nusabali

Bale Banjar Rusak Dibongkar Warganya, Kelian Lapor Polisi

Pelaku Sempat Tikam Pecalang di Ubung Kaja

  • www.nusabali.com-bale-banjar-rusak-dibongkar-warganya-kelian-lapor-polisi

DENPASAR, NusaBali
Sempat dibui karena kasus penusukan pecalang (September 2017) dan aksi pelemparan bom Molotov (Maret 2019), seorang krama Banjar Liligundi, Desa Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Utara, I Made Murdana alias Jerug, 47, kembali dilaporkan ke polisi.

Kali ini, Jerug dipolisikan karena diduga merusak dan bongkar secara sepihak bangunan Bale Banjar Liligundi di atas tanah seluas 3,3 are yang diklaim pelaku sebagai miliknya. Kelian Banjar Liligundi, Desa Ubung Kaja, I Wayan Suparta, 48, yang melaporkan Jerug ke Polresta Denpasar, Sabtu (19/12) siang. Dalam laporan berupa pengaduan masyarakat (Dumas) dengan nomor registrasi Dumas/1219/XII/2020/Bali/Resta DPS tersebut, pelapor Wayan Suparta melaporkan tentang dugaan pengrusakan.

Pelapor Wayan Suparta mengatakan, dugaan perusakan Bale Banjar Liligundi yang berlokasi di Jalan Kebo Iwa Utara Denpasar tersebut dilakukan pelaku Jerug, Sabtu pagi pukul 10.00 Wita. Pelaku menyuruh 8 orang buruh bangunan untuk membongkar pintu harmonika (pagar) dan lantai keramik baled banjar tersebut.

Menurut Wayan Suparta, aksi pembongkaran sepihak itu dilatarbelakangi masalah kepemilikan tanah seluas 3,5 are di mana bale banjar berdiri. Jerug mengklaim tanah banjar itu miliknya. Padahal, sudah ratusan tahun lamanya tanah itu jadi tempat bangunan bale banjar.

"Saya belum lahir, bale banjar itu sudah ada di tanah tersebut. Jerug mengklaim tanah itu tanpa dasar yang kuat. Dia mengklaim tanah itu adalah tanah warisan dari leluhurnya berdasarkan wangsit (petunjuk niskala) melalui mimpi. Tak ada bukti sertifikat atau bukti lain, selain berdasarkan wangsit itu," beber Suparta, Minggu (20/12).

Suparta menceritakan, karena masalah tanah yang diklaim berdasarkan wangsit ini berlarut-larut, maka pada 2017 digelar paruman banjar yang dihadiri para panglingsir dan krama Banjar Liligundi, Desa Ubung Kaja. Agar tidak terjadi keributan terus menerus, panglingsir banjar saat itu menyarankan untuk memberikan uang kompensasi atas tanah bale banjar tersebut kepada Jerug.

Berdasarkan kesepakatan saat itu, pihak banjar sepakat memberikan kompensasi sebesar Rp 1 miliar. Kompensasi itu bukan untuk membayar tanah yang diklaim Jerug, tetapi sebagai bentuk kepedulian karena pelaku mengakui keluarganya sakit-sakitan dan dirundung masalah akibat masalah tanah berdasarkan wangsit tersebut.

Menurut Suparta, uang kompensasi Rp 1 miliar itu peruntukannya digunakan untuk melaksanakan serentetan upacara ritual, supaya keluarga Jerug kembali sehat. Duit dalam jumlah besar itu dicairkan secara bertahap. Awalnya, dicairkan Rp 500 juta, lalu Rp 200 juta, hingga masih tersisa Rp 100 juta yang belum dibayarkan. Uang total Rp 900 juta yang sudah dicairkan untuk kompensasi kepada keluarga Jerug itu dipinjam pihak banjar dari LPD.

"Saat itu, saya belum menjadi kelian. Yang jelas, saat bayar uang sisa terakhir Rp 100 juta, malah ditolak oleh Jerug tanpa alasan yang jelas. Padahal, dia sebelumnya sudah terima uang Rp 900 juta," kenang Suparta.

Disebutkan, setelah diberikan uang Rp 900 juta, dibuatlah surat pernyataan bahwa pengurusan sertifikat tanah bale banjar diserahkan kepada pihak Banjar Liligundi. Singkat cerita, semua berproses sesuai prosedur, pelepasan hak dari notaris sudah lengkap. Tanah bale banjar seluas 3,3 area tersebut berubah atas nama Pelaba Pura Begawan Penyarikan.

Setelah berubah hak kepemilikan, kata Suparta, akhir tahun 2017 tanah bale banjar malah kembali dikuasai oleh Jerug. Yang bersangkutan sering parkir mobil dan motor di bale banjar. Bahkan, Jerug tidak mengakui tanah bale banjar itu atas nama orang lain, padahal dia sudah terima uang Rp 900 juta dan dibuatkan surat pernyataan bahwa pengurusan tanah diserahkan kepada pihak banjar.

Selain tidak mau pergi dari penguasaan tanah bale banjar, Jerug juga ngotot meminta sertifikat tanah yang sudah dibuat pihak banjar. Bahkan, kata Suparta, Jerug melakukan teror terhadap krama setempat. Sempat melakukan penusukan terhadap seorang pecalang tahun 2017, hingga pihak banjar menjatuhkan sanksi adat berupa kasepekang (dikucilkan secara adat) kepada Jerug.

Pecalang dari Banjar Liligundi yang ditusuk Jerug kala itu adalah I Putu Sunartawan, 54. Berselang 2 tahun kemudian, Jerug kembali berulah melakukan aksi teror bom molotov dengan korban Putu Sunartawan pada Maret 2019. Penusukan pecalang dan aksi bom molotov tersebut adalah bagian dari masalah tanah bale banjar yang diklaim Jerug.

Belakangan, kata Suparta, Jerug seringkali melakukan teror, bahkan pernah mengancam krama setempat pakai senjata keris. Rumah Kepala Dusun (Kadus) Liligundi pun pernah dilempari pelaku.

Suparta mengisahkan, karena tidak nyaman oleh teror Jerug, pihaknya terpaksa sewa sebuah Ruko untuk dijadikan balae banjar. "Kami sewa Ruko untuk dijadikan bale banjar. Selain itu, kami juga membeli tanah dan langsung membangun bale banjar baru, yang lokasinya sekitar 200 meter arah selatan dari bale banjar yang tanahnya diklaim Jerug," beber Suparta yang kemarin ditemui di bale banjar lokasi baru tersebut.

Meski sudah membuat bale banjar baru, kata Suparta, pihaknya tidak terima Bale Banjar Liligundi yang tanahnya diklaim Jerug tersebut dirusak. Itu sebabnya, Suparta pilih melaporkan kasus ini ke Polresta Denpasar, hanya beberapa jam setelah bale banjar dibongkar, Sabtu lalu. "Sekarang kami tidak ada upaya lain selain proses hukum. Dulu sudah dilakukan mediasi oleh pihak desa, tapi pelaku tidak hadir tanpa alasan,” tandas Suparta.

Sementara itu, Kasubbag Humas Polresta Denpasar, Iptu Ketut Sukadi, mengatakan belum tahu laporan terkait kasus pembongkaran Bale Banjar Liligundi, Desa Ubung Kaja tersebut. Iptu Sukadi mengaku akan berkoordinasi dengan Satuan Reskrim Polresta Denpasar terlebih dalu. "Saya belum mendapatkan data utuhnya. Seperti apa kejadiannya dan latar belakangnya, belum tahu ini," ujar Iptu Sukadi saat dikonfirmasi NusaBali terpisah, Minggu kemarin. *pol

Komentar