nusabali

Komisi II DPR RI Siap Kawal RUU Provinsi Bali

Sebut UU Nomor 64 Tahun 1958 Langgar Hukum Administrasi Negara

  • www.nusabali.com-komisi-ii-dpr-ri-siap-kawal-ruu-provinsi-bali

DENPASAR, NusaBali
Komisi II DPR RI siap kawal perjuangan RUU Provinsi Bali, yang merupakan revisi UU Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daetrah Tingkat I Bali-NTB-NTT.

Bagi Komisi II DPR RI (yang membidangi pemerintahan daerah), UU Nomor 64 Tahun 1958 memang wajib direvisi, karena sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, selain juga melanggar sistem ketatanegaraan dan hukum administrasi negara.

Hal ini disampikan Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia Tanjung, di sela-sela acara pembukaan Rapat Pimpinan daerah (Rapimda) Golkar Bali di Hotel Inna Grand Bali Beach Sanur, Kecamatan Denpasar Selatan, Sabtu (10/4) sore. Politisi Golkar ini menegaskan, UU Nomor 64 Tahun 1958 harus direvisi, karena mengatur 3 provinsi sekaligus, yakni Bali, NTB, dan NTT.

"Harusnya, satu daerah satu Undang-undang. Ini (masih berlakukan UU 64/1958, Red) sudah melanggar hukum administrasi negara," tandas Doli Kurnia yang juga menjabat Wakil Ketua Pemenangan Pemilu DPP Golkar.

Doli Kurnia menyebutkan, UU Nomor 64 Tahun 1958 yang masih berlaku saat ini dibentuk saat negara berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Dalam sistem ketatanegaraan, Bali dengan UU Nomor 64 Tahun 1958 menjadi sangat riskan ke depannya. "Ini justru sangat bahaya bagi sistem ketatanegaraan kita. Karena ada 11 provinsi dan 19 kabupaten/kota juga kayak begini," katanya.

Karena itu, begitu Pemprov Bali di bawah kepemimpinan Gubernu Wayan Koster berinisiastif mengajukan RUU Provinsi Bali, banyak daerah lain yang ikut mengajukan hal serupa. Masalahnya, karena memang sudah tidak relevan dengan Undang-undang lama. "Kita sudah siapkan pembahasannya di DPR RI. Hanya saja, dalam UU Provinsi Bali nanti, tidak ada menonjolkan kekhususan," tandas anggota Fraksi Golkar DPR RI Dapil Sumatra Utara ini.

Kekhususan yang dimaksud Doli Kurnia adalah Bali sebagai daerah pariwisata dalam RUU Provinsi Bali yang telah diajukan harus menonjolkan kekhasan atau keunikannya, bukan kekhususan. “Intinya, RUU Provinsi Bali adalah perubahan dari RIS ke UUD 1945" katanya.

Menurut Doli Kurnia, sebuah UU harus memberikan manfaat bagi rakyat. Misalnya, Bali dengan pariwisata dan keunikan yang dimilikinya, harus mendapatkan kontribusi yang layak, kesejahteraan rakyatnya juga benar-benar terwujud. Apalagi, Bali juga mengusulkan revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. "Bali dengan pariwisata dan keunikannya, harus sejahtera.”

Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Bali dari Fraksi Golkar, Nyoman Sugawa Korry, mengatakan lembaga Dewan mendukung penuh RUU Provinsi Bali. Diharapkan, RUU Provinsi Bali ini bisa beriringan dengan rencana revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang sudah masuk Prolegnas 2021.

"Dengan pengawalan dari Komisi II DPR RI, kita optimis perjuangan RUU Provinsi Bali dan revisi UU Nomor 33 Tahun 2004 bisa terakomodir di pusat,” jelas Sugawa Korry di Denpasar, Minggu (11/4). "Kami Pimpinan DPRD Bali ikut dalam pengajuan ke pusat. Jadi, kami mendukung penuh dan kawal prosesnya di Senayan," lanjut politisi senior asal Desa Banyuatis, Kecamatan Banjar, Buleleng yang juga Ketua DPD I Golkar Bali ini.

Gubernur Bali Wayan Koster sendiri, sebagaimana diberitakan, terus menggedor Senayan untuk perjuangkan RUU Provinsi Bali agar secepatnya dibahas DPR RI. Gubernur Koster, antara lain, mempresentasikan materi RUU Provinsi Bali di Ruang Baleg DPR RI, Gedung Nusantara I Senayan, Jakarta, 7 Februari 2020 lalu. Komisi II DPR RI pun janjikan proses cepat untuk pembahasan RUU Provinsi Bali, dengan memasukkannya dalam daftar Komulatif Terbuka.

Gubernur Koster menerangkan RUU Provinsi Bali diajukan dengan alasan sebuah ketatanegaraan yang mengikuti konstitusi. Pasalnya, Provinsi Bali saat ini masih menggunakan UU Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, NTB, dan NTT, yang mengacu UUD Sementara Tahun 1950 ketika negara masih berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).

"Sementara saat ini kita sudah dalam bentuk NKRI, dengan UUD 1945. Jadi, dari sisi hukum ketatanegaraan, kita posisinya seperti negara bagian kalau mengacu UUD Sementara Tahun 1950 dengan negara berbentuk RIS,” tegas Gubernur yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.

“Selain itu, tidak ada lagi substansi dari UUD Sementara Tahun 1950 yang dipakai acuan bagi Bali dalam menjalankan pemerintahan saat ini," lanjut Koster yang saat itu didampingi langsung Ketua DPRD Bali Nyoman Adi Wiryatama (Fraksi PDIP), Wakil Ketua DPRD Bali Nyoman Sugawa Korry (Fraksi Golkar), Wakil Ketua DPRD Bali Tjokorda Asmara Putra Sukawati (Fraksi Demokrat), Wakil DPRD Bali I Nyoman Suyasa (Fraksi Gerindra), Bendesa Agung Majelis Desa Adat Provinsi Bali Ida Panglingsir Agung Putra Sukahet, dan Ketua PHDI Bali I Gusti Ngurah Sudiana, selain anggota DPD RI Dapil Bali AA Gde Agung.

Karena itu, kata Koster, Provinsi Bali memerlukan regulasi yang berada dalam bingkai Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. "Maka, konstitusinya harus jelas," jelas Gubernur asal Desa Sembiran, Kecamatan Tejakula, Buleleng yang juga Ketua DPD PDIP Bali ini.

Disebutkan, Bali memerlukan manajemen pengelolaan satu pulau, satu pola, dan satu tata kelola dengan kearifan lokalnya dalam wadah NKRI berdasarkan Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 1945. Pengajuan RUU Provinsi Bali ini bukan untuk Otonomi Khusus (Otsus), melainkan terkait dengan pengelolaan alam dan manusia Bali.

“Jadi, kami tidak minta apa-apa. Kami ajukan RUU Provinsi Bali tidak dalam rangka meminta porsi anggaran. Kami tidak mau membebani APBN. Namun, kami berharap Bali diberikan mengelola bantuan pusat secara maksimal dalam bentuk dana alokasi khusus (DAK) dan dana alokasi umum (DAU) seperti yang sudah berjalan selama ini," katanya. *nat

Komentar