nusabali

MUTIARA WEDA: Pikiran Korup

Manā vāsanā dusta kāmā na ye re, manā sarvathā pāpabuddhi nako re. Manā sarvathā niti sodu nako ho, manā amtari sāra vicāra rāho. (Manache Shloka. 4)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-pikiran-korup

Oh pikiran, jangan bawa pemikiran-pemikiran tersembunyi dan keinginan-keinginan yang korup. Oh pikiran, dengan berbagai cara, buang pemikiran-pemikiran duniawi sepenuhnya. Oh pikiran, jangan hilangkan dharmamu yang inheren. Oh pikiran, jagalah esensi pemikiran yang benar dan berpijaklah pada kebenaran selalu.

KEGIATAN memecah belah tidak memerlukan pendidikan dan pengetahuan yang rumit, sementara membangun atau menyatukan sesuatu memerlukan itu. Berpikir untuk korup alami terjadi, sementara menghilangkan pemikiran korup luar biasa susahnya. Hampir dalam semua kasus, perilaku-perilaku yang menghancurkan, yang mengarah pada keburukan sangat mudah terjadi dibandingkan perilaku-perilaku yang konstruktif dan menyatukan. Mengapa? Karena hukum menghendakinya demikian. Segala sesuatu yang ada, yang telah diciptakan mesti harus dihancurkan dan dikembalikan ke keadaan semula. Pikiran kita adalah alat untuk itu, sehingga tendensi untuk menghancurkan lebih tinggi ketimbang tendensi untuk menyatukan. Untuk menghancurkan, pikiran tidak perlu dilatih, sementara untuk menyatukan, berbagai upaya perlu dilakukan.

Jadi, ketika kita melihat berbagai fenomena belakangan, dimana berbagai ketegangan antara dua ideologi yang berbeda mengindikasikan bahwa proses penghancuran itu terjadi semakin cepat. Mereka yang berselisih memiliki karakter yang bertolak belakang tetapi satu level. Artinya, saat seseorang memasarkan ideologinya dengan cara-cara arogan, kemudian hadir perlawanan yang juga memiliki karakter yang sama. Ideologinya berbeda sehingga mereka bertentangan, tetapi energi yang digunakan untuk berjuang adalah satu dan sama. Arogansi dibalas dengan kemarahan. Perlawanan dilakukan dengan cara-cara kekerasan. Mungkin, pikiran secara umum melihat bahwa hanya itu satu-satunya cara melakukan perlawanan. Apa yang diajarkan Gandhi tentang sebuah perlawanan melalui cara-cara ahimsa sepertinya lewat dari pembahasan.

Idealnya, menurut Gandhi, perjuangan dalam melawan ideologi yang salah adalah dengan cara-cara moral, dimana orang yang berpaham ideologi kasar tersebut disadarkan kembali pemikirannya tentang kebenaran atau kesejatian kehidupan itu, sehingga mereka kembali ke posisi yang benar. Gandhi mementingkan win-win solution, dimana mereka yang dilawan dan dikalahkan tidak merasa kalah tetapi justru sama-sama merasa menang, yakni menang melawan karakter buruk atau korup di dalam dirinya. Tetapi, oleh karena sifat pikiran itu korup, maka ketika ada ideologi aneh muncul, yang kita lihat adalah orang yang ikut ideologi tersebtu sebagai lawan. Fokus kita pada orangnya bukan pada ideologinya. Kemudian perjuangan kita adalah melawan orang tersebut. Harapannya adalah dengan hancurnya orang itu, hancur pula ideologinya. Tetapi, cara ini masih menyisakan kekurangan, yakni potensi baik yang ada pada diri orang itu juga ikut hancur. Sehingga, apapun hasilnya, yang ada hanya kehancuran.

Guna menghilangkan atau paling tidak meminimalisir kondisi seperti ini, teks seperti di atas senantiasa mengajarkan dan mengingatkan kita terus-menerus untuk selalu melihat ke dalam, melihat pikiran kita, dan kemudian memberikan peringatan agar selalu menjauhkan diri dari pemikiran-pemikiran yang korup. Pikiran harus diingatkan untuk senantiasa berpegang pada kebenaran dan melakukan kewajiban sesuai dengan kebenaran itu. Mengapa teks selalu kukuh dengan ajaran seperti ini? Karena pikiran secara alami turun dan berpikiran korup, sehingga teks secara terus-menerus mengingatkan bahwa hal itu hanya membawa kehancuran, bukan yang lain.

Pikiran yang cenderung korup harus dilawan dengan pemahaman yang berkebalikan dan dengan kekuatan yang lebih besar. Jika kekuatan ajaran lebih lemah, maka hal-hal yang buruk itu akan tetap jalan. Bahkan yang lebih gamang adalah orang yang berbicara tentang anti korupsi yang melakukan korupsi, orang yang mewartakan kedamaian yang tidak pernah damai. Ini menandakan bahwa kekuatan dari ajaran ‘kedamaian’ lebih lemah ketimbang pikiran yang tidak damai itu. Ajaran ‘kedamaian’ hanya sebagai bahan hafalan dan tidak mengendap di dalam pikiran. Inilah yang sedang terjadi di negeri ini, dimana mereka sibuk memasarkan ideologi yang damai tetapi mereka sendiri tidak pernah damai, yang secara konsisten membuat onar, memaki, menyalahkan ini dan itu. *

I Gede Suwantana

Komentar