nusabali

Mengintip Peluang Mengatasi Kemiskinan di Masa Pandemi

  • www.nusabali.com-mengintip-peluang-mengatasi-kemiskinan-di-masa-pandemi

Salah satu target prioritas yang ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) adalah untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Meskipun demikian, target ini mungkin saja cukup berat dicapai di tengah situasi pandemi Covid-19.

Statistisi di BPS Provinsi Bali

Pada bulan September 2020, BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,55 juta orang atau sebesar 10,19 persen. Jumlah penduduk miskin meningkat 1,13 juta orang dibandingkan Maret 2020, sedangkan jika dibandingkan dengan September 2019 meningkat sebanyak 2,76 juta orang.

Indikator ketimpangan lainnya dapat dilihat juga melalui gini ratio dan kelompok distribusi pengeluaran. Gini ratio september 2020 sebesar 0,385 menandakan bahwa ketimpangan yang terjadi di Indonesia cukup rendah. Gini ratio tertinggi tercatat di Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu sebesar 0,437 persen dan yang terendah di Kepulauan Bangka Belitung dengan nilai sebesar 0,257 persen.

Sementara itu, distribusi pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah juga digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan. Persentase pengeluaran pada kelompok 40 persen terbawah sebesar 17,93 persen yang berarti termasuk dalam kategori ketimpangan rendah. Kedua indikator ini menunjukkan secara umum walaupun terpuruk akibat pandemi, tingkat ketimpangan di Indonesia cenderung rendah. Dengan kata lain optimisme untuk keluar dari jebakan jurang kemiskinan masih tetap ada.

Pandemi yang sedang terjadi mengakibatkan sebagian besar masyarakat merasakan dampaknya. Penduduk yang kehilangan pekerjaan sejak terjadinya pandemi diperkirakan mencapai 2,56 juta jiwa. Peningkatan jumlah pengangguran pada bulan Agustus 2020 kemungkinan menjadi pemicu meningkatnya kemiskinan. Meningkatnya ketimpangan yang terjadi di masyarakat rawan menimbulkan masalah sosial. Di sisi lain, jumlah penduduk produktif Indonesia saat ini mencapai 70,72 persen dengan tingkat ketergantungan sebesar 41,4, menandakan bahwa Indonesia sedang berada dalam fase bonus demografi. Tingginya persentase penduduk produktif saat ini merupakan sebuah tantangan dari sisi penyediaan lapangan kerja.

Perekonomian Indonesia pada triwulan III 2020 mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 3,49 persen (y-on-y) memberikan gambaran yang jelas bahwa terjadi penurunan dari sisi produksi. Penurunan konsumsi rumah tangga sebesar 4,04 persen juga menunjukkan bahwa daya beli masyarakat melemah.

Melemahnya daya beli masyarakat tidak hanya disebabkan oleh penurunan pendapatan, namun didorong juga oleh peningkatan harga bahan kebutuhan pokok. Tingkat inflasi yang tejadi pada periode Maret-September 2020 tercatat sebesar 0,12 persen.

Mengatasi kemiskinan bukan hal yang mudah dilakukan, apalagi dengan kondisi perekonomian dunia yang melemah. Turunnya permintaan barang dan jasa sangat berdampak terhadap produksi sehingga berpengaruh pada pendapatan masyarakat. Untuk mengatasi kemiskinan, diperlukan upaya ekstra dari seluruh elemen terkait dalam meningkatkan pendapatan masyarakat. Penyediaan lapangan pekerjaan yang sesuai dengan keterampilan pencari kerja perlu ditingkatkan.

Tingkat Pengangguran Terbuka  (TPT) tamatan SMK sebesar 13,55 persen pada Agustus 2020 merupakan yang tertinggi dibandingkan jenjang pendidikan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa keterampilan tenaga kerja yang tersedia tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Memberikan pelatihan yang sesuai bagi tenaga kerja agar dapat terserap oleh bursa tenaga kerja perlu dilakukan oleh pemerintah. Peningkatan kemampuan tenaga kerja akan meningkatkan daya saing dan nilai tawar para pekerja.

Memberikan pelatihan kewirausahaan bagi tenaga produktif agar dapat membuka lapangan kerja yang sesuai dengan keterampilannya juga penting dilakukan. Dengan meningkatnya jiwa kewirausahaan akan dapat membuka lapangan usaha yang menyerap tenaga kerja. Memulai usaha Industri Makanan dan Minuman merupakan pilihan yang realistis di masa pandemi, di samping meningkatkan produksi tentunya akan meningkatkan konsumsi domestik. Membuka usaha baru membutuhkan modal, peran pemerintah dalam mempermudah memperoleh modal usaha melalui berbagai kebijakan akan sangat berarti dalam pengembangan perekonomian.
 
Usaha Mikro Kecil (UMK) terbukti dapat bertahan di tengah terpaan krisis ekonomi yang terjadi pada 1998. Pada masa pandemi ini, banyak UMK membutuhkan bantuan modal untuk tetap dapat bertahan. Kolaborasi antara UMK dengan perusahaan besar dalam memproduksi barang dan jasa kemungkinan dapat memperkuat perekonomian. Kebijakan pemerintah mengenai relaksasi PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) mobil baru, selain diharapkan dapat meningkatkan sektor industri mobil tentunya dapat membantu para pelaku bisnis UMK yang terkait dengan industri tersebut.
 
Untuk menghasilkan produk barang maupun jasa dengan nilai tinggi diperlukan mata rantai. Diperlukan sumber daya besar untuk menciptakan mata rantai, kolaborasi merupakan cara menciptakan mata rantai bagi UMK. Hasil pertanian dari petani disalurkan ke industri rumah tangga lain untuk diolah menjadi bahan baku, bahan baku diolah perusahaan dan dikemas agar bisa disalurkan ke reseller. Rumah tangga memperoleh barang dari reseller melalui e-commerce. Mata rantai yang tercipta akan menjamin keberlanjutan produksi barang dan jasa, terlihat bahwa kolaborasi antar sektor usaha sangat penting untuk dilakukan.
 
Pada era digital ini, peningkatan pengetahuan teknologi informasi bagi pengusaha UMK sangatlah penting agar dapat memperluas jangkauan pasar usaha tersebut. Penggunaan media sosial sebagai sarana promosi masih terbatas. Sebuah peluang bagi content creator pemula untuk mulai masuk pada pasar ini. Penguatan UMK dapat diharapkan menjadi sebuah solusi untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan menurunkan tingkat ketimpangan yang terjadi.*


*. Tulisan dalam kategori OPINI adalah tulisan warga Net. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Komentar