nusabali

Takut ke Bali

  • www.nusabali.com-takut-ke-bali

Tentu tidak masuk akal jika ada yang mengaku takut ke Bali. Kenapa mesti risau berkunjung ke Pulau Kahyangan, tempat dewata dan bidadari bersemayam? 

Tapi penebasan dengan kelewang hingga tewas oleh penagih hutang di Monangmaning, Denpasar, pertengahan Juli lalu, bisa menjadi salah satu alasan orang-orang khawatir ke Bali. Mereka bimbang karena Bali dinilai tidak lagi tenteram. 

Wabah Covid-19 kian memperparah kekhawatiran itu, karena takut tertular virus. Namun jauh sebelum pandemi, sudah tampak mereka yang was-was kalau berkunjung ke Bali. Keluarga Hidayat dari Jakarta, pengusaha jual beli mobil, mi­salnya, hampir setiap akhir tahun berkunjung ke Bali. Dia mengaku senang bermalam di Ubud. Paling suka ia beristirahat di penginap­an tengah sawah, sepi, tenang, asri, sehingga suara serangga bisa terdengar selepas petang. Untuk makan ia ajak keluarganya jalan kaki di pematang, pergi ke warung-warung. Mereka senang menikmati cuaca yang bersih, dan aroma bunga rumput berbaur dengan perdu liar diterbangkan angin pesawahan.

Tapi kemudian Hidayat memutuskan tidak ke Bali. “Aku takut kali ini ke Bali,” tulisnya lewat surat elektronik kepada rekannya di Denpasar. “Kudengar ada orang Jepang dirampok di penginapannya tengah sawah di Ubud. Dia tengah berbisnis ke Bali. Rasanya yang dirampok itu aku. Atau rampok itu terasa begitu dekat jaraknya dengan aku dan keluarga. Mungkin karena aku suka tidur di tengah sawah, menikmati bintang-bintang terang dalam dekapan langit kelam. Tahun ini sebaiknya aku tidak ke Bali. Jujur saja, aku kok punya perasaan ngeri ke Bali.”

Dua puluh tahun silam, turis dirampok, atau dompetnya dicopet, adalah berita besar yang dinilai tidak masuk akal. Belakang­an, pencuri mengendap-endap mencongkel jendela penginapan, menggarong barang-barang tamu yang tidur lelap, semakin acap terdengar. Bahkan kita kadang menganggapnya sebagai sesuatu yang pantas diabaikan saja, karena peristiwa serupa cukup sering terulang. Turis dijambret, diancam dan dirampas barangnya, atau ditipu, menjadi berita kriminal yang sama biasanya dengan seorang ibu rumah tangga kehilangan tabung gas disatroni maling di siang bolong. Berita itu baru menjadi heboh jika pencurian dan penjambretan wisatawan asing disertai kekerasan dan pembunuhan. 

Tindak kriminal yang dialami orang asing merupakan promosi buruk bagi Bali. Orang-orang bimbang, apakah Bali sudah begitu rusak? Mengapa orang menjadi demikian berani dan nekat di Bali? Jika tindakan-tindakan tercela itu dilakukan oleh orang Bali, tidakkah itu bumerang yang akan menghancurkan pariwisata Bali? Perubahan apa telah terjadi pada manusia Bali sehingga mere­ka jadi begitu tega? Seberapa peduli orang Bali terhadap tindakan-tindakan kekerasan itu? Atau mereka tidak hirau, karena mereka sudah pusing menangani diri sendiri, mengurus bisnis wisata yang terkapar belakangan ini?

Kebanyakan orang menyadari, tindak kriminal yang membahayakan dan mencemaskan wisatawan makin galak dan terbuka. Pencurian dengan kekerasan, cukup kerap terjadi. Namun orang Bali menilai, tidak berarti kriminalitas seperti itu cukup dijadikan alasan untuk mengatakan Bali tidak aman. Sebagian besar orang Bali yakin, Bali tetap merupakan tempat teraman di Tanah Air, kendati teroris pernah meledakkan bom di Kuta. Jika pariwisata belum pulih, wisatawan takut ke Bali, tidak disebabkan oleh Bali yang tak aman, tapi karena ancaman virus. 

Namun Hidayat mengaku, jika toh dia aman di Bali, dia takut bepergian ke tempat-tempat sepi. “Aku takut ikut wisata alam, tracking, rafting, memanjat gunung, atau bersepeda di antara sawah-sawah,” tulis Hidayat kepada kawannya. “Apalagi jika dalam rombongan kami ada turis asing. Siapa tahu teroris menculik kami, seperti dilakukan gerilyawan di Filipina Selatan.”

Kecemasan Hidayat tentang turis diculik di Bali tentu berlebihan. Itu memang masa-masa sebelum wabah Covid. Kebimbangan Hidayat tentang tindakan-tin­dakan yang bisa membahayakan keselamatan turis itulah yang menye­babkan dia takut ke Bali. Apalagi ketika ia tahu orang Bali yang menyewakan mobil dan langsung menjadi sopir langganannya di Ubud, menghentikan usahanya karena wisatawan sepi. Kini ia membantu usaha istrinya membuat kue kering, diserahkan ke warung-warung. Hidayat mengaku seperti kehilangan pelindung, sehingga ia semakin takut ke Bali. “Apalagi berita pembunuhan antar-sesama orang Bali kubaca beberapa kali di koran, entah karena masalah warisan atau urusan utang piutang, ” keluh Hidayat gelisah. “Bali memang semakin keras!”

Tapi sesungguhnya, kita yang tinggal di Bali, tidak tahu persis, apakah Bali memang telah berkembang menjadi sebuah pulau yang menakutkan, mengerikan, karena kekerasan semakin kerap terjadi. Pernah terpetik berita, beberapa kali orang Bali menyampaikan kecemasan lewat radio dan surat kabar, takut lewat di Jalan Prof Dr Ida Bagus Mantra, Tohpati-Kusamba, tengah malam, misalnya, karena keamanannya rawan. Tapi sebagian besar mengaku tetap hidup damai, karena bisa hidup bahagia berdampingan dalam kegiatan upacara adat dan keagamaan.

Tahun 1970-an, belum seluruh desa di Bali dialiri listrik. Selepas petang jalan dan lorong-lorong dusun gelap gulita. Belum terlalu larut malam, orang-orang desa takut ke luar rumah. Yang mereka takutkan adalah hantu, dedemit, leak, mahluk halus, bukan pencuri, tidak garong. 7 

Aryantha Soethama
Pengarang

Komentar