantauan.

Menurut Sekdes Made Mudita, hampir 70 persen dari 110 KK transmigran asal Bali saat ini, anak-anak mereka menempuh pendidikan tinggi. Bahkan, sudah ada 2 orang PNS yang bertugas sebagai guru, selain 2 orang pensiunan PNS guru. Sedangkan krama Bali yang menjadi PNS non guru ada 3 orang, termasuk Sekdes Made Mudita sendiri. “Rata-rata mereka yang tamat SMA melanjutkan kuliah ke kota,” ungkap Made Mudita, transmigran asal kawasan seberang Nusa Penida, Klungkung. * k21

Komentar