nusabali

Melakoni Titah, Mensyukuri Berkah

Krama Desa Adat Apityeh Gelar Perang Ketupat

  • www.nusabali.com-melakoni-titah-mensyukuri-berkah

AMLAPURA, NusaBali
Beberapa desa di Bali terdapat tradisi ritual Siat Tipat atau perang ketupat atau sebutan lain.

Tradisi ini di antara lain terdapat di Banjar Adat Tengah, Desa Adat Apityeh, Desa/Kecamatan Manggis, Karangasem, Redite Kliwon Pujut, Minggu (9/5), pukul 15.00 Wita. Tradisi inidiberi nama Masantalan dengan fungsi dan makna initi, mensyukuri anugerah Ida Sanghyang Widhi Wasa oleh krama.

Masantalan dilakukan dua kelompok pemuda berlawanan arah. Tradisi ini digelar serangkaian Usaba Carik di desa setempat. Oleh krama setempat, Masantalan merupakan ciri khas  ekspresi petani usai panen di sawah.

Perang dengan sarana Ketupat digelar di tikungan Banjar Adat Tengah. Kua kelompok pemuda yang melaksanakan perang hanya dibatasi tali plastik. Keduanya berjarak sekitar 6 meter dari garis tali. Mereka dijaga 8 pecalang, dikoordinasikan Ketua Pecalang I Nengah Kuta. Sedangkan rangkaian seluruh acara dipimpin Bendesa Adat Apityeh I Wayan Candra.

Sebelum puncak Perang Ketupat, menurut Koordinator Pecalang I Nengah Kuta, rangkaian mulai pagi, diawali warga Desa Adat Apityeh mengelilingkan seekor Godel (anak sapi) di wilayah desa. Selanjutnya Godel disembelih. Dagingnya dibagikan kepada warga dari empat banjar adat yakni Apityeh Kaja, Apityeh Kangin, Kawan, dan Kelodan.

Selanjutnya prajuru desa membunyikan kentongan, penanda mengolah daging Godel di tiap rumah bisa dimulai. Berlanjut menggelar Banten Pacaruan pukul 13.00 Wita di Pura Puseh dipuput Jro Mangku Nyoman Sudiarta, Pacaruan di Pura Taman Beji dipuput Jro Mangku Nengah Sarjana, di Pura Bale Agung dipuput Jro Mangku Puja. Terakhir upacara Pacaruan di Pura Dalem dipuput Jro Mangku Diarti.

Jelas dia, Perang Ketupat digelar setelah Usaba Dalem  di Pura Dalem, pada Redite Paing Dungulan, Tilem Kadasa (Minggu, 11 April 2021), menyusul Usaba Carik atau Usaba Biu Kukung  di Pura Taman Beji pada Saniscara Paing Langkir, Sabtu (1/5). Selanjutnya menggelar upacara Perang Ketupat. ‘’Tradisi ini  dilangsungkan setiap tahun sekali,’’ ujarnya.

Untuk melaksanakan tradisi ini, setiap krama yang hadir mengenakan pakaian adat. Mereka wajib membawa satu kelan Ketupat (isinya 6 butir) untuk senjata perang. Setelah Koordinator Pecalang I Nengah Kuta memberikan aba-aba dengan bunyi peluit, perang dimulai. Krama pun saling lempar menggunakan Ketupat hingga Ketupat hancur. Kedua kelompok pemuda melakukan Perang Ketupat dengan saling melempari Ketupat, dan rata-rata setiap serangan mengenai sasaran krama. Namun hal itu dilakukan dalam suasana suka cita.

Perang ini berlangsung sekitar 10 menit. "Ini upacara Masantalan atau perang ketupat sebagai rasa syukur, usai panen raya," jelas I Nengah Kuta. Karena masih suasana pandemi, peserta perang tahun ini dibatasi agar tidak terjadi kerumunan warga.

Disebutkan, sesuai keyakinan warga setempat, Perang Ketupat muncul berawal dari kisah perjalanan putri raja Ida Bhatara Dalem, Desa Selumbung, Kecamatan Manggis yang disunting Ida Bhatara Dalem Desa Apityeh.

Selama sang putri tinggal di Istana Raja Dalem Desa Apityeh, ternyata tidak betah. Maka, sang putri mengadu ke ayahnya di Desa Selumbung. Ayahnya membekali sang putri satu kelan (6 butir ketupat). Sekembalinya sang putri dari Desa Selumbung, ketupat dibagikan kepada warga yang ditemui di jalan. Sejak itu lah, Sang Putri bersama warga tidak pernah kekurangan sandang dan pangan. Berkah itu diwariskan kepada warga Desa Adat Apityeh, sebagai pangempon Pura Dalem mewilayahi empat banjar. Berkah diperingati dalam bentuk Perang Ketupat.

Kini Perang Ketupat juga dimaknai sebagai ekspresi berkah kemakmuran yang didapatkan selama ini. Sari-sari berkah dihaturkan kembali berbentuk yadnya. Dengan harapan di kemudian hari kembali diberkati siklus kemakmuran secara terus-menerus. *k16

Komentar