nusabali

Ada Ritual Majukjukan sebagai Bentuk Penghormatan Kaum Wanita

  • www.nusabali.com-ada-ritual-majukjukan-sebagai-bentuk-penghormatan-kaum-wanita

Saat ritual Majukjukan, 5 gadis cantik ditangkap dari tengah kerumunan krama, lalu dibawa ke depan Pura Desa Pakraman Bengkala buat dinobatkan sebagai ‘Ratu Bengkala’.

Keunikan Laku Tradisi Pangrupukan Nyepi di Desa Pakraman Bengkala, Kubutambahan, Buleleng

SINGARAJA, NusaBali
Pelaksanaan Tawur Agung Kasanga saat Pangrupukan Nyepi Tahun Baru Saka (sehari sebelum Nyepi) di Desa Pakraman Bengkala, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng berbeda dari tempat lainnya di Bali. Pangrupukan Nyepi di Desa Pakraman Bengkala diawali dengan tradisi ritual Majukjukan, di mana sejumlah teruni (gadis) cantik ditangkap untuk dijadikan Ratu Bengkala.

Tradisi ritual Majukjukan ini rutin digelar setahun sekali saat Pangrupukan Nyepi Tahun Baru Saka, yang jatuh pada Tilem Kasanga (bulan mati kesembilan dalam sistem penanggalan Bali). Untuk Nyepi Tahun Baru Saka 1939 kali ini, ritual Majukjukan dilaksanakan di Pura Desa Pakraman Benhkala, Senin (27/3) sore pukul 15.00 hingga 17.00 Wita.

Saat tradisi ritual Majukjukan dilaksanakan, seluruh krama Desa Pakraman Bengkala wajib berkumpul di areal Pura Desa. Mereka dikumpulkan untuk menyaksikan dan mengikuti tradisi Majukjukan, yang digelar sebelum upacara Tawur Agung Kasanga dan pengarakan ogoh-ogoh. Majukjukan sendiri berasal dari kata ‘juk’ dalam bahasa Bali dengan mendapat awalan ma dan akhiran kan. Dalam bahasa Indonesia, ‘juk’ berarti tangkap.

Nah, yang ditangkap saat digelarnya tradisi Majukjukan di Pura Desa Pakraman Bengkala adalah 5 remaja putri (teruni), yang kemudian dinobatkan menjadi ‘Ratu Bengkala’. Para teruni  yang ditangkap dan dinobatkan jadi ‘Ratu Bengkala’ ini bukan hanya cantik secara fisik, namun juga dijamin memiliki sopan santun, etika, pendidikan yang bagus, dan aktif dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan Desa Pakraman Bengkala.

Beberapa hari sebelum dilaksanakan tradisi ritual Majukjukan, lebih dulu digelar paruman (rapat) prajuru Desa Pakraman Bengkala. Dalam paruman inilah ditunjuk 8 teruna (remaja pria) sebagai tukang juk untuk tradisi ritual Majukjukan. Sedangkan Sekaa Truna (ST) Desa Pakraman Bengkala sebelumnya sudah melakukan paruman juga. Lewat paruman ST Desa Pakraman Bengkala inilah ditententukan siapa-siapa saja teruni yang bakal terpilih untuk dijuk dalam ritual Majukjukan, sesuai dnegan kriteria yang telah ditetapkan.

Karena itu, 8 teruna tukang juk dalam pelaksanaan tradisi ritual Majukjukan sudah mengantongi nama-nama teruni yang bakal dijuk. Mereka semuanya remaja yang masih berstatus pelajar SMA, masing-masing Ni Komang Meli Sumardi, Ni Kadek Ayu Desi Wulandari, Ni Kadek Shanti, Indah Maha Rosadi, dan Ni Kadek Novita Wulansari.

Maka, begitu ritual Majukjukan dimulai dengan diiringi tabuh gambelan Baleganjur, 8 teruna tukang juk ini langsung mencari 5 gadis yang sudah ditentukan. Mereka harus menemukan para gadis tersebut di tengah kerumunan krama.

Jika sudah ditemukan, gadis para cantik tersebut kemudian dibopong ramai-ramai layaknya seorang ratu, menuju depan Pura Desa Pakraman Bengkala. Para gandis cantik inilah yang kemudian dinobatkan menjadi ‘Ratu Bengkala’. Setelah dinobatkan jadi ‘Ratu Bengkala’, mereka seterusnya akan dilibatkan dalam setiap kegiatan yang positif, untuk memberikan contoh yang baik kepada krama sedesa bagaimana berbusana ke pura yang baik dan benar. Termasuk juga memberi contoh melaksanakan aturan-aturan adat lainnya yang harus dipatuhi krama desa.

Penyarikan Desa Pakraman Bengkala, I Ketut Darpa, mengatakan tradisi ritual Majukjukan ini sudah berlangsung selama ratusan tahun dan diwariskan secara turun temurun. Tidak ada rujukan pasti yang melatarbelakangi digelarnya tradiis Majukjukan saat Pangrupukan Nyepi ini. 
Namun, Ketut Darpa kemudian mendapatkan rujukan soal tradisi ini tahun 2007 silam ketika dirinya ikut berpartisipasi dalam penelitian arkeologi di Kubutambahan.

“Rujukan sial tradisi ritual Majukjukan ini tertuang dalam Prasasti Pakuan,” ungkap Ketut Darpa saat ditemui NusaBali di sela pelaksanaan tradisi ritual Majukjukan di Pura Desa Pakraman Bengkala, Senin sore.

Ketut Darpa memaparkan, dalam Prasasti Pakuan yang ditulis pada abad ke-11, disebutkan bahwa Desa Bengkala memiliki wilayah kekuasaan hingga ke Desa Pakuan---yang sekarang disebut Desa Pakisan, Kecamatan Kubutambahan. Dikisahkan, suatu ketika pada Tahun Baru Saka, ada seorang gadis cantik yang tinggal di wilayah Klandis, Desa Pakuan sempat diperlakukan tidak senonoh oleh masyarakat setempat. Akhirnya, tetua desa setempat kala itu mengambil kebijakan dengan membuatkan Palinggih Ratu untuk pengayatan Ratu Cantik. Palinggih Ratu itu hingga kini masih ada di sebuah pura kawasan Klandis, Desa Pakisan.

Menurut Ketut Darpa, sejak kejadian tersebut, Desa Pakuan yang kini menjadi Desa Pakisan memisahkan diri dari Desa Bengkala. “Namun, kami juga tidak berani menyimpulkan bahwa pecahnya Desa Pakuan dengan Desa Bengkala karena kasus gadis yang diperlakukan tidak sewajarnya itu,” jelas Ketut Darpa.

Yang jelas, berdasarkan Prasasti Pakuan, ketika krama Desa Pakisan menghormati gadis cantik yang sempat dilecehkan itu sebagai ratu dalam bentuk Palinggih Ratu, sementara krama Desa Pakraman Bengkala membuat tradisi ritual Majukjukan sebagai simbol penghormatan kepada gadis dan wanita umumnya.

Ketut Darpa mengatakan, tradisi ritual Majukjukan hingga kini dipakai krama Desa Pakraman Bengkala sebagai salah satu gambaran dan peringatan bahwa keberadaan gadis atau wanita senantiasa harus dihormati. “Wanita sebagai lambang ibu dan ibu pertiwi, dipercaya memberikan kemakmuran. 

Sehingga ada kepercayaan yang berkembang, di mana wanita dihormati, maka di situlah aka nada kebahagian dan kesejahteraan,” jelas Ketut Darpa.
Sementara itu, salah satu gadis cantuk yang terpilih menjadi ‘Ratu Bengkala’ dalam tradisi ritual Majukjukan saat Pangrukukan Nyepi Tahun Baru Saka 1939, Komang Meli Sumardi, 18, mengaku terkejut ketika didekati oleh tukang juk, lalu ditangkap. Menurut Komang Meli, dirinya tidak menyangka akan terpilih menjadi Ratu Bengkala. 

Komang Meli pun merasa canggung ketika dua teruna tukang juk membopong dan membawanya ke depan Pura Desa Pakraman Bengkala, disaksikan seluruh krama desa. “Saya tidak pernah berharap, terekjut saja tiba-tiba dibopong seperti itu,” cerita Komang Meli. Meski demikian, setelah terpilih menjadi Ratu Bengkala, Komang Meli mengaku siap jika ke depan dilibatkan dalam sejumlah kegiatan desa, termasuk menjadi contoh yang baik bagi remaja setempat.

Komentar