nusabali

MUTIARA WEDA: Ego Pengetahuan

Yukti yuktam pragrhniyāt bālādapi vicaksanah, Raveravisayam vastu kim na dipah prakāsayet. (Subhāsita Ratna Bhāndāgarah, 153.25)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-ego-pengetahuan

Orang bijak harus belajar untuk menerima kebijaksanaan dari siapapun, meskipun dari anak kecil. Bukankah lampu malam yang kecil bisa menyinari sesuatu yang matahari sendiri tidak mampu?

EGO yang paling kuat menempel dan paling susah dihapus adalah ego pengetahuan. Melepaskan diri dari keterikatan akan pengetahuan yang melekat pada pikiran itu tampak mustahil. Keterikatan akan materi dan berbagai jenis objek keinginan lainnya jauh lebih gampang. Orang dengan kesadaran sedikit lebih tinggi mampu dengan mudah melepaskan diri dari ikatan baik harta benda, kedudukan maupun objek-objek kenikmatan lainnya. Semua itu bisa dengan mudah terlepas dan orang bisa menjadi Island (vairagi). Dia tampak tenang dan bergeming. Namun, ketika disentuh ideologi/pengetahuan yang dipegangnya, ego itu berontak dan memunculkan sifat aslinya. Tali pengikatnya sedemikian kuat bahkan orangnya sendiri sering tidak menyadari keberadaan ego itu. Dalam konteks dunia objektif, ia tampak lapang seperti hutan yang gundul tanpa satu pun pohon yang tersisa. Namun, hutan yang tampak gundul tersebut justru mengandung benih di bawahnya yang bisa tumbuh sewaktu-waktu.

Seperti itulah ego pengetahuan itu, tidak tampak di permukaan. Di permukaan tampak tenang, tidak ada arus sedikit pun, tetapi di dalamnya, arus itu siap menghanyutkan apapun. Bagaimana mengenali bahwa pengetahuan itu demikian kuat tali pengikatnya? Mari kita lihat. Teks di atas menyebut ‘orang bijak harus menerima kebijaksanaan dari siapapun’. Mengapa pernyataan ini muncul? Karena biasanya hanya orang bijak yang bisa dengan mudah belajar dari siapapun. Orang berpengetahuan biasanya telah penuh dan tidak mampu lagi menampung pengetahuan lain, apalagi dari anak kecil. Orang yang telah berisi biasanya susah mau menerima pengetahuan atau kebijaksanaan dari orang lain. Sebaliknya, mereka hanya ingin didengar. Permusuhan sebagian besar muncul karena masalah seperti ini. Mereka tidak mau mendengar kebijaksanaan atau kebenaran dari orang lain, tetapi memaksakan kebenaran dirinya agar didengar dan diterima.

Orang bijak biasanya mau mendengar. Mengapa? Karena orang bijaklah yang mengerti bahwa belajar itu adalah upaya mengosongkan diri. Semakin dia belajar, semakin kosong dia. Semakin belajar,  orang akan semakin tampak sesuatu yang belum diketahuinya. Ketika dia belajar 1, maka 10 hal yang menunggu atau belum diketahui. Ketika dia mencoba mengambil 1 dari 10 itu, muncul lagi 100 yang belum diketahui. Demikian seterusnya. Semakin orang belajar, semakin dia menyadari bahwa kehidupan ini misteri. Orang bijak yang dimaksudkan di sini adalah orang yang menyadari bahwa hanya misteri sesungguhnya yang ada di dunia ini. Makanya dia akan dengan mudah mendengar dari siapapun, termasuk dari anak kecil. Berbeda dengan orang yang sudah penuh, merasa tidak membutuhkan pelajaran apa-apa. Dia susah mendengar sesuatu yang lain dari luar, apalagi dari anak kecil.

Oleh karena sedemikian halusnya ego ini, sering kita tidak menyadarinya. Kita tidak merasa bahwa perilaku atau ekspresi diri itu sering bersumber dari ego pengetahuan. Seperti misalnya ketika ada orang ngomong kepada kita, sering kita acuh dan tidak perhatian pada apa yang dibicarakannya. Kita merasa bahwa pengetahuan orang itu lebih rendah dan tidak penting untuk didengar. Bahkan dengan rasa bangga, pikiran kita berkata: ‘baru segitu pengetahuan elo’, dan yang sejenisnya. Kita merasa bahwa pikiran seperti itu normal saja, padahal itu muncul dari ego pengetahuan. Oleh karena itu, penting rasanya teks di atas direnungkan. Ada saja ruang yang tidak bisa disinari oleh matahari, tetapi dilakukan oleh sinar yang kecil.

Orang bijak memahami, sinar yang kecil sekalipun sanggup menerangi. Pasti saja ada manfaatnya sinar kecil tersebut. Orang bijak tidak pernah silau dengan sesuatu yang besar. Dia mampu meletakkan sesuatu pada posisinya. Kebijaksanaan, sesederhana apapun akan tetap bermanfaat, dan bisa saja itu bersumber dari anak kecil. Tidak sedikit orang menyesal karena telah menyia-nyiakan sesuatu yang kecil sebelumnya. Oleh karena itu, mari kita terus kosongkan gelas kita sehingga mampu menerima kebijaksanaan dari berbagai arah. *

I Gede Suwantana

Komentar