nusabali

Berawal Pawisik, Maha Guru Aiteria Narayana Wujudkan Pura Windhu Segara Padanggalak

  • www.nusabali.com-berawal-pawisik-maha-guru-aiteria-narayana-wujudkan-pura-windhu-segara-padanggalak

DENPASAR, NusaBali.com –  Pura Campuhan Windu Segara berdiri megah di Pantai Padanggalak. Para pamedek maupun umat lainnya silih berganti berdatangan dan menjadikan pura ini sebagai tempat malukat atau pembersihan diri.

Berdirinya pura yang berada di wilayah Desa Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur ini berawal kisah spiritual di tahun 2002. Cerita ini dialami langsung oleh Maha Guru Aiteria Narayana, sosok di balik berdirinya Pura Campuhan Widhu Segara yang mulai dibangun pada 7 Juli 2005.

Maha Guru Aiteria Narayana, 65,  yang dulunya bernama I Gede Alit Adnyana mengisahkan perjalanan spiritual yang dialami langsung hampir 20 tahun silam.  

“Di tahun 2002 saya dinyatakan memiliki penyakit ginjal, lalu karena sudah pasrah saya menuju Pantai Padanggalak untuk berjemur dan menanam diri (dalam pasir) sebagai terapi penyembuhan,” kisah  Maha Guru Aiteria Narayana kepada NusaBali.com, Rabu (23/6/2021).

Pada suatu ketika, sosok asal  Banjar Batan Buah, Kesiman, Denpasar Timur ini merasa kelelahan, dan kemudian memilih berteduh  pada sebuah pohon di sekitar pantai. “Saat tertidur, saya mendapatkan pawisik untuk merawat sebuah pura. Di situ saya bingung, karena secara fisik pura itu sesungguhnya tidak ada,” kenang Maha Guru.

Namun karena pawisik itu diyakininya sebagai perintah Tuhan, maka dia pun bersedia menjalankan dan membangun sebuah pura.  Caranya saat itu terbilang unik, yakni,  hanya menggunakan kayu-kayu yang terdampar di sekitar pantai.

Kayu-kayu ini djadikan turus lumbung atau sanggah yang bersifat sementara. Ajaibnya, setelah melaksanakan pawisik, tubuh Maha Guru saat itu malah baik-baik saja. Bahkan dia terlepas dari penyakit ginjal yang membuat kakinya sempat mengalami bengkak-bengkak.

Setelah pembangunan fisik pura dimulai pada tahun 2005, barulah pada 9 September 2016 pura ini diresmikan oleh Gubernur Bali pada saat itu, Made Mangku Pastika, dan diketahui juga oleh Ida Dalem Semaraputra sebagai perwakilan dari Puri Klungkung.

 
Seiring berjalannya waktu, masyarakat dari berbagai daerah di Bali mendukung adanya Pura Campuhan Windhu Segara ini, dan para pamangku pun berdatangan dari berbagai kabupaten di Bali. “Kurang lebih ada 25 orang pamangku di sini yang berasal dari berbagai kabupaten di Bali, para pamangku sama sekali tidak bayar, itu atas kehendaknya sendiri, para pamangku datang dengan rasa tulus ingin mengabdikan diri di pura ini,” ujar Maha Guru.

Maha Guru pun menegaskan dirinya mengabdikan diri sepenuhnya di Pura Campuhan Windhu Segara, terbukti selama 15 tahun terakhir berada di pura tanpa sehari pun pulang ke rumah asalnya. “Saya 15 tahun sudah mengabdikan diri di pura ini, saya sepenuhnya berserah diri kepada Tuhan, karena saya yakin bahwa di sinilah tempat saya untuk melanjutkan bakti saya kepada Tuhan,” ucapnya.

Bulan depan, 7 Juli 2021, tepat 16 tahun pengabdian Maha Guru di pura ini. Bukan waktu yang singkat, karena banyak hal yang sudah dilaluinya hingga pura bisa menjadi seperti saat ini.

Pura Campuhan Windhu Segara pun kini terkenal dengan tempat untuk melaksanakan kegiatan malukat, masyarakat hanya perlu hadir dengan rasa tulus ikhlas untuk melakukan kegiatan malukat tersebut. “Sarana yang selayaknya dibawa untuk kegiatan malukat yakni canang, bungkak (kelapa gading) dan pejati, tapi kalau membawa canang saja tidak apa-apa, karena rasa tulus ikhlas itu yang utama, setelah itu akan diarahkan oleh para pamangku ke titik-titik tempat malukat dan terakhir melakukan persembahyangan,” ujar Maha Guru.

Saat ini Pura Campuhan Windhu Segara sedang membuat candi bentar yang menelan biaya Rp 650 juta. “Saya tidak menyangka pura ini bisa membangun candi bentar yang menghabiskan biaya Rp 650 juta. Pura ini sejatinya milik semua umat yang ada di dunia, tidak harus umat Hindu saja, umat lain pun dipersilakan datang untuk malukat, dan dana pembangunan candi bentar tersebut berasal dari bantuan Provinsi Bali, BPD, dan sisanya adalah dana punia yang telah terkumpul,” ujar Maha Guru.

Maha Guru pun mendedikasikan hidupnya untuk melayani para pengunjung yang akan melakukan kegiatan spiritual ke pura. “Tugas saya kini hanya melayani saja, siapa pun yang datang sama saja, saya tidak membeda-bedakan para pengunjung, semua pengunjung saya berikan layanan yang terbaik, karena saat ini sudah tidak ada tujuan lain lagi, tujuan saya hanya satu melayani pengunjung, dan mengabdikan diri kepada Tuhan melalui pura ini,” ujar Maha Guru.

Maha Guru pun menyatakan bahwa pada saat mengabdikan dirinya selama 15 tahun pada awalnya para keluarga, istri, dan anak-anaknya sulit mendukung hal tersebut, namun seiring berjalannya waktu, keluarganya pun menerima apa yang telah menjadi tekad Maha Guru hingga saat ini mengabdikan diri sepenuhnya di Pura Campuhan Windhu Segara.

“Pada tahun 2010 istri saya perlahan-lahan menerima tekad saya yang telah mengabdikan diri di pura ini. Istri dan anak saya pun secara perlahan hadir ke pura untuk sekadar melihat kondisi saya,” ungkapnya.

Maha Guru pun berharap nantinya anak-anaknya dapat meneruskan hal yang telah ia jalankan hingga saat ini dengan mengabdi di Pura Campuhan Windhu Segara, dan meneruskan apa yang telah dicapai hingga saat ini demi menjaga keutuhan dari Pura Campuhan Windhu Segara. “Anak-anak saya harus bisa menjadi seorang yang lebih hebat dari saya, karena tanggung jawab yang saya emban disini sangat berat, anak-anak saya nantinya harus mampu mengemban tugas itu,” tutup bapak dua anak ini. *rma

Komentar