nusabali

MUTIARA WEDA: Saat Sang Murid Pergi

Iti srutvā gurorvākyam prasrayena krtānatih, sa tena samanujñātah yayau nirmuktabandhanah. (Vivekacudamani, 577)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-saat-sang-murid-pergi

Seizin guru, murid pergi setelah mendengarkan kata-katanya dan bersujud penuh kasih dan hormat.

SAAT pelajaran telah selesai, murid diizinkan pergi oleh gurunya. Mengapa diizinkan? Karena sudah tidak ada lagi yang perlu disampaikannya. Semua pelajaran telah menjadi milik si murid. Guru melihat bahwa sang murid telah mencapai titik kulminasi dari pelajarannya. Murid telah mencapai. Ke mana murid pergi? Apa yang harus dikerjakannya? Dia pergi dan melanjutkan kehidupan sesuai dengan prarabdha-nya. Ke mana pun anak panah prarabdha mengarahkan dirinya, maka dia akan melangkah ke sana. Apapun situasi yang akan ditemuinya, dia akan menerima apa adanya. Seorang jivanmukta adalah seseorang yang telah bebas, tetapi oleh karena masih memiliki badan, maka dia harus tetap di jalur prarabdha-nya itu. Anak panah telah dilepaskan dan dia harus mengenai sasarannya.

Si murid yang telah meninggalkan gurunya akan melakukan apapun sesuai dengan prarabdha-nya, meskipun dirinya sama sekali sudah tidak memerlukannya. Jika dia harus melanjutkan misi gurunya, maka dia akan mengerjakannya. Jika dia harus mengajar, maka hidupnya didedikasikan untuk itu. Jika prarabdha memintanya untuk menjadi guru, maka dia akan berada di tengah-tengah murid. Demikian juga, jika anak panah prarabdha mengantarnya untuk solitude, hidup sendiri, dia juga melakukannya dengan hati yang penuh anandam. Sedikit pun kebahagiaannya itu tidak dipengaruhi oleh circumstances dimana dia ada. Dia selamanya bebas walau dengan menjalankan tugas atau tanpa tugas. Semua tindakannya hanyalah permainan prarabdha semata. Tindakan tidak akan mempengaruhi dirinya.

Kemudian bagaimana dengan sang guru yang ditinggalkan oleh muridnya? Apakah dia bersedih? Apakah menangis? Bagi seorang guru yang telah merealisasikan Sang Diri tidak akan pernah bersedih. Ada atau tidak yang datang tidak membuat dirinya pasang surut. Ada atau tidak ada murid baginya sama saja. Perannya sebagai guru hanyalah anak panah prarabdha saja. Peran itu hanya ada dalam mimpi baginya. Sang guru senantiasa dipenuhi oleh lautan Ananda. Jadi baik sang master maupun sang murid (yang telah diizinkan untuk pergi) telah berada pada state yang sama. Mereka sama-sama berada di dalam diri sepenuhnya. Mereka sama-sama merasakan Ananda yang sama. Mereka sama-sama melanjutkan anak panah prarabdha yang ditimpakan bagi dirinya.

Mengapa penting lagi sang murid bersembah sujud dengan penuh hormat kepada guru, padahal levelnya sudah sama? Ini hanya masalah peran dalam kehidupan. Dalam peran etika moral kehidupan empiris, peran itu harus dimainkan. Jika dia seorang murid, maka dia harus memerankan sebagai seorang murid, sehingga sujud menjadi bagiannya. Jika dia seorang guru, maka dia harus memerankan sebagai guru dan memberikan blessing adalah bagiannya. Dengan menjalani masing-masing peran itu dengan baik, tatanan kehidupan empiris ini bisa berjalan dengan baik. Ini adalah teladan dalam kehidupan yang harus terus-menerus dilaksanakan jika peradaban ingin tetap dipertahankan.

Apakah sang guru dan sang murid tersebut masih berada dalam ikatan karma? Kedua dari mereka sebenarnya tidak lagi terikat oleh karma apapun. Jika kemudian mereka harus bertemu dan membangun sebuah misi bersama, kalau pun itu masih disebut karma, maka itu hanya semata-mata prarabdha yang mempertemukannya demikian. Anak panah masing-masing yang dilepaskan saat kehidupan sepertinya sejalan. Hubungan mereka tidak bisa diidentikkan dengan karma secara substansi. Dia hanya melanjutkan apa yang telah digariskan oleh prarabdha. Jika itu dikatakan sebagai karma, dipastikan mereka belum mencapai jiwanmukta. Dengan cara yang sama, jika praradbha tidak mempertemukannya, maka dia tidak akan bertemu lagi, dan memang, secara esensi mereka tidak perlu bertemu kembali.

Kedua dari mereka telah terbebas sepenuhnya. Demikianlah seorang jivanmukta, setiap tindakannya tidak lagi mengikat, ibarat berjalan di atas pasir pantai. Jejak-jejaknya segera disapu oleh air kehidupan. Bahkan dalam perjalanan sejarah, jejak-jejak tak berbekas tersebut selalu menjadi inspirasi bagi ribuan manusia lainnya yang juga sedang berada dalam jalur pencarian. *

I Gede Suwantana

Komentar