nusabali

LSM Kompak Desak Biaya Visum Korban Pelecehan Seksual Ditiadakan

  • www.nusabali.com-lsm-kompak-desak-biaya-visum-korban-pelecehan-seksual-ditiadakan

SINGARAJA, NusaBali
Lembaga Swadaya Masyarakat Komunitas Masyarakat Untuk Penegakan Hukum dan Keadilan (LSM-Kompak) Kabupaten Buleleng, mendatangi DPRD Buleleng, Kamis (10/6) pagi kemarin.

Mereka meminta dukungan kepada dewan untuk ikut mendorong pemerintah menggratiskan biaya visum pada kasus kekerasan dan pelecehan seksual.

Ketua Kompak I Nyoman Angga Saputra Tusan bersama sejumlah anggotanya diterima langsung Ketua Komisi IV DPRD Buleleng Luh Hesti Ranitasari, di ruang Komisi IV DPRD Buleleng. Dalam audiensi itu Angga Saputra mengharapkan Pasal 11 angka (3) pada Perda No. 5 Tahun 2019 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak, dapat direalisasikan. Menurutnya hal tersebut paling krusial untuk penuntasan kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada anak dan perempuan yang saat ini sedang marak terjadi di Buleleng. “Sejauh ini dari sejumlah kasus tidak terselesaikan karena terhambat biaya visum yang tidak murah harus ditanggung oleh korbannya. Padahal dalam Perda PPA tahun 2019 dinyatakan biaya vaksin gratis ditanggung dari pemerintah. Tetapi kenyataannya di lapangan biaya visum tetap dibebankan kepada korban,” kata Angga Saputra.

Dia pun datang untuk meminta sinergi dengan DPRD Buleleng ikut memperjuangkan hal tersebut. Sehingga penyelesaian hukum kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual ini bisa dituntaskan dan korban mendapat keadilan hukum.

Ketua Komisi IV DPRD Buleleng Luh Hesty Ranitasari mengatakan aspirasi dari LSM Kompak akan ditindaklanjuti dengan berkoordinasi kembali dengan pemerintah. Dia menjelaskan ketentuan biaya visum yang digratiskan dalam Perda belum dapat terealisasi karena aturan turunanya berbentuk Peraturan Bupati (Perbup) belum ada.

“Anggarannya sudah ada, tetapi dalam anggaran tersebut belum bisa dipakai untuk pembiayaan visum karena harus ada turunan dari perda tersebut berupa Peraturan Bupati dan nanti kami di komisi IV akan terus mendorong hal tersebut agar bisa segera digunakan untuk korban kekerasan seksual atau KDRT,” ujarnya.

Sementara itu masalah yang sama juga sempat dibahas oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Buleleng saat menyusun ranperda yang akan dibahas dalam masa sidang ketiga Rabu (9/6) lalu. Ketua Bapempeda DPRD Buleleng I Nyoman Gede Wandira Adi didampingi anggotanya Ni Kadek Turkini yang kebetulan menjadi Panitia Khusus (Pansus) Penyusunan Perda PPA, mengaku kecewa dengan eksekutif.

Perda PPA yang disahkan tahun 2019 hingga saat ini belum ada turunan berupa Perbup karena masih dalam tahap pembahasan. “Kalau dilihat dari lahirnya perda itu tahun 2019 dan sampai sekarang tahun 2021 jelas sangat terlambat. Padahal ini tidak hanya untuk melengkapi perundang-undangan tetapi ada misi kemanusian di dalamnya,” ucap Turkini yang juga Kader PDI Perjuangan asal Desa Kalibukbuk, Kecamatan/Kabupaten uleleng ini.

Dia pun sudah meminta kepada eksekutif khususnya Bagian Hukum Setda Buleleng segera merampungkan persoalan tersebut. Sehingga korban-korban yang berasal dari keluarga miskin bisa terbantu untuk mendapatkan keadilan hukum.

“Banyak yang tidak jalan penyelesaian hukumnya, karena tidak ada visum sebagai barang bukti. Bagaimana mereka bisa visum, makan saja susah dan memang kebanyakan korban-korban pelecehan seksual biasanya dari keluarga yang tidak mampu. Ini harus menjadi perhatian bersama, untuk ditindaklanjuti bersama,” tegasnya. *k23

Komentar