nusabali

Momen Hindu Bali Jadi Lebih Hening

Menyambut Hari Suci Kuningan di Tengah Covid-19

  • www.nusabali.com-momen-hindu-bali-jadi-lebih-hening

Dengan ning (tahu/sadar), maka umat akan mampu memuja Yang Maha Uning (tahu) hingga mulat sarira dalam wujud kesadaran spiritual.

GIANYAR, NusaBali
UMAT Hindu terutama di Bali telah melewati perayaan  Galungan, Buda Kliwon Dungulan, Rabu (16/9). Umat Hindu kini sedang bersiap menyongsong Hari Suci Kuningan, Saniscara Kliwon Kuningan, Sabtu (26/9).

Perayaan Galungan, Rabu (16/9), merupakan Galungan kedua di tengah wabah Covid-19 di Bali sejak Maret 2020.

Tentu suasana Galungan saat pandemi ini sangat adem ketimbang Galungan-galungan sebelumnya. Beberapa kalangan menilai, Galungan di tengah pandemi memunculkan semacam defisit kemeriahan. Tak hanya karena banyak umat yang sebet (sedih) dan waspada dengan wabah, juga bekal (anggaran) untuk Galungan dan Kuningan ini tak sebanyak saat Galungan jauh sebelumnya. Karena wabah, banyak usaha kolaps hingga ribuan karyawan terpaksa dirumahkan bahkan di-PHK.

Tak hanya Galungan, perayaan Hari Suci Kuningan mesti dapat dijadikan momen terbaik untuk merengkuh kesucian diri dan isi alam agar lebih jernih. Karena penyambutan hari raya di tengah wabah Covid-19 ini dipastikan tak semewah menjelang hari raya sebelumnya. Tak ada glamour, tak banyak ada musik cadas jedug-jedug di balai banjar atau di rumah-rumah, tak ada pesta bazar, dan party lainnya.

Penekun sastra Hindu Bali asal Desa Satra, Kecamatan Klungkung, Klungkung, Dewa Ketut Soma,54, mengakui Hari Suci Galungan dan Kuningan kali ini jadi momen terbaik bagi umat Hindu di Bali untuk lebih mendalami esensi makna hari suci. Karena keadaan ini (akibat Covid-19,Red) umat dapat lebih fokus untuk mulat sarira dalam  bersembah sujud bhakti kepada Ida Bhatara-Bhatari. ‘’Termasuk pada Hari Suci Kuningan nanti, kita mesti fokus dan lebih ning (jernih) untuk melihat kenyataan diri dan alam ini,’’ jelasnya.

Menurutnya, pemaknaan Hari Suci Galungan dan Kuningan sebagaimana tersurat dalam lontar sastra Sundarigama. Lontar ini dikenal menjadi landasan tetua Bali dalam melaksanakan piodalan jagat itu secara terus menerus dan berkesinambungan. Kata Kuningan dipertegas dengan frasa ‘ning’ atau ‘hening’ dan ‘uning’. ‘Ning’ artinya jernih, ‘uning’ artinya tahu atau sadar. Maka melalui Kuningan ini, manusia mesti memusatkan dan ‘melerai’ kecamuk pikiran menuju keheningan hingga terpantik menuju maha kesadaran diri. Prosesi menuju maha sadar ini dilambangkan dalam bentuk upakara. Antara lain, banten inti Kuningan yakni nasi kuning atau tebogan, ada jejahitan tamiang dan endongan. Nasi kuning bermakna sarining dasar amertha. ‘’Karena kita ada dari amertha itu sendiri. Tamiyang dari kata tami dan hyang. Tami artinya tampi atau terima, dan hyang artinya beliau atau Widi dan juga leluhur,’’ jelas penekun sastra Hindu asal banjar Kaler, Dusun Kawan, Desa Satra, Kecamatan Klungkung ini.

Papar Dewa Soma, endongan dari kata ‘andong’ artinya bawa atau bekal. Hal ini sebagai ciri khas perayaan Kuningan, dengan banten Kuningan dipersembahkan kepada Ida Bhatara-bhatari dan para leluhur.

Dia mengakui, sebagai dresta di beberapa desa di Bali, antara lain di Klungkung, kebiasaan memperingati Kuningan mirip dengan persiapan Galungan. Sama-sama mebat (membuat penganan) dari daging babi, baik untuk banten maupun untuk dikonsumsi. Perbedaannya, ketika Galungan nanceb (memasang) penjor, sedangkan Kuningan ada tradisi ritual Ngeluarang dengan banten endongan. Ngeluarang artinya keluar, bukan berarti nundung atau ngusir. ‘’Banten ngeluar ini semacam punia atau aturan sebagai bekal agar sentana (keturunan) yang masih hidup agar tetap bhakti kepada Ida Sanghyang Widhi dan para leluhur,’’ jelas penulis plutuk yadnya (panduan upacara Hindu) ini.

Lulusan PGAHN Denpasar 1996 ini mengakui, ada semacam pergeseran praktik budaya umat antara Galungan-Kuningan era ilu (zaman dulu) dengan era kini.  

Era ilu, Kuningan dirayakan dengan pelbagai olah rasa yadnya dan olah tangan yang dibuat secara alami. Tapi, era kekinian karena kesibukan krama Bali praktik keagamaan ini bergeser menjadi komoditas dan jasa pelayanan yang siap saji.’’Kita bisa lihat ada praktik komodifikasi, dari pembuatan penjor Galungan-Kuningan, pembuatan jajan, tape, tamiang, endongan, lamak bahkan sampai ulam banten (lawar, tum, urutan, dan lainnya) bisa dipesan pada dagang atau tukang ebat,’’jelasnya.

Sepanjang tak kehilangan esensi makna hari suci, jelas Dewa Soma, pergeseran itu tidak salah. Karena daya dukung praktik keagamaan Hindu sangat dinamis dan elastis, menimpali zaman. Hanya saja, di tengah grubug agung Covid-19 ini, elastisitas praktik itu jangan sampai melanggar protokol kesehatan pencegahan wabah. ‘’Mari jaga keselamatan diri, keluarga dan masyarakat sekitar. Secara rohani, ketika ngagalung suba bisa ngae melah luung (sudah bia buat baik dan bagus). Maka Kuningan kita mesti ngeningang raga karena kita sudah uning ring kauningan (tahu tentang kesadaran diri sebagai manusia yang punya kelebihan dan kekurangan),’’ ujarnya. Jelas dia, dengan ning (tahu/sadar), maka umat akan mampu memuja Yang Maha Uning (tahu) hingga mulat sarira dalam wujud kesadaran spiritual. Terutama untuk menanggulangi Covid-19 dan kesadaran merawat sang diri. *Isa

Komentar