nusabali

Desa Adat Jati Laksanakan Tradisi Ritual Nunjel Memedi

Selama 12 Hari Krama Pantang Cukur Rambut, Menginap, Menanam

  • www.nusabali.com-desa-adat-jati-laksanakan-tradisi-ritual-nunjel-memedi

GIANYAR, NusaBali
Desa Adat Jati, Desa Sebatu, Kecamatan Tegallalang, Gianyar menggelar tradisi ritual Nunjel Memedi pada Wraspati Kliwon Menail, Kamis (8/7) petang.

Serangkaian ritual Nunjel Memedi ini, krama setempat selama 12 hari pantang cukur rambut, tabu menginap, dan dilarang menanam pohon. Selama itu pula, mereka tidak boleh berobat ke dukun. Tradisi ritual Nunjel Memedi ini rutin dilaksanakan Desa Adat Jati setahun sekali pada Purwani Tilem Kasa (sehari sebelum Tilem Sasih Kasa). Sesuai namanya, Nunjel Memedi berarti membakar makhluk jahat. Secara filosofi, ini artinya membakar (memusnahkan) unsur-unsur negatif. Unsur jahat yang didimbolkan sebagai memedi ini dibuat dalam bentuk rangkaian daun awar-awar, kraras (daun pisang kering), dan daun bambu berisi tapak dara pamor (kapur sirih). Setiap rumah tangga membuat sejumlah simbol memedi, sesuai kebutuhan.

Menurut Bendesa Adat Jati, Dewa Gede Dupayasa, 49, ritual Nunjel Memedi ini identik dengan Malam Pangrupukan Nyepi, yang digelar sehari sebelum Nyepi Tahun Baru Saka, dengan pengarakan ogoh-ogoh sebagai simbol pralina bhutakala. Sehari setelah ritual Nunjel Memedi, Desa Adat Jati menjalankan prosesi Nyepi Adat bertepatan Tilem Kasa pada Sukra Umanis Menail, Jumat (9/7). Nyepi Adat ini hanya melarang krama beraktivitas di sawah atau tegalan. Sedangkan aktivitas di rumah berjalan seperti biasa.

Dewa Dupayasa menyebutkan, tradisi ritual Nunjel Memedi juga digelar di tiga desa adat lainnya kawasan Kecamatan Tegalalang, yakni Desa Adat Sebatu, Desa Adat Tegal Suci, dan Desa Adat Jasan. Namun, pelaksanaannya sedikit berbeda tiap desa Adat.

“Kalau di Desa Adat Sebatu, pelaksanaan Nyepi Adat seperti Nyepi Tahun Saka, di mana krama setempat tidak boleh keluar rumah. Kalau di Desa Adat Jati, kami nyepi dari aktivitas di sawah dan tegalan saja," ujar Dewa Dupayasa saat ditemui NusaBali di kediamannya, Jumat kemarin.

Tradisi ritual Nunjel Memedi di Desa Adat Jati ini, kata Dupayasa, memiliki rangkaian upacara selama 12 hari. Dimulai dari upacara nyacahin di Pura Subak yang dilaksanakan pada Soma Pahing Menail, Senin (5/7), atau 3 hari sebelum ritual Nunjel Memedi. Selama 12 hari sejak upacara nyacahin, ada banyak pantangan yang harus ditaati krama Desa Adat Jati. Pantangan tersebut disebut Ngekes Brata (pengendalian diri): tidak boleh mencukur kumis, pantang mencukur rambut, dilarang memotong kuku, tabu menginap, dan tidak boleh melakukan segala aktivitas menanam.

Menurut Dupayasa, krama Desa Adat Jati tidak berani melanggar segala pantangan tersebut. Bahkan, selama 12 hari berlakunya pantangan tersebut, krama setempat juga tidak dibolehkan berobat ke dukun jika mengalami sakit non medis. "Kalau ada yang sakit non medis, sebaiknya nunas tamba di Pura Bale Agung. Karena sudah banyak yang membuktikan, sakitnya justru tidak akan sembuh-sembuh jika dibawa berobat ke dukun," terang Dupayasa.

Dupayasa sendiri pernah membuktikan hal ini. Suatu ketika, salah satu anaknya sakit dan dibawa ke dokter, namun tidak sembuh. Setelah tiba di Pura Bale Agung untuk nunas tamba, anaknya lanbgsung muncul selera makan. Pengalaman buruk lainnya dialami salah seorang krama setempat. Yang bersangkutan langgar pantangan dengan menginap di luar rumah selama 12 hari rangkaian tradisi ritual Nunjel Memedi. Apa yang terjadi? “Saat pulang usai menginap, dia mengalami kecelakaan,” kenang Dupayasa.

Dupayasa mengatakan, setiap rumah tangga di Desa Adat Jati membuat sejumlah memedi untujk dibiakar, sesuai kebutuhan. "Tergantung sikut rumah dan berapa banyaknya mebanten di sanggah merajan masing-masing. Kalau di rumah saya sikut satak, kami membuat 20 memedi," jelas tokoh adat yang pemilik homestay di ini.

Memedi yang dibuat masing-masing rumah tangga, kata Dupayasa, lebih dulu diupacarai. Usai diupacarai, kemudian diambil dan dijemur. Selanjutnya, saat sandikala (menjelang malam), tumpukan memedi ini dibawa ke depan rumah untuk dibakar. "Bukan hanya memedi, lungsuran canang sejak mulai upacara nyacahin juga dikumpulkan menjadi satu, kemudian dibakar sampai habis," katanya.

Proses pembakaran ini, kata Dupayasa, diharapkan dapat membakar unsur negatif dalam lingkungan desa adat, khususnya di keluarga masing-masing. "Kalau dibakarnya tidak habis, diyakini memedi akan mengganggu rumah tangga," papar Dupayasa.

Sementara, setelah ritual Nunjel Memedi, krama setempat masih taat menjalankan Ngekes Brata. "Berselang dua hari kemudian, barulah ngembak, di mana krama nunas tirta ke Pura Desa untuk dipercikkan di pekarangan rumah dan sawah masing-masing. Setelah itu, barulah boleh dimulai aktivitas seperti biasa, termasuk bebas mencukur rambut, menanam, dan menginap," terang bendesa yang memimpin 125 kepala keluarga (KK) krama adat ini.

Menurut Dupayasa, tradisi ritual Nunjel Memedi ini sudah diwarisi secara turun temurun dan pantang ditiadakan. Sebagai generasi penerus, Dupayasa tetap berkomitmen untuk melestarikan tradisi ini.

Disebutkan, banten nyacahin serangkaian ritual Nunjel Memedi ini cukup unik. Selain berupa rangkaian buah, jajan, dan bunga, banten ini juga berisi hiasan berupa be urutan dan sate babi. "Kalau Galungan mepatung cukup Rp 200.000, tapi saat tradisi Nunjel Memedi ini mepatungnya dua kali lipat,” katanya. 7 *nvi

Komentar