nusabali

Menjadi Guru Anak Milenial Amat Berat

  • www.nusabali.com-menjadi-guru-anak-milenial-amat-berat

‘Guru’ dalam bahasa Sansekerta dimaknai sebagai ‘berat’, memang berat menjadi guru, misalnya, guru rupaka atau orangtua, bukan hanya melahirkan dan membesarkan. Yang berat adalah menjadikan ia seorang suputra?

Esensi Slokantara 48 mengintikan  agar mendidik anak, “Sampai umur lima tahun, perlakukan ia seperti raja. Sepuluh tahun berikutnya, layani dia dengan baik. Pada umur enambelas tahun, jadikan ia teman sejawat” (Sudharta, 2003). Walhasil, perlakuan demikian tidak selalu sejalan dengan sloka suci!

Memperlakukan anak milenial sebagai raja amat dilematis, ada raja berkelakuan bijak, adapula berkarakter buruk.  Anak milenial lebih memilih yang kurang baik. Misalnya, mereka mengakrabi permainan, sedikit waktu untuk belajar, dan berselancar dengan teman sebaya di dunia maya! Selepas sekolah, mereka menghabiskan waktu untuk bermain dengan alat elektronik. Celoteh anak milenial, “Cara terbaik untuk menghilangkan ‘stress’  dari tugas sekolah, atau himpitan belajar, atau beban membaca buku adalah bermain ‘games’. Kecenderungan inilah membentuk keasyikan sendiri. Lalu, apa yang mesti dilakukan orangtua agar anak memilih sifat raja yang bijak?

Ada pula yang berfilsafat ala Konstruktivisme, biarkan anak mengalir seperti air, membentuk makna dari pengalaman dan pengetahuan mandiri. Petuah itu amat mendidik tetapi melupakan satu hal bahwa anak dan air tidak sama! Air adalah senyawa hidrogen dan oksigen, sifat fisiknya sebagai benda cair, benda padat, benda gas atau uap. Dengan sifat fisik demikian, sesulit apapun ruang, tempo atau patrum, air merembes, menetes, dan sifat seperti rembulan  mengalir alami. Tetapi, anak tidak memiliki sifat rembulan yang dapat menerangi gelapnya malam seperti dikidungkan dalam Nitisastra IV.6. Anak juga bukan pohon gaharu yang semerbak melingkupi hutan seperti perumpamaan dalam Canakya Nitisastra II.16. Anak yang terlahir tidak bisa diharapkan untuk dapat menyeberangkan orangtua dari neraka seperti yang divisikan dalam Manawadhamashastra IX.138. Menjadi dan berperan sebagai dan  guru rupaka memang berat dan sungguh berat!!

Menjadi guru pengajian hampir sama beratnya dengan guru rupaka. Dalam ‘Merdeka Belajar’ dikumandangkan guru harus melayani, mengajar sesuai kemampuan anak, dan berorientasi pada peserta didik, prinsip pendidikan yang senafas dengan Slokantara 48.  Dilema guru menghadapi anak milenial adalah sikap mendahulukan waktu untuk diri sendiri tanpa kehadiran orang lain, atau bahkan tidak melakukan apa-apa kecuali bermain ‘gadgets’. Sikap demikian tidak mempedulikan tugas dan kewajiban, tidak boleh diganggu, dan lupa akan segalanya!

Ketika dilarang bermain, mereka uring-uringan, tidak mau melakukan hal lain termasuk bersekolah. Mereka menyebut belajar tidak menyenangkan, tidak menghibur hati lara, hanya ada tugas dan evaluasi!  Sejatinya, hanya bermain yang membuat mereka nyaman!! Lalu, apa yang mesti dilakukan guru di sekolah agar anak sadar dan senang belajar???

Mungkin hipnopembelajaran dapat dipilih sebagai alternatif. Frederick Rubin (2006), seorang produser dan penulis buku berkebangsaan Amerika,  menggunakan istilah hypnopaedia yang ditukar-alihkan dengan hypnoteaching. Intinya, hipnopembelajaran adalah upaya untuk menghipnotis atau menyugesti anak untuk menjadi sadar dan ingin belajar. Hypnopaedia lebih efektif dilakukan dengan cara bermain, baik itu bermain peran atau bermain edukatif yang menyenangkan. Mendampingi anak dalam pembelajaran di rumah harus menggunakan teknik berkomunikasi persuasif. Guru di rumah tidak bijaksana menjadi ‘polisi’ atau ‘penguasa’.

Guru di rumah sebaiknya menjadi teman bermain yang mengasyikkan. Guru di sekolah menggunakan pendekatan heterogen, siswa ikut menentukan kegiatan belajar, pembelajaran berorientasi pada siswa dan  memanfaatkan teknologi, menggunakan kegiatan kelompok, dan pembelajaran berdasarkan level kemampuan siswa. Semoga. *

Prof.Dewa Komang Tantra,MSc.,Ph.D

Komentar