nusabali

MUTIARA WEDA: Rasa Puas dan Meditasi

Yatra yatra manas tustir manas tatraiva dhārayet, Tatra tatra parānandasvarupam sampravartate. (Vijñānabhairava, 74)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-rasa-puas-dan-meditasi

Kapan pun pikiran merasa puas (tanpa agitasi), berkonsentrasilah pada itu. Dalam banyak kasus, sifat alami dari kebahagiaan tertinggi akan memanifestasikan dirinya sendiri.

BEBERAPA pandangan menyatakan bahwa kenikmatan dan kepuasan adalah halangan dalam pendakian spiritual, sehingga perlu dihindari. Orang diajarkan supaya tidak terikat dengan apapun baik objek kenikmatan yang ada di dunia ini maupun objek kenikmatan yang ada di dunia sana. Objek di dunia sini, yakni benda-benda duniawi seperti rumah mewah, uang, mobil mewah, dan yang lainnya. Objek di dunia sana, yakni sorga beserta dengan berbagai kenikmatan yang disajikan seperti bidadari, makanan enak yang tak pernah habis, dan lain-lain. Dikatakan bahwa, sepanjang orang masih terikat dengan objek indriya, maka sepanjang itu orang akan teridentifikasi dengan objek-objek itu sehingga lupa akan diri sejatinya.  

Namun, hal menarik dalam konteks teks di atas adalah tidak semua rasa nikmat itu membuat keterikatan dan identitas palsu. Rasa nikmat yang dirasakan hanyalah sebuah konsekuensi dari persentuhan antara indriya dengan objek-objeknya yang sesuai. Rasa nikmat tidak bisa ditolak. Bagaimana bisa menolak rasa nikmat yang disajikan oleh keindahan alam ketika kita memandangnya? Bagaimana rasa nikmat bisa ditolak ketika hidup memberikan semua hal yang dibutuhkan? Rasa itu ada bersama tubuh dan rasa itu juga bisa dirasakan olehnya. Ia eksis demikian adanya, sehingga nilai yang disematkan padanya tidak pernah relevan.

Oleh karena rasa nikmat itu ada sebagai bagian hidup dan tidak bisa dihindari, tentu secara spesifik memiliki fungsi. Teks di atas melihat dari sisi ini, sehingga tidak sepenuhnya menghalangi pendakian spiritual seseorang, bahkan sebaliknya rasa nikmat itu sendiri bisa dijadikan sebagai media pendakian spiritual. Teks di atas menyatakan: ‘saat rasa puas itu datang’, artinya rasa puas yang disebabkan oleh apapun, kita bisa bermeditasi pada rasa itu. Kita bisa memasuki setiap struktur dari rasa puas itu, sehingga nantinya sifat asli dari kebahagiaan tertinggi (ananda) akan memanifestasi. Melalui rasa puas itu, capaian akhir dari sadhana spiritual yang dilakukan bisa dicapai.

Ini tentu sesuatu yang luar biasa. Bagaimana barang yang awalnya dianggap sampah bisa berbalik menjadi emas yang menghadirkan kemegahan. Namun, teks di atas juga memberikan syarat mengenai rasa nikmat yang seperti apa yang bisa dimasuki strukturnya melalui meditasi. Artinya, sebelum rasa nikmat yang dirasakan memenuhi persyaratan tersebut, strukturnya tidak bisa dimasuki dan kebahagiaan tertinggi itu tidak akan memanifestasi. Pertama, tusti, yakni rasa puas yang dirasakan itu sangat dalam. Tusti atau rasa puas di sini dirasakan sangat dalam sehingga para sadhaka melupakan segala sesuatu yang bersifat eksternal dan kemudian tidak ada lagi vikalpa (thought construct). Kedua, ksobha, yakni tidak ada agitasi atau gangguan sedikit pun di dalam pikiran.

Mengapa dengan bermeditasi pada rasa nikmat itu kebahagiaan tertinggi memanifestasi? Apa logika di baliknya? Secara prinsip, sebagaimana yang dinyatakan oleh teks suci, bahwa Diri sejati adalah sat (keberadaan) cit (kesadaran) ananda (kebahagiaan). Sifat aslinya memang demikian. Namun, ketika kesadaran terbelenggu kebodohan di dalam pikiran, sang diri itu menjadi lupa akan hakikat sejatinya sehingga pikiran terus-menerus mencarinya di dalam objek-objek yang ditemuinya. Ketika pikiran, melalui indriya bersentuhan dengan objek yang diinginkannya, maka muncul rasa nikmat. Namun, oleh karena rasa nikmat itu diinduksi dari sentuhan benda-benda duniawi, rasa itu pun bersifat sementara, sehingga pikiran secara terus-menerus berupaya mencarinya.

Pikiran akan merasa nyaman ketika berada dalam rasa puas itu. Mengapa? Karena pikiran merasa itu adalah sifat aslinya yang hilang. Rasa puas itu secara prinsip equal dengan kebahagiaan tertinggi itu, karena bisa dirasakan oleh kesadaran pikiran yang terbatas. Dengan berkontemplasi terhadap rasa puas itu, kebahagiaan tertinggi kemungkinan besar memanifes dari sana. Ketika kebahagiaan itu memanifes, maka yang mampu merasakan itu adalah kesadaran murni itu sendiri. Sehingga, orang akan secara otomatis menyadari Diri sejatinya kembali. Dia dikatakan telah mengalami Realisasi Diri. *

I Gede Suwantana

Komentar