nusabali

Tradisi Nyepi di Desa Pakraman Lemukih, Pantang Laksanakan ‘Amati Lelungan’

  • www.nusabali.com-tradisi-nyepi-di-desa-pakraman-lemukih-pantang-laksanakan-amati-lelungan

Pelaksanaan Hari Raya Nyepi Tahun Caka 1939, yang jatuh pada Anggara Paing, sasih Kedasa, Selasa (28/3), berlangsung unik di Desa Adat Pakraman Lemukih, Desa Lemukih, Kecamatan Sawan. 

SINGARAJA, NusaBali
Umumnya, pelaksanaan Nyepi dibarengi dengan Catur Berata Nyepi, yakni Amati Geni (tanpa nyala api/cahaya lampu, Amati Lelanguan (tanpa pesta), Amat Karya (tanpa aktivitas/kerja), dan Amati Lelungan (tanpa berpergian).

Namun di Desa Pakraman Lemukih, perayaan Nyepi hanya melaksanakan Tri Berata Nyepi, yakni Amati Geni, Amat Lelanguan, dan Amati Karya. 

Sedangkan Amati Lelungan, pantang dilaksanakan krama setempat. Bagi krama Lemukih, perayaan Nyepi justru menjadi ajang temu kangen dengan sanak keluarga, setelah terpisah karena kesibukan masing-masing. Mereka saling kunjung-mengunjungi di saat perayaan Nyepi. 

Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun, dan hanya berlaku di Wewidangan Pakraman Lemukih. Krama tidak boleh keluar hingga melewat batas Wewidangan, demikian juga krama dari luar Lemukih tidak diizinkan masuk ke Wewidangan Lemukih. Bahkan dalam tradisi ini, sesuai perkembangan jaman, krama juga memanfaatkan momen Nyepi mendatangi tempat-tempat wisata yang ada di Wewidangan Desa Pakraman Lemukih. 

Krama diizinkan bebas keluar selama di Wewidangan, hanya dengan jalan kaki. Pecalang tetap berjaga mengawasi pelaksanaan Catur Berata Nyepi, selain Amati Lelungan.   Konon, tradisi ini sempat diubah untuk mengikuti perayaan Nyepi secara umum- dengan melaksanakan Amati Lelungan, namun justru terjadi bencana bentrok antara pecalang dengan krama.

Tokoh masyarakat Desa Pakraman Lemukih, Jro Mangku I Gede Ginarsa menyebut, tradisinya tanap melaksanakan Amati Lelungan itu sudah ada sejak dulu. Ada kemungkinan tradisinya muncul karena letak satu bajar dinas dengan banjar dinas lainnya cukup jauh, bahkan ada yang berada di lereng perbukitan. Di samping itu, dulu juga banyak warga yang mondok (membuat gubuk) di hutan untuk menanam kopi dan cengkeh, dalam waktu yang lama. Sehingga momen Nyepi – tanpa kerja ke kebun atau sawah dimanfaatkan untuk bertemu dengan sanak keluarga yang ditinggal mondok. 

“Kami di sini (Lemukih) menciptakan suasana harmonis di saat Nyepi. Biasanya, keluarga dari yang tinggal di dusun Lemaya atau dusun Nangka datang berkunjung ke rumah. Mereka datang jalan kaki, tidak boleh memakai sepeda motor,” kata mantan Sekdes Lemukih selama 33 tahun ini.

Sementara Klian Desa Pakraman Lemukih Jro Gede Widiarta didampingi Jro Mangku Nengah Widiawan menegaskan, tradisi tanpa Amati Lelungan sudah dilaksanakan sejak turun temurun. Dikatakan, biasanya keluarga besar atau kerabat berkumpul atau saling mengunjungi. Lalu, mereka bersama-sama bepergian ke berbagai tempat yang sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelumnya, seperti tempat-tempat objek wisata. Hanya, Amati Lelungan dibatasi hanya berlaku di Wewidangan Pakraman Lemukih. “Boleh dikatakan Nyepi di Lemukih tidak Amati Lelungan, jalanan pasti ramai dipadati warga dari pagi hingga sore hari. Pokoknya dibebaskan berkunjung kemanapun, selama tidak keluar batas wilayah Desa Lemukih, tentunya harus jalan kaki,” kata Jero Widiarta.

Jro Gede Widiarta kemudian menceritakan sebuah fakta ketika pihak Desa Pakraman mencoba untuk mengubah tradisi warisan turun temurun tersebut. Perubahan itu mulai dilaksanakan, tepatnya pada tahun 1982. Penyelenggaraan Nyepi saat itu, dimana Desa Lemukih mulai beradaptasi dan bermaksud untuk menyesuaikan diri dengan tradisi di Desa Pakraman lainnya di Kabupaten Buleleng, maupun Bali. 

Pihak desa adat secara ketat melakukan pengawasan saat dilangsungkannya Catur Brata Penyepian dengan cara menempatkan sejumlah Pecalang berjaga di setiap pos yang sudah ditentukan.

“Baru mencoba, sudah langsung terjadi keributan lantaran pihak desa saat itu melarang masyarakat untuk bepergian. Ya, hampir terjadi bentrok antar kelompok. Sejak kejadian itu, kami putuskan membatalkan dan kembali memberlakukan tradisi lama dengan tidak menjalankan amati Lelungan sesuai Desa, Kala, Patra di desa kami,” ungkapnya.

Berdasarkan fakta tersebut, Desa Pakramaan Lemukih pada tahun berikutnya langsung memberikan keleluasaan dan kebebasan kepada warga masyarakat setempat untuk bepergian dan tidak memberlakukan amati Lelungan dan semuanya itu berlaku hingga saat ini. 

Komentar