nusabali

Sudah Tak Mampu Kerja, Tetap Wajib Ngayah di Banjar

  • www.nusabali.com-sudah-tak-mampu-kerja-tetap-wajib-ngayah-di-banjar

Kelian Dinas Banjar Ponggang, Desa Puhu, Kecamatan payangan, Gianyar, Made Artana, mengatakan tengah disusun perarem yang mengatur batas usia harus ngayah dan lepas dari ayah-ayahan

Balada I Wayan Kutang, Pekak Renta yang Hidup Sebatang Kara di Desa Puhu


GIANYAR, NusaBali
Ada sejumlah warga miskin di wilayah Desa Puhu, Kecamatan Payangan, Gianyar. Salah satunya, I Wayan Kutang, 80, yang tinggal seorang diri dalam gubuk berdinding bambu di Bajar Ponggang, Desa Puhu. Kisah kehidupan pekak (kakek) berusia 80 tahun ini bikin trenyuh. Bayangkan, sudah tak lagi mampu bekerja, Wayan Kutang tetap kena ayah-ayahan di banjar.

Pekak Wayan Kutang menempati sebuah gubuk reot yang berlokasi sekitar 15 meter arah barat Jalan Raya Denpasar-Kintamani via Payangan. Untuk menjangkau gubuknya, harus melewati jalan setapak selebar 1 meter. Pekak Kutang hidup sebatang kara sejak 15 tahun silam, setelah istri tercintanya, Ni Wayan Suja, meninggal dunia.

Sebetulnya, Pekak Kutang memiliki seorang anak perempuan, Ni Wayan Meter. Namun, anak semata wayangnya ini sudah menikah. Wayan Meter menikah dengan pria sekampung di Banjar Ponggang, Desa Puhu. Dia tinggal dalam jarak sekitar 300 meter dari rumah ayahnya, Pekak Kutang.

Pekak Kutang sendiri malu jika harus tinggal numpang di rumah anak dan menantunya, karena takut disebut merepotkan. Karena itu, Pekak Kutang pilih tetap bertahan tinggal di gubuk yang dibangun di atas lahan milik orang lain. Namun, putri semata wayangnya yang sudah menikah, Wayan Meter, tetap setia sabam hari membawakan makanan untuk Pekak Kutang.

Ketika NusaBali berkunjung ke gubuknya di Banjar Ponggang, Senin (14/11) lalu, Pekak Kutang sempat menceritakan balada (kisah hidup)-nya yang penuh derita. Pekak Kutang mengisahkan, saat tenaganya masih kuat, dulu dia bekerja serabutan, dengan hasil yang tidak menentu. Tapi sekarang, dia tak mampu lagi bekerja. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Pekak Kutang dibantu anak perempuannya yang sudah menikah, Wayan Meter.

"Panak tiyang nike ngabang nasi. Yen ten semengan, tengai abanga nasi mai (Anak saya yang membawakan nasi. Kalau tidak pagi, siangan saya dibawakan nasi ke sini, Red)," cerita Pekak Kutang.

Menurut Pekak Kutang, tanah pekarangan yang tempatinya selama bertahun-tahun tersebut milik orang lain. Dia diizinkan untuk menempati tanah tersebut. Ada tiga bangunan di pekarangan ini, namun kondisinya sangat memprihatinkan. Bangunan gubuk yang tempati Pekak Katung beralaskan tanah, berdinding gedek, dan beratap genting. Di dalamnya terdapat beberapa perabotan rumah tangga berupa alat dapur. Ada pula sebuah televisi kecil yang bisa menemani Pekak Kutang.

Pekak Katung tidak memiliki kamar mandi. Sedangkan air yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari berasal dari saluran air swadaya yang terpasang melalui pipa kecil. Di halaman gubuknya terlihat ada tumpukan pasir dan batu bata yang dia kumpulkan sedikit demi sedikit, dengan harapan kelak bisa dipakai membangun rumah layak huni.

Menurut Pekak Kutang, dirinya selama ini tidak mendapat bentuan kemiskinan, seperti beras miskin (Raskin). Padahal, sejak kecil dia dan orangtuanya tidak memiliki rumah ataupun tanah sendiri. Mereka tinggal berpindah-pindah, sampai ada yang mengizinkan tanahnya untuk ditempat keluarga Pekak Kutang sampai sekarang.

Kendati hudup sebatang kara dan tak lagi mampu bekerja, Pekak Kutang sampai sekarang tetap memikul kewajiban untuk ngayah di banjar. Karena tidak mampu lagi mengikuti petedunan mengingat kondisinmya yang sudah renta, Pekak Kutang pun banyak dedosan (kena denda). Terang saja dia tidak mampu membayuar dedosan. "Dedosan lan peturunan panak tiyang mayahin (Denda dan iruan di banjar biasanya anak saya yang membayar)," keluh Pekak Kutang.

Sementara itu, Kelian Dinas Banjar Ponggang, Desa Puhu, I Made Artana, mengakui Pekak Kutang memang hidup dalam kekurangan. Pekak berusia 80 tahun yang hidp sebatang kara ini juga tidak mendapat bantuan kemiskinan. Menurut Made Artana, sebetulnya sudah sempat beberapa kali pihaknya mengajukan agar Pekak Kutang bisa memperoleh bantuan. Namun, sampai kini hasilnya masih nihil.

“Dia (Pekak Kutang) ada addministrasi seperti Kartu Keluarga (KK). Kami sudah mengajukannya agar beliau mendapatkan bantuan, paling tidak Raskin. Tapi sayang, sampai kini belum ada hasilnya,” jelas Artana saat dikonfirmasi NusaBali secara terpisah.

Artana memaparkan, di Banjar Ponggang ada sekitar 20 KK kurang mampu yang sudah diajukan untuk memperoleh bantuan. Namun, data yang sudah diperbaharui tidak muncul. Justru nama-nama yang lama keluar lagi, sehingga 20 KK kurang mampu yang baru diajukan ini tetap saja tidak dapat bantuan.

“Bahkan, ada beberapa warga yang sebetulnya tidak layak mendapatkan bantuan, justru dapat bantuan dari pemerintah. Sedangkan data sudah kami perbaharui di mana benar-benar warga tersebut perlu bantuan, belum mendapatkan apa-apa, karena datanya tidak berubah,” sesal Artana.

Disinggung soal kewajiban ayah-ayahan banjar untuk Pekak Kutang, menurut Artana, hal ini tetap diberlakukan karena sesuai dengan ketentuan lama. Yang jelas, kata dia, krama Banjar Pakraman Ponggang sedang menyusun pararem (aturan adat) untuk mengatur krama yang mana masih dikenakan ayah-ayahan dan mana pula yang bisa lepas dari kewanjiban ngayah. “Saat ini, peraren belum disahkan. Dalam pararem tersebut sudah diatur usia berapa bisa lepas dari ayahan-ayahan atau digantikan oleh anaknya,” papar Artana.  cr62

Komentar